18. Merumit

1073 Words
- "Sampai cahayaku meredup sekalipun, aku akan terus berusaha menerangi jalanmu." - *** "Genta, ini aja masih kurang satu. Sop buah!" sahut Lila memegang sendok untuk memakan nasi padang di depannya. Ruby menggeleng pelan. Dia menyeruput lemon tea miliknya dengan pelan. "Pantesan La, abis istirahat lo langsung molor. Mana dapet kalori sebanyak itu lagi! Ih, gue aja lagi ngurang-ngurangin makan yang mengandung kalori banyak. Lumayan, bisa lebih kurusan ntar," timpal Ruby disela seruputannya. Diego tertawa seorang diri, dia meletakan garpu di atas sepiring mie-nya. "Gue yakin sih, Lila tuh cacingan! Makan banyak terus tapi berat badan nggak nambah-nambah!" "Astaga, gue jadi pengin punya cacing. Bisa bebas mau makan apa aja tanpa mikirin berat badan!" seru Ruby bersemangat. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga karena merasa terganggu akan hal itu. "Ya nggak kayak gitu juga, Ruby! Jadi pengin semprot lo pake sambel!" Magenta menyodorkan sambal setan yang hendak dia campur dengan ayam bakar. Ah, hari ini mungkin akan menjadi hari yang menyenangkan. Terlebih, ke-empat remaja itu sudah merencanakan sesuatu nanti malam. Lila memutar-mutar sedotan Thaitea bobanya. Dia merasa gundah. "Gais ... ntar gue nggak jadi ikut kalian main ke rumah Genta." Magenta membulatkan matanya. Dia membenarkan letak dasinya yang tadi menceng. "Kenapa? Padahal, lo yang semangat waktu denger ada makan-makan di rumah gue," ujar Genta merasa kecewa. Lila menunduk lesu. Dia paham betul Magenta sangat kecewa. Tapi, mau bagaimana lagi? "Navi. Gue harus jalanin kontrak belajar sama dia." "Lila, apa nggak bisa hari ini nggak njalanin kontrak itu?" tanya Ruby sedikit memelas. "Nggak bisa. Navi terlalu kejam bikin kontrak itu. Gue juga main tanda tangan lagi. Intinya, kalo gue absen belajar sama dia, gue harus ngundurin diri dari sekolah," jawab Lila sedikit ragu. Dia melanjutkan kembali makan-memakannya. Tadi satu piring nasi padang sudah dilahap tuntas. Kini dia beralih dengan ketoprak miliknya. "APA?!" seru Ruby, Magenta, dan Diego serentak. Bagaimana bisa mereka tidak terkejut? Mendengar penuturan Lila itu, mulut mereka membuka lebar seakan tidak percaya. Hembusan angin yang cukup kuat, membuat rambut Lila beterbangan. Yah, sudah berantakan dan kini semakain berantakan. Tapi, tumben sekali Lila memakai dasi dan sabuk? Apa dia habis diruqyah? Sreett ... Kursi putih di dekat Lila mendadak terdengar seperti ada seseorang yang menarik kursi itu. Tanpa izin, Navi segera duduk dan sedikit bergesar sampai menyebelahi Lila sangat dekat. Apa Navi sedang di fase blue? "Apa?" tanya Navi dengan ketus. Ketiga sahabat Lila di meja kantin itu melirik sinis ke arah Navi yang baru bergabung. Magenta berdiri. Dia berdecak pinggang di depan Navi. "Lo mau apa ke sini? Seenaknya aja duduk di samping Lila!" pungkas Magenta. Navi menyapukan rambut tebalnya ke belakang. Entahlah, dia sangat suka menyapukan rambutnya. "Emang lo siapanya Lila? Gue mau ngomong penting. Jadi suka-suka gue lah!" sahut Navi terdengar sangat judes. "Siapa? Harusnya kita yang tanya lo!" timpal Diego sedikit menaikkan nada suaranya. Navi mengerutkan dahinya merasa bingung. "Siapa? Gue mentor dia. Gue kesini cuma mau ngasih tugas sama dia!" Navi meletakan dua empat buah buku yang sudah dia tandai halamannya terkait tugas yang ia berikan. Lila menggeleng kuat. Jelas, dia enggan menerima tugas begitu banyaknya dari Navi. "Nggak! Ini kebanyakan, Navi. Otak gue bisa njebol!" rengek Lila mengerucutkan bibirnya. Dia menyedot kembali Thaitea boba ukuran large-nya yang tidak kunjung habis. "Heh! Lo kan nggak punya otak! Makanya, gue kasih tugas banyak biar otak lo tuh mulai muncul dan bisa buat mikir!" sarkas Navi menyentil dahi Lila. Ya, buruknya Navi pada fase unblue bertambah lagi. Dia bisa menyakiti seseorang tanpa memandang gender. "Sakit, Navi!" pekik Lila mengusap dahinya. Navi terkejut hebat saat kerah seragamnya dicekal kuat oleh Genta. Magenta membuat Navi berdiri di hadapannya. Ah, sahabat Lila yang satu itu terlihat sangat marah dan tidak terima. "Lo jangan ngomong kayak gitu ke Lila! Dan lo, nggak usah nyakitin Lila!" bentak Magenta dengan tegas. "Gue bingung. Gue nggak suka liat Lila disakitin. Tapi disisi lain, semakin Navi menyakiti Lila, semakin besar kemungkinan Lila akan membenci Navi." Navi tersenyum miring, setelah mendengar suara hati Magenta. "Ayo cepet pukul gue. Lo mau jadi jagoan kan, di depan Permen Karet? Ayo pukul! Di sini nih." Navi menepuk pipi sebelah kanannya. Sengaja. Dia ingin memancing emosi Magenta. "Stop! Udah deh, Ta. Gue nggak papa, kok. Udah biasa diginiin sama Navi. Udah, ya, lo tenang," bujuk Lila. Dia mendekat ke arah Magenta. Dia ingin menurunkan emosi cowok itu terlebih dahulu. Dan berhasil. Magenta akhirnya melepaskan cekalannya pada kerah Navi. Sekejap dia melemah dan emosinya lenyap ketika mendengar suara Lila. Astaga, kenapa Magenta sangat bucin terhadap Lila yang bahkan tidak menganggap dia lebih dari seorang sahabat? "Lo berdua emang cocok. Yang satu emosian, satunya lagi berisik nggak punya otak. Emang sih, tong kosong nyaring bunyinya!" pungkas Navi. Dia mengambil es milik Lila yang tinggal setengah. "Buat gue!" ujarnya kemudian beranjak pergi. Baik Lila maupun Magenta terbisu. Memikirkan, sebenarnya apa mau Navi? *** Navi memperhatikan Lila yang sedang menggunakan mikroskop di laboratoriun biologi. Berhadapan dengan kaca jendela, membuat cahaya dari luar masuk mengenai wajah Lila. Bulu mata Lila yang panjang dan lentik serta senyum manis di bibir mungilnya, terlihat begitu jelas di mata Navi. Cantik. Entah kenapa kata itu terucap di benak Navi. Lila yang rambutnya dikucir dan untungnya, dia menggunakan ikat rambut warna hitam. Navi juga bingung dengan perasaannya sendiri. Jika Lila bukan penyuka warna biru, Navi mungkin tidak akan membenci Lila. "Gue nggak bisa liat jaringannya ... " keluh Lila memasang muka memelas. Dia membenarkan ikatan rambutnya yang terlalu kencang. Navi mendorong Lila, agar gadis itu menyingkir dari depan mikroskop. "Lo aja make mikroskop matanya ditutup semua, mana bisa liat!" "Hah? Masa? Lo dari tadi ngeliatin gue dong berarti?" tanya Lila dengan mata berbinar. Rasanya, dia ingin loncat-loncat sekarang juga. Navi melirik tajam. "Ya gue liatin lah, ntar lo sentuh mikroskopnya terus langsung rusak, siapa yang mau tanggung jawab?" balas Navi. "Navi." Sapaan lembut seorang cewek, membuat Navi dan Lila menoleh ke arah sumber suara. Jingga. Bagi Lila, dia sangat merusak momen indah yang sedang Lila lewati. "Gu butuh bantuan, Nav. Gue mohon bantuin gue ... " pinta Jingga. Navi dapat melihat jelas, bola mata Jingga yang berair, kantung matanya yang membesar. Apa Jingga habis menangis? "Ada apa? Lo tenang dulu, kita ngomong di luar," jawab Navi mencoba menenangkan Jingga. Dia segera memapah cewek itu ke luar laboratorium. Jingga adalah sosok yang berharga bagi Navi. Lila yang menyaksikan sikap Navi kepada Jingga, dia merasa iri. Sepertinya, hanya kepada Jingga, Navi berbuat baik. Hanya Jingga, yang mungkin tak pernah disakiti oleh Navi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD