22. Selangkah Lebih Maju

1015 Words
- "Dunia sepertinya penuh dengan orang-orang yang membohongi dirinya sendiri." - *** Lila tertegun. Navi menyebut namanya? Jantungnya terasa berdebar lebih cepat. "Lo harus temuin diri lo yang sebenarnya, Nav. Mau lo galak atau mau lo lembut, asalkan itu adalah diri lo sendiri." Navi refleks mengusap lembut puncak kepala Lila. Rambut Lila yang digerai untunglah masih tertata rapi. "Kalo lo, lebih suka ke gue yang versi mana?" tanya Navi bernada serius. Lila menunduk. Dia tidak ingin beradu pandang dengan Navi. Jujur saja, itu sangat berbahaya bagi kesehatan jantungnya. "Gue suka sama diri lo yang sesungguhnya. Yang benar melekat ada pada diri lo. Jangan ngerubah diri lo hanya karena ingin disukai seseorang. Atau hanya karena tolak ukur seseorang. Karena yang berhak nentuin diri lo yang sebenarnya, adalah diri lo sendiri, Nav." Navi melengkungkan bibirnya ke atas. Jujur saja, dia baru dengar pertama kali Lila yang seperti ini. Ternyata, Lila mempunyai pemikiran yang bagus. "Gue baru tahu, lo bisa ngomong kayak gitu juga. Gue pikir, lo cuma bisa nyerocos sama ngehujat orang," ujarnya. "Ya lo baru tahu, karena lo nggak nyoba nyari tahu tentang gue. Lo hanya nilai gue dari apa yang lihat dan yang lo denger doang, tanpa nyari tahu sendiri. Tunggu. Lo ... jangan-jangan lo mulai penasaran sama hidup gue, Nav?" Lila mendongak, dia akhirnya mau menatap Navi. Dia ingin mencari kebenaran melalui netra hazel yang bening itu. "Iya." Singkat, padat, dan jelas namun 1 kata dari mulut Navi itu membuat jantung Lila tidak karuan. Membuat gadis itu menganga ingin berteriak sekencang-kencangnya. Bahkan Lila tidak mendengarkan penjual bakso bakar yang terus memanggilnya. Navi mengacuhkan Lila yang masih membuka lebar mulutnya. Cowok itu membayar bakso bakar pesanan Lila dan menarik lembut pergelangan Lila agar menepi, duduk di bangku putih. "Dimakan, jangan melongo terus. Lo pikir baksonya bisa jalan sendiri ke mulut lo?" Navi menyodorkan bakso bakar tadi ke hadapan Lila. Lila mengambil satu tusuk bakso bakar, lalu melahapnya dengan cepat. "Jadi, lo pengin tahu tentang apa soal gue?" "Banyak. Termasuk lo yang nggak bisa ngomong di dalam hati. Sejak kapan itu berlansung?" Navi terus menatap gerak-gerik Lila yang tengah asik menikmati bakso bakar. "Gue juga nggak paham banget. Tapi kejadian ini semenjak gue SMP, kelas 8 kayaknya. Yang waktu lo nangis karena mau duduk semeja sama gue!" jawab Lila antusias. "Gue? Nangis? Nggak mungkin! Lo halu kali!" Lila berhasil membabat habis 10 tusuk pertama. Sekarang dia menjutkan untu memakan sisa bakso bayarnya. "Ih lo nangis, Nav. Salah gue juga, sih, macem-macem sama lo." Navi mengangkat sebelah alisnya. Nangis? Seorang Navi menangis? Astaga, mungkin Lila mrngada-ada. "Emang lo ngapain?" tanya dia sangat ingin tahu. Rona merah di pipi Lila muncul. Gadis itu tampak malu-malu. "Gue berhasil meluk lo waktu itu. Abisnya gemes banget sama muka tembok lo!" celetuk Lila terkekeh geli. "Kan, lo pasti halu!" sergah Navi. "Terus, lo ada sesuatu petunjuk mungkin buat nyembuhin diri lo?" Lila menggeleng lesu. Mulutnya itu sangat comot karena terkena saos dan mayonise. "Nggak ada sama sekali. Padahal, gue sendiri pengin banget kayak orang normal. Dan gue juga pengin mencintai dalam diam. Jangan malah frontal banget kayak gini. Harga diri gue anjlok, seriusan. Tapi mulut gue tuh emang laknat banget!" Navi berdecak. Ada yah, gadis cantik tapi makannya berantakan seperti anak kecil. Navi meminta tisu kepada penjual bakso di samping bangku yang ia duduki. Dia mengusap dengan pelan tisu itu pada noda di bibir Lila. "Gue suka yang kayak gitu padahal," tukas Navi. Lila menyipitkan matanya. Ucapan Navi bermakna ganda. "Suka yang dalam diam? Atau suka yang frontal? Yang dalam diam, yah? Iya sih, gue juga kalo jadi cowok nggak akan milih yang terlalu ngejar gue. Kayak nggak ada harga diri gitu, kan?" Navi menepuk dahinya sendiri. Kenapa presepsi Lial justru seperti ini. Sudah tidak paham dengan pelajaran, Lila juga tidak paham dengan persoalan hati? "Navi!" Lila memutar bola matanya sangat malas. Mendengar suara gadis perusak suasana dia dan Navi. Ya, Jingga datang dengan mengenakan gaun selutut berwarna beige rambutnya digerai sempurna, dan dia memakai riasan tipis dengan menonjolkan warna di kelopak matanya. Benar. Sangat berbeda dengan Lila yang masih mengenakan seragam sekolah juga hanya dilapisi oleh jaket abu-abu milik Navi. Dia saja baru menyadari bahwa dia belum mandi. Astaga, apa Navi dari tadi tidak peduli soal itu? "Apa?" tanya Navi dengan ketus. "Apa? Gue mau modus, lah! Orang udah dandan gini kok!" "Lo lagi ngapain di sini? Nggak nyangka banget gue ketemu lo!" jawab Jingga yang berbeda dari kata hatinya. "Kalo gue jawab lagi apel, lo mau apa? Mau nangis dramatis kayak waktu itu yang gue sama Lila lagi di lab? Gue udah tahu semua akal licik lo, Jingga." Navi mengatakan itu dengan lugas. Iya, siapa yang tidak kesal coba? Saat Navi dan Lila di laboratorium, mengerjakan project biologi, justru Jingga datang menarik Navi. Dia menangis-nangis di depan Navi mengaku bahwa mobilnya hilang. Dan meminta Navi membantunya. Tapi terkuak sudah mobil Jingga hanya berada di parkiran belakangan yang jarang di tempati. Semakin kesini, semakin Navi mengerti. Bahwa dunia penuh dengan omong kosong dan kebohongan. "Gimana sih, Nav? Itu kan cara gue cari perhatian ke lo!" "Maaf Navi, gue nggak bermaksud kayak gitu." Ucapan Jingga membua Navi terkekeh kecil. Lagi-lagi, perkataan gadis itu berlawanan dengan hatinya. Navi melirik sekilas kepada Lila yang baru menyetop penjual es teh keliling. Rupanya, Lila sedang haus dan tidak terlalu tertarik kepada obrolan Navi dan Jingga. Cowok itu menarik napasnya pelan. Menatap Jingga dengan tatapan yang tajam. "Lo mau jadi cewek gue?" Mata Jingga membelalak. Dia terkejut bukan main. "Iya, gue mau!" jawabnya dengan histeris. "Masa iya gue bakal nolak. Lumayan, bisa panjat sosial nih gue!" "Mau? Ya udah, gue nanya doang, bukan ngajak jadian!" sarkas Navi merasa geram karena mendengar perkataan di dalam hati Jingga. Apa tadi? Pansos? Navi sangat membenci hal itu. Merasa cukup, dia menarik lengan Lila tanpa ijin. Gadis itu padahal baru meneguk es tehnya. Biarlah. Hati Navi sedikit teriris, dia merasa tidak ada yang tulus di dunia ini. Tidak ada yang menginginkannya karena cinta. Namun, Navi baru ingat. Ada satu gadis yang memang mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Lila Rosetta. Haruskah Navi mulai membuka hati? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD