41. Kesedihan Lila

1232 Words
"Jadi selama ini aku terpedaya olehmu? Mengapa? Mengapa semesta dengan mudahnya membuat aku jatuh cinta. Membuat aku bertekuk lutut padamu? Dan mengapa, kamu mudah sekali menghancurkan hatiku seakan-akan, semesta sudah mentakdirkan aku untuk sakit hati karena dirimu." *** "Jadi, jawaban dari tugas spesial gue apa?" Deru napas Lila mendadak tidak teratur. Jantungnya begitu berdetak hebat. Lila tak bisa memudarkan senyum cantiknya sedikit pun. "Jawaban tugas itu, tulisannya I Lv U, Lila," balasnya mengeja setiap huruf jawaban tugas spesial. "Jadi, kalau dibaca?" "I love you, Lila." Lila tersipu malu saat Navi tidak jeda untuk menatapnya. Cowok itu tersenyum begitu manis. Lebih manis daripada senyum dua sebelum-sebelumnya. "Terus?" tanya Navi. Lila terkekeh kecil. "Lo unik, Nav. Makasih, akhirnya lo jatuh hati juga sama gue. I love you too, Navi," ujarnya terdengar sangat tulus. Navi sedikit membungkukkan tubuhnya, berusaha menyamakan tingginya dengan Lila. "Lo salah. Yang benar itu i leave you, Lila." Lila mengkerutkan dahinya. "Maksud lo?" "Iya, i leave you. Kontrak Navila udah selese karna lo udah paham pelajaran, dan tujuan gue juga tercapai. Makasih ya, sebelumnya." Navi melepaskan genggaman yang ada pada tangan Lila. Dia kembali menegakkan tubuhnya. Mata Lila membulat lebar. Dia tidak paham dengan apa yang Navi ucapkan. "Maksudnya apa, Nav? Bukannya kita udah deket? Lo juga udah cium kening gue kemarin. Terus tadi lo bilang mau ninggalin gue? Gue dianggap apa sama lo?" "Lo nggak sadar kalo gue selama ini deket karena mau manfaatin lo? Gue butuh lo buat mencapai tujuan gue." Lila menggeleng tidak percaya. "Apa tujuan lo? Katakan sekarang!" "Gampang. Cuma buat ngilangin bluphobia gue. Lo tau, kan, kepribadian gue sering berubah? Waktu gue jadi bersikap baik sama lo adalah waktu setelah gue liat warna biru." Navi mengungkapkan mengenai teori warna biru yang ia miliki. Untuk apa menutupi lagi? Toh juga sudah hilang. "Gara-gara bluephobia, gue juga bisa denger suara hati orang lain. Gue benci, gue benci pada suara-suara munafik orang-orang itu. Asal lo tahu, Gue udah mecahin teori warna biru. Bahwa, buat ngilangin itu semua, gue harus semakin deket dengan orang yang berbanding terbalik sama gue. Orang yang suka banget warna biru, juga orang yang nggak bisa ngomong dalam hati. Dan itu lo!" Dada Lila menjadi sesak. Air matanya tak bisa lagi ia bendung. "Jadi, selama ini lo deketin gue tanpa ada rasa sayang sedikit pun?" Air matanya mengalir deras, tertohok oleh semua realita. "Iya. Seratus persen karena gue pengin ngilangin bluephobia! Makasih loh, udah bantuin gue. Gue jadi bebas pergi-pergi tanpa khawatir liat warna biru." Navi menepuk bahu Lila beberapa kali. Justru hal itu membuat Lila semakin tersakiti. "Jadi mulai sekarang, nggak usah ganggu kehidupan gue lagi!" lanjutnya. Langit malam begitu indah, dilengkapi jutaan bintang dan bulan purnama. Namun sayangnya, hal indah itu begitu bertolak belakang dengan hati Lila yang rusak total. "Kalo lo nggak suka sama gue, nggak usah pake nyakitin gue segala!" serunya sembari terus menangis. Isakannya semakin kuat, Lila menangis sejadi-jadinya. "Nggak usah lo sok sokan peduli. Sok-sokan perhatian dan semakin hari semakin bikin gue berharap lebih sama lo!" sambung gadis itu memukuli d**a Navi. "Salah sendiri lo yang baperan." Lila memegangi kepalanya. Pusing. Itu yang ia rasakan sekarang. Gadis itu menatap tajam ke arah Navi. "Lo adalah cowok paling buruk yang pernah gue temui!" "Minggir! Urusan gue udah selesai di sini. I leave, Lila. Good bye." Navi mendorong Lila agar gadis itu menyingkir dari hadapannya. Dia bergegas melangkah pergi meninggalkan Lila yang masih menangis deras. "Kuang ajar! Lo nggak punya hati, lo nggak punya perasaan! Gue benci sama lo! Gue benci banget sama lo!" Lutut Lila terasa lemas, dia perlahan menekuk lututnya dan membiarkan dirinya duduk di atas rerumputan. "Gue benci sama lo, Navi!" *** La, lo pasti abis nangis." Lila menggeleng tanda tak setuju. Tatapan gadis itu kosong, tak ada satu pun kata yang ingin ia ucapkan sekarang. Meski sedang bersama ketiga sahabatnya di rumah Magenta, dia terus-terusan melamun. Tebakan dari Magenta memang ada benarnya. Mata Lila sangat sembab, kantung mata itu pun sedikit membesar. "La, lo kenapa? Cerita sama kita," bujuk Ruby merangkul pundak Lila. Hanya saja, Lila tetap diam. Melihat Magenta duduk dengan kaki diluruskan di atas ranjang kamar cowok itu, ada secuil rasa penyesalan bagi Lila. Diego menyentil dahi Lila ranpa belas kasihan. Dia tidak bisa menahan rasa kesalnya karena Lila tak kunjung mengeluarkan suara. "Aduh, lo kenapa dah. Nggak usah kayak orang jaman batu yang nggak ngerti bahasa. Ayo cepet, lo cerita. Apa perlu gue paksa lo buka mulut pake mangga?" "Gue laper." Magenta, Ruby, dan Diego mendengus serentak. Mereka pikir, Lila sedang memiliki suatu masalah. Namun ternyata, gadis itu hanya lapar. Lila sengaja berbohong, dia tidak mau menambah kepedihan temannya. Karena jika Lila menceritakan hal sebenarnya, dia pasti tidak akan bisa berhenti menangis. Gadis itu hanya merasa kasihan dengan Magenta yang sedang mengistirahatkan kakinya karena cedera tadi. Apa? Tunggu. Lila bisa berbohong? Bagaimana bisa? Gadis itu saja belum menyadarinya. Dia terlaru larut dalam perasaannya yang bertalu-talu. Tadi adalah sebuah kebohongan pertama kali yang Lila buat. "Kok gue nggak percaya?" Mendengar pertanyaan itu dari Diego, Magenta langung menimpuk cowok itu menggunakan bantal di sampingnya. "b**o. Lila kan nggak bisa bohong. Gimana sih lo, Di?" Indiego berputar otak beberapa detik. "Iya juga, lupa gue," ungkapnya. "Ya udah kuy, La, kita makan. Nyokapnya Genta udah masak banyak tadi." Diego berlenggang ke luar kamar, tidak mempedulikan sang pemilik rumah yang belum bisa berjalan seperti biasanya. "Kejam banget lo pada, masa gue ditinggal?"Magenta menekuk mukanya tanda sedih. Pandangan tajamnya ia arahkan di ambang pintu. Diego sudah tidak terlihat di sana. "Heh, k*****t! Lo bantuin gue jalan. Kaki kanan gue kan masih--" "Sama gue, Ta. Ayo berdiri." Uluran tangan dari Lila membuat Magenta tercengang. "Jangan, La. Berat. Gue nggak mau mbebanin lo," tolaknya secara halus. "Berdiri, atau gue pulang? Gue kuat, Ta," paksa Lila yang masih menggunakan gaun hitam. Magenta itu terlalu lebay memikirkan Lila kuat atau tidak. Toh padahal, dia tidak cedera berat. Jadi pasti masih bisa sedikit berjalan hanya memerlukan sesuatu untuk pegangan. Magenta menghela napasnya pasrah. Dia tak bisa menolak paksaan Lila saat ini. Cowok itu mulai berdiri dengan bantuan Lila. Tangan kanannya merangkul pada Lila. Damn it! Deg-degan banget gue deketan sama Lila! "Pelan-pelan aja, Ta. Lo pasti bisa," celetuk Lila untuk memberikan semangat kepada sahabatnya. Magenta mengiyakan, dia mulai berjalan dengan pelan. Syukur saja masih bisa menapakkan kaki. Hanya saja dia butuh keseimbangan. Cowok itu menoleh ke arah Lila. Dalam jarak dekat ini, dia tidak bisa mengontrol detak jantung dan napasnya. "La, lo nggak papa?" tanya Magenta begitu terus melihat Lila yang murung. "Kita ke balkon aja, jangan ke ruang makan. Gue tau lo nggak laper." Lila berhenti. Dia berpikir sejenak. Benar. Dia tidak lapar sama sekali, yang ia butuhkan adalah udara segar. "Iya udah ke balkon." Untung saja balkon di lantai dua tak jauh dari kamar Magenta. Sehingga Lila tak perlu bersusah payah memapah Magenta lebih lama. Gadis itu membantu Magenta untuk duduk, lalau dia duduk di sampingnya. Semilir angin malam menerpa mereka tanpa henti. Gemerlap indahnya langit belum juga sirna. "Lo kenapa? Kok mukanya masam gitu? Bukannya lo harusnya seneng bisa tampil sana Navi? Gue denger itu dari Ruby tadi." Magenta menyelipkan rambut Lila yang menghalangi wajah cantik itu. Dia dapat melihat, Lila membendung air matanya. Magenta tidak tega. Dia memutar tubuh Lila menjadi berhadapan dengannya. Membawa gadis itu dalam pelukannya yang hangat. "Nangis. Nangis aja, La. Jangan ditahan, karna itu lebih menyakitkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD