21. Navi Ngajak Jalan

1006 Words
- "Sikap manismu, aku menjamin dirimu suka kepadaku. Tapi mengapa aku dengan mudahnya berharap lebih akan hal itu? Padahal, aku tahu bahwa kamu adalah suatu ketidakmungkinan terbesar dalam hidupku." - *** Navi memperhatikan Lila yang tengah serius membaca buku. Gemas rasanya melihat Lila seperti sedang pusing memahami tulisan-tulisan di buku paket kimia yang ia pegang. Gadis itu sesekali mengacak rambutnya karena kesal sendiri. Refleks, Navi mengulurkan tangan kanannya dan mengusap pelan puncak kepala Lila. "Gue iri sama Mola," tukas Navi dengan lugas. Lila terpaku dalam sekejap. Otaknya berputar lama mencerna perkataan Navi. Yang ada, Lila semakin pusing. Aneh. Lila sana sekali tidak terbawa perasaan ketika Navi mengusap kepalanya. Ya, mungkin Lila sudah terbiasa dengan sikap Navi yang berubah-ubah sehingga hatinya tidak bereaksi sedikitpun ketika Navi menjadi lembut. Dan Navi, dia juga merasa aneh dengan Lila. Dia mencoba memahami gadis itu yang biasanya semakin menggila ketika Navi bersikap baik. Tapi sangat berbeda kali ini. Lila justru kembali menyibukkan dirinya dengan membaca buku kimia. "Gue udah selese baca!" seru Lila menutup buku kimia itu. Pantas saja cepat, karena Navi memang memerintahkan untuk membaca 2 halaman. Navi melepaskan airpods di telinganya. Dia menggungguk. "Oke, coba gue tanya lo jawab!" tantangnya. "Pertanyaan pertama, sebutkan kelompok asam yang bervalensi dua!" Lila memutar-mutar bola matanya untuk kembali mengingat materi asam basa yang dibacanya tadi. "Asam sulfat, asam sulfida, dan asam karbonat!" jawab Lila bersemangat. Dia merasa bangga kepada dirinya sendiri karena dapat mengingat materi. "Betul! Terus, menurut teori asam basa Bronsted-Lowry, H2O akan bersifat?" Navi merebut buku paket kimia yang hendak Lila intip materi asam basa. Dasar curang! Lila menguap lebar tanpa menutupi mulutnya. Sungguh, Navi baru pertama kali ini bertemu dengan perempuan yang tidak memiliki rasa malu atau jaim sedikitpun. Gadi itu memegangi kepalanya berusaha memancing otak dia berkerja. "Kayaknya, asam terhadap NH3." Navi mengulas senyumnya. Dia meletakan kembali buku paket kimia ke atas meja. "Nah, itu otak lo udah mulai kepake! Masalahnya tuh emang dari dalam diri lo sendiri. Lo ingin maju, lo ingin berubah, tapi itu semua stuck diniat tanpa dibarengi usaha. Makanya rasanya lo itu gagal terus dan pengin nyerah gitu aja padahal belum jalan." Lila membeku. Dia mencerna semua ucapan Navi dengan jelas. Benar juga, ini memang kesalahan Lila sendiri. Lila yang suka tidur di kelas, makanya dia tidak paham dengan pelajaran sehingga membenci hal itu. Dering telepon dari ponsel Lila terdengar nyaring memecah sunyi. Lila segera mengambil benda pipih yang tadi di meja. Tertera nama Magenta di layar handphone Lila. "Halo, Genta?" sapa Lila. Dia menempelkan polselnya di telinga sebelah kanan. "Udah selese belajarnya? Gue ke rumah lo, ya?" Jaringan di rumah Navi begitu kuat sehingga suara Magenta terdengar begitu jelas. "Udah, sih, kayaknya. Cuma gue ada di rumah Navi, nih. Kalo bisa, lo jemput aja gue di sini. Navi katanya nggak mau ngan--" "Gue yang nganterin lo, nggak perlu minta tolong cowok lain segala," celetuk Navi menabrak ucapan Lila. Lila berdecak. Dia memilih mematikan sambungan teleponnya dengan Magenta. Dia sekarang ingin sekali menghujat Navi habis-habisan. "Lo tuh jadi cowok kok labil banget! Tadi katanya gue disurug pulang sendiri, nggak usah plin-plan deh! Lo pikir, gue bakal terpedaya dengan sikap lo yang sok ramah itu? Nggak! Sekarang gue udah kebal sama kepribadian ganda lo itu, Navi!" tegas Lila tanpa jeda. Navi terbisu. Dia memikirkan dirinya sendiri jika menjadi Lila. Pasti, dia juga akan bingung dan sangat kesal. "Ya udah, kita jalan malam ini," celetuk Navi membuat Lila terperangah. *** Lila tidak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan bersama Navi. Astaga, Navi benar mengajaknya jalan pergi ke taman bermain. Gemerlap cahaya dari taman sangat menyilaukan Lila. Tapi, melihat Navi, lebih menyilaukan. Lila memperhatikan cowok yang berjalannya itu dari tadi. Dahinya mengkerut, sepertinya ada yang salah dari Navi? Apa dia salah makan? Lihat saja, Navi berjalan tegap dengan mengulas senyumnya yang limited edition. Pancaran matanya juga sedikit menghangat, tidak tajam seperti elang. Navi bahkan meminjami jaketnya kepada Lila. Apa tsundare sisi lembutnya sudah mulai? Malam ini terang penuh bintang, namun tidak ada bulan. Suasana taman begitu ramai, anak-anak kecil berlarian ke sana-ke mari. Ya, ini taman bermain bukan benar taman bermain. Hanya taman di sekitar kompleks yang memang terdapat beberapa mainan untuk anak kecil. Navi dan Lila saja, ke sini dengan berjalan kaki. Dengan Lila yang terus mengoceh akan banyak hal di sepanjang jalan. Termasuk tentang keanehan yang ada pada diri Navi. Gadis itu sangat penasaran, apa sebenarnya maksud perkataan Mola tentang Navi itu Lila menatap lurus ke arah penjual bakso bakar. Dia menelan ludahnya dengan pelan. Bibirnya dia katupkan. Ah, Lila sepertinya ingin bakso bakar. Sementara Navi, dia sangat serius menyaksikan ekspresi Lila. Oh tidak, kenapa dia menjadi berpikir bahwa Lila terlihat sangat menggemaskan? "Kalo mau tinggal beli, jangan kayak orang susah!" pekik Navi. Dia lantas sengaja menarik lengan Lila mendekati penjual bakso bakar. "Udah, mau beli berapa? Gue yang bayar." Lila mengangguk semangat. "Pak, 20 tusuk, saos tomat sama saos cabainya yang balance, mayo jangan terlalu kebanyakan. Tambahin toping keju kalo ada, ya, Pak!" seru Lila dengan cepat. Dan penjual bakso bakal itu hanya mengangguk-angguk mencoba mengingat pesanan Lila. Navi berdecak. Dia mendalami nasibnya. Sekali berteman dengan seorang gadis, dia justru mendapat Lila yang seperti ini. "Anak kecil kok makannya banyak banget? Perut lo nggak kuat, tuh!" "Loh kenapa? Gue makan tujuannya buat perut gue, tapi untuk hati gue. Karena ngadepi lo yang mendadak baik kayak gini perlu tenaga biar sabar!" Lila mencoba menaikkan resleting jaket yang melekat di tubuhnya. Hanya saja, resleting itu macet. "Mendadak baik gimana? Gue biasa aja," elak Navi menyapukan rambutnya ke belakang. "Ya kayak gini. Lo itu tsundare. Dan ini tahap lo lagi jadi lembut. Lo nggak tahu aja, gue bingung nentuin mana sifat asli lo, mana diri lo yang sebenarnya!" Navi memutarkan bahu Lila sampai gadis itu berhadapan dengannya. Dia membantu Lila meresleting jaket. "Gue aja bingung diri gue aslinya yang mana, Lila." Lila tertegun. Navi menyebut namanya? Jantungnya terasa berdebar lebih cepat. "Lo harus temuin diri lo yang sebenarnya, Nav. Mau lo galak atau mau lo lembut, asalkan itu adalah diri lo sendiri." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD