19. Sekedar Singgah

1010 Words
- "Aku tahu, mungkin mendapatkanmu adalah hal paling mustahil di dunia ini. Tapi, aku lebih tahu bahwa menyayangimu adalah hal paling indah dalam duniaku." - *** "Lila!" Lila menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang memanggil namanya. Gadis itu baru saja keluar dari kelas. Dia memakai cardigan tebal berwarna hijau tosca. Tatapannya sudah layu. Lila terlihat sangat lelah sekarang. Setelah ditinggal Navi di laboratorium tadi, dia pergi ke perpustakaan. Niatnya untuk numpang ngadem dan tidur. Tapi, dia justru bertemu dengan Pak Sanip. Dan Lila, disuruh untuk membereskan tumpukan buku paket yang jumlahnya beratus-ratus. Kata Pak Sanip, itu adalah sebagai hukuman Lila karena gadis itu sering tidur di kelas. Lila mengerlingkan bola matanya. Magenta itu, mau ngapain lagi, sih, dia? "Apa? Gue mau pulang, Ta," tukas Lila. Magenta berjalan mendekati Lila. Dia memasang ekspresi gembira dengan menyengir sangat manis. "Lila, please, lo ikut ke rumah gue, ya, ntar? Malam mingguan, kuy lah ikut!" ajak Magenta bersemangat. "Haduh. Gue bingung, nih. Gue pengin ikut banget sebenernya. Apalagi gue udah request makanan, kan, kemarin? Ah, masa iya gue jadi nggak nyicip. Navi sih, malming kok belajarnya nggak libur! Dikira otak gue nggak butuh istirahat kali!" cerocos Lila menggebu-gebu. Tak disangka, sosok yang sedang dibicarakan justru muncul dari dalam kelas. Muka tembok es Navi membuat keadaan sekitar seperti membeku seketika. "Apa sebut nama gue?" tanya Navi dengan penuh penekanan. "Gue mau nanti libur. Otak gue butuh istirahat! Gue mau nebeng makan di rumah Genta!" pekik Lila berdecak pinggang. Navi menyercitkan dahinya. Libur? Enak saja! Baru juga kemarin dimulai kontrak belajar barengnya. Argh! Navi hanya tidak ingin terlalu lama menjalani kontrak itu. "Lo nggak punya otak. Jadi nggak perlu libur!" Magenta menggelengkan kepalanya. Jika gadis yang ia sukai dihina seperti ini, tentu saja dia tidak mau tinggal diam. "Lo kalo ngomong disaring dulu. Kualat baru tau rasa lo!" celetuknya. Bukannya mendengarkan perkataan Magenta, Navi justru menarik paksa Lila pergi. Lebih cepat lebih bagus. Lebih cepat belajar, lebih cepat Lila paham, lebih cepat kontraknya selesai. Lila menekuk mukanya. Dia sudah benar-benar malas dengan semua sikap Navi yang sebentar galak, sebentar lembut. Menyebalkan! Parkiran SMA Sky Blue seketika menjadi ricuh dan penuh dengan bisikan-bisikan dari para siswa. Sebab, seorang Navino Reagen yang menarik lengan seorang gadis ke mobilnya. Cahaya matahari sore yang sangat menyilaukan membuat Lila menyipitkan matanya. Sesekali dia juga berlindung dibalik punggung Navi. Jujur saja, dia merasa menjadi pusat perhatian semua siswa sekarang. Ada apa sebenarnya? "Nav, gue udah ngelakuin kesalahan apa? Gue nggak nyuri, gue jadi perusak hubungan orang, gue nggak jadi cabe atau jamet, kok mereka kayak ngomongin gue, sih?" bisik Lila kepada Navi. Cowok itu menyentil pelan dahi Lila, seakan-akan mengancam Lila untuk tidak terlalu dekat dengannya. "Lo udah pernah ngehujat mereka, mungkin? Lo kan mulutnya nyap-nyap banget tuh! Lemes banget buat ngomongin orang!" jawab Navi berbohong. Dia jelas tahu, mengapa Lila dan dia menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, karena ini adalah kejadian langka sosok Navi yang bersedia mengantarkan seorang gadis pulang. Mendengar pungkasan Navi, Lila memiringkan kepalanya. Dia seolah berpikir, padahal jelas pikirannya sedang kosong sekarang. "Gue emang udah ngehujat banyak orang. Mulut gue laknat banget emang. Tapi, omongan lo itu lebih tajam, sih, Nav!" Navi acuh. Dia tidak mendengarkan ocehan Lila lagi. Cowok itu mulai membuka mobilnya dan memberi kode kepada Lila agar Lila segera masuk juga. Setelah Lila masuk, Navi menancapkan gas dan tak lupa menekan klakson kuat-kuat sehingga bunyinya sangat berisik. Sengaja. Dia sengaja melakukan itu untuk para siswa yang bergerombol menggosipi dia dan Lila tadi. Sore yang cerah. Namun, tidak bagi Lila. Dia mengambil lakban hitam yang ada ditasnya. Digunting lakban itu untuk membungkam mulutnya rapat-rapat. Ya, dia sedang malas berbicara. Lagi pula, masa iya sepanjang perjalanan dengan Navi tapi dia mengoceh sendiri? Tidak. Mulutnya bisa pegal-pegal nanti. Dia ingin istirahat sejenak. Membiarkan tidak ada satu ocahan pun keluar dari bibir manisnya. Perlahan, Lila menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. Dia mengantuk sekarang. Alunan musik ballad yang Navi putar, membuat Lila terbuai dalam rasa kantuknya. Dengan mudah, gadis itu memejamkan mata dan mulai tertidur. Masa bodoh dengan perlajanan ke rumahnya. Masa bodoh dengan kesempatan yang seharusnya dia mendekatkan diri kepada Navi. Ah, Lila sedang sibuk untuk mengurus dirinya saat ini. Navi melirik sekilas kepada Lila. Napas gadis di sebelahnya itu seperti sesak. Dia seperti sedak napas. Astaga, Lila tidur dengan keadaan mulutnya dibungkam? "Dasar nggak punya otak!" gerutu Navi. Dia berusaha melepaskan lakban di mulut Lila dengan pelan. Ada untungnya juga Lila tertidur, Navi jadi tidak perlu mendengar celotehan gadis itu yang tidak bermanfaat sama sekali. Tapi tunggu, bahkan saat tertidur, Lila sangat berisik. Dia mendengkur begitu kerasnya sampai suara musik yang sedang diputar kalah telak. Navi hanya bisa menghela napasnya kasar. Mencoba bersabar dengan apa yang sedang dia hadapi sekarang. Sungguh, sebetulnya Navi ingin membuang Lila ke tepi jalan sekarang juga! Lima belas menit berlalu, Lila belum sama sekali membuka matanya. Tidak ada tanda-tanda dia akan bangun dari tidurnya. Navi menepuk dahinya sendiri. Mobilnya telah berhenti di depan sebuah rumah. Haruskah dia menyiram Lila, agar Lila bangun? Tanpa berpikir panjang lagi, Navi langsung saja mencubit kuat lengan bawah Lila. Membuat gadis itu terbangun dengan suara jeritan yang sangat keras. "Aa!! Tangan gue kegigit ikan hiu!" pekik Lila baru setengah sadar. "Cepet, turun! Mampir dulu ke rumah gue bentar!" perintah Navi dengan lugas. Dia segera turun dari mobil, meninggalkan Lila yang masih mengusap-usap bekas cubitan Navi. Lagi-lagi Navi berbuat semena-mena terhadapnya. Lila turun, dia mengikuti Navi dengan tergopoh-gopoh karena setengah nyawanya yang masih belum terkumpul. Begitu menapakkan jejak di halaman rumah Navi, Lila sangat terkesima. Mulutnya menganga lebar, takjub dengan apa yang ia lihat. "Nav, ini rumah lo, apa istana? Gila bener! Jadi nggak sabar, pengin nempatin rumah ini bareng lo!" seru Lila histeris. "Lo jadi pembantu gue lah iya!" sergah Navi dengan nada tinggi. Dia berjalan tegap di depan Lila, layaknya seorang tour guide. "Abang!!" sapaan riang dari arah pintu rumah Navi, membuat Navi maupun Lila menatap ke arah itu. Seorang anak lelaki kecil, dengan pipi tembem dan mulutnya yang ceromot karena memakan es krim. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD