20. Rumah Navi

1003 Words
- "Satu kata untukmu. Basi. Sudah cukup mewakili apa yang aku rasa dan yang ku dengar dari dirimu selama ini." - *** Mola berlari dengan imutnya. Mengampiri kakak tersayanganya yang baru pulang. Tunggu. Mola lalu memperhatikan gadis yang datang bersama Navi. "Kakak cantik, pacalnya Bang Navi?" tanyanya begitu polos. Senyum Lila mengembang. Dia merasakan gemas tiada tara mendengar suara Mola barusan. "Doain aja, ya? Kak Lila juga maunya sih gitu. Cuma Abang kamu aja yang hatinya kek batu," balas Lila mengusap pucuk kepala Mola dengan pelan. Navi mendelik tajam. Tumben, Mola langsung akrab dengan orang asing? Biasanya, dia akan bersembunyi dibalik punggung Navi. "Lo nggak usah hasut adik gue, dia masih kecil!" seru Naki kepada Lila yang masih terlihat senang bertemu Mola. "Mola, ini Kakak Permen Karet yang nyebelin itu. Yang Abang pernah bilang ke kamu," imbuhnya menunjuk Lila. Mola menghiraukan Navi. Anak itu justru memeluk Lila dengan erat, seakan dia sangat merindukan Lila. "Kakak Pelmen Kayet ini nggak nyebelin! Moya suka banget sama Kak Lila, haa. Abang, cepet jadian ya, sama Kak Lila!" ujar Mola antusias. Hah? Navi melongo, menautkan alisnya. Cepat jadian sama Lila? Tidak! Dan tidak akan pernah! *** Lila mengerjapkan matanya beruang kali. Semakin memasuki rumah Navi, semakin matanya berbinar-binar melihat seluruh ruangan yang begitu bersih dan rapi. Pasti, jika rumah itu dihuni oleh Lila, akan menjadi kapal pecah yang porak-poranda. Gadis itu duduk di ruang tamu dengan mata jelalatan yang memerhatian setiap inci hiasan di ruangan itu. Apalagi, terdapat sebuah bingkai foto besar, dengan foto keluarga Reagen. Mama, papa, Mola yang digendong karena masih bayi, serta Navi yang menyengir dengan manis dengan menampilkan gigi-giginya. Lila mengembangkan senyumnya begitu cantik. Adik Navi terus-terusan berceloteh ceria kepada Lila. Anak itu, menceritakan tentang Navi yang selalu marah-marah sendiri dan menyebut Permen Karet yang tidak lain tidak bukan adalah Lila. "Kak Yiya, suka sama Bang Napi?" Lila menautkan alisnya. Padahal, tadi Mola dapat mengucapkan nama dia dan Navi dengan jelas, tapi sekarang justru terpeleset. Haduh, labil nih bocah. "Iya, Kakak suka sama abang kamu. Tapi abang kamu suka nggak jelas. Sering galak, terus tiba-tiba jadi lembut." Mola merubuhkan tubuhnya dan tidur dengan berbantal paha Lila diatas sofa. Dia menggembungkan pipinya dengan menggemaskan. "Bang Napi kan, punya keanehan, Kak." Lila mengerutkan dahinya. Dia memaikan pipi Mola yang begitu chubby seperti bakpao. "Keanehan gimana, Mola? Mola tahu kenapa abang kamu kayak gitu?" "Tahu dong, Bang Napi kek gitu soalnya--" "Mola, sana pergi, jangan ganggu Kak Lila," celetuk Navi sengaja memotong ucapan Mola. Cowok itu datang membawa nampan berisi dua gelas jus mangga. Ya, sebisa mungkin Navi merahasiakan tentang teori warna biru yang ia miliki kepada orang-orang. Navi memperhatikan Mola penuh selidik. Hah? Kenapa Mola bisa senyaman itu dengan Lila sampai anak itu tidur dipangkuan Lila? "Nggak mau! Moya masi pengin sama Kak Yiya!" elak Mola. Dia justru mengusel dan memeluk perut Lila karena enggan pergi. "Mola, jangan ganggu temen abangmu, sini sama mama aja," bujuk Dahlia bergabung dengan anak-anaknya di ruang tamu. Lila menuntuk sopan, dia salim kepada Dahlia. "Lila tante, temen sekelasnya Navi." "Temen atau temen?" goda Dahlia. Tentu saja wanita itu merasa ada yang aneh. Karena, ini pertama kalinya Navi mengajak teman kelasnya ke rumah pertama kalinya juga, Navi membawa seorang gadis. "Ma ... " sergah Navi. Mola bangkit dari berbaringnya. Dia terduduk d samping kanan Lila dengan terus menampilkan giginya yang pada bagian tengah bolong. "Hihi abang Napi mau pacaran ya, Ma? Makanya Moya nggak boleh ganggu? Ya udah, Moya ikut Mama aja!" seru Mola mendekati Dahlia. Mama dan anak itu lantas beranjak membiarkan Lila dan Navi berdua di ruang tamu. Navi mendengus sebal. Mama dan adiknya itu kenapa justru menggoda dia? Dan mengira dia berpacaran dengan Lila? Argh! Navi ingin memaki-maki rasanya. Dia menaruh nampan di atas meja, lalu duduk di samping kiri Lila. Belum juga dipersilakan minum, Lila langsung membabat habis jus mangga buatan Dahlia. Tentu, itu karena mangga adalah favoritnya. Dia tidak peduli dengan Navi yang memperhatikannya dengan tatapan mematikan seperti hendak menerkam mangsa. Setelah jus itu habis total, Lila bersendawa dengan kerasnya tanpa rasa malu terhadap Navi. Memang kenapa? Kenapa harus malu? Lila kan tidak mempunyai rasa malu. Dia menyenggol lengan Navi dengan usil. Membuat Navi mendelik tajam. "Gue udah dapet lampu ijo dari nyokap sama adik lo. Tinggal giliran hati lo aja yang belum gue dapetin. Jadi, kapan lo bakal buka hati buat gue, Nav?" tanya Lila dengan mata penuh harap. "Dapet hati? Dapetin kentut gue aja lo nggak mampu!" pungkas Navi. Navi mengeluarkan buku catatan kimia miliknya serta buku paket. Dan, dia juga mengeluarkan kontrak Navila yang disimpan baik-baik dalam map. "Hari ini, belajar di sini aja. Gue mager ke rumah lo. Ntar lo pulang sendiri, gue nggak mau nganter," ujar Navi membuat mulut Lila menganga. "Lo tega banget, kayak gitu, Nav. Tau gini, gue bolos aja tadi!" Lila menyenderkan punggungnya di sofa. Dia mengerucutkan bibirnya seolah merajuk. "Gue mau ganti peraturan kontrak. Lo, wajib bawa benda yang berwarna biru kalo ketemu gue," tegas Navi memegangi kontrak Navila. Lila mengerjapkan matanya begitu cepat. Apa lagi ini? Apa yang sebenarnya Navi rencanakan? Dan apa sebenarnya keanehan dalam diri Navi? "Kenapa?" tanya Lila penasaran. "Lo nggak perlu tahu. Mending lo baca materi ini dulu." Navi menyodorkan buku paket kimia yang terbuka di halaman 183. Lila membuang napasnya kasar. Percuma dia sekarang bersama Navi, tapi dia juga berhadapan buku-buku. Menyebalkan! Gadis itu menurunkan bahunya. Dia menerima buku yang Navi berikan. Mulai dibaca materi kimia itu dengan perlahan. Lila juga tak menyadari, dia mengambil gelas jus mangga yang masih terisi penuh. Jus mangga yang seharusnya bagian Navi, mulai diteguk oleh Lila. Sedangkan Navi, dia terlalu bersemangat mendengarkan alunan musik pada sambungan airpods miliknya. Sesekali dia mengangguk mengikuti irama lagu yang ia dengarkan. Navi memperhatikan Lila yang tengah serius membaca buku. Gemas rasanya melihat Lila seperti sedang pusing memahami tulisan-tulisan di buku paket kimia yang ia pegang. Gadis itu sesekali mengacak rambutnya karena kesal sendiri. Refleks, Navi mengulurkan tangan kanannya dan mengusap pelan puncak kepala Lila. "Gue iri sama Mola," tukas Navi dengan lugas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD