42. You Are a Pearl

1035 Words
"I believe that every sadness has happiness soon, every happiness has sadness in behind. Life is too boring if you just feel the one. So, just go through all the feeling like playing roller coaster. Even you down, even you up, you will feel so marvelous!" *** "La, lo nggak papa?" tanya Magenta begitu terus melihat Lila yang murung. "Kita ke balkon aja, jangan ke ruang makan. Gue tau lo nggak laper." Lila berhenti. Dia berpikir sejenak. Benar. Dia tidak lapar sama sekali, yang ia butuhkan adalah udara segar. "Iya udah ke balkon." Untung saja balkon di lantai dua tak jauh dari kamar Magenta. Sehingga Lila tak perlu bersusah payah memapah Magenta lebih lama. Gadis itu membantu Magenta untuk duduk, lalau dia duduk di sampingnya. Semilir angin malam menerpa mereka tanpa henti. Gemerlap indahnya langit belum juga sirna. "Lo kenapa? Kok mukanya masam gitu? Bukannya lo harusnya seneng bisa tampil sana Navi? Gue denger itu dari Ruby tadi." Magenta menyelipkan rambut Lila yang menghalangi wajah cantik itu. Dia dapat melihat, Lila membendung air matanya. Magenta tidak tega. Dia memutar tubuh Lila menjadi berhadapan dengannya. Membawa gadis itu dalam pelukannya yang hangat. "Nangis. Nangis aja, La. Jangan ditahan, karna itu lebih menyakitkan." Lila tidak bisa membendung air matanya lagi. Tangisnya tumpah ruah, rasa sakit pada hatinya mendesaknya untuk menangis keras. Genta mengusap kepala Lila dengan lembut. "Gue tahu, La, nggak semua hal bis a diceritain. Tapi gue lebih tahu, kalo gue nggak bisa liat lo murung." "Gue benci sama Navi ... " "Kenapa, La? Ada apa yang sebenernya? "Navi, Ta ... dia nyakitin gue .... " rintih Lila masih terus menangis. "Berengsek!" "Gue cuma dimanfaatin sama dia, Ta .... " Magenta mengepalkan tangannya dengan kuat. Sesekali dia memejamkan mata. Sia-sia sudah rasa ikhlasnya membiarkan Lila dekat dengan Navi agar Lila bahagia. Nyatanya, Navi justru membuat Lila menangis seperti ini. "Semua bakal baik-baik aja, La. Lo punya gue, lo punya Ruby sama Diego. Lo harus kuat. Liat lo nangis kayak ini adalah rasa sakit hati gue paling dalam. " Tangisan Lila mulai memelan. Gadis itu dapat merasakan tepukan tangan Magenta pada punggungnya yang bertempo lambat. Hal itu dapat membantu Lila menjadi sedikit lebih tenang. Dia melepaskan pelukan Magenta, namun terus menuntuk untuk menyembunyikan matanya yang masih berair. Magenta menangkup kedua pipi Lila. Mengangkatnya, dan memaksa gadis itu untuk menatap dia. "You're a princess. Brave, strong, funny, beautiful. Your heart is a pearl. You have strong a cockle shell. So, if they try to hurt you, they just can hurt you till the cockle shell, not till the pearl." Magenta memberi jeda sejenak pada ucapannya. "Mereka emang bisa nyakitin lo, tapi hati lo punya perlindungan yang kuat. Lo bisa aja nangis, tapi tidak buat terus merasa sakit hati." "And don't forget that you, have The Three Musketeers who stay to protect you, stay to in your side. So princess, let's stop your sadness." Lila menutup matanya. Dia mencoba untuk lebih tenang dan meredakan rasa sakitnya. "Makasih, Ta. Makasih lo selalu ada buat gue," ucapnya ketika mata berairnya sudah mulai menghilang. Magenta tersenyum. Dia merasa bersyukur karena Lila telah berhenti menangis. "My pleasure, Lila. Cause i love you with all my sincerety." "Ck. Ditungguin makan malah ngebucin. Nggak tau apa gue laper banget!" Diego muncul secara tiba-tiba sembari memegangi perutnya sendiri. "Salah lo sendiri ninggalin gue. Gue nggak tega lah Lila yang bawa gue ke ruang makan. Kasian, ntar dia keberatan, dodol!" tukas Magenta berbohong. Diego berdecak sebal. "Ya udah sini, cepet!" Mereka bertiga lantas bergegas menuju ruang makan. Sembari berjalan, Lila memantapkan hatinya. "Ayo buktikan hal yang menyakitkan dia berikan, nggak bakal bisa bikin lo terluka. Mari kita buktikan, siapa nanti yang akan menyesal dan akhirnya bertekuk lutut!" *** "Oh, jadi gitu ceritanya? Kurang tuh si Energen! Perlu gue kasih kolor ijo dia!" Diego begitu kesal setelah mendengarkan semua cerita dari Lila soal Navi. Dia tidak habis pikir dengan cowok itu. Mengapa banyak sekali cowok yang mudah menyakiti hati seorang perempuan? Diego jadi tidak mengerti akan hal itu. Karena dia belum pernah merasa dekat dengan seorang gadis. Ya, hanya Ruby. Namun, dia juga tidak pernah menyakiti hati gadis itu. Kaki Magenta sudah membaik selama semalam. Dia mampu berjalan sendiri kalo ini. Berjalan bersama tiga orang sahabatnya di koridor kelas sebelas. Dia tersenyum, melihat Lila tidak murung lagi. Lila bercerita lanjang lebar dan berhenti baru saja. Dia pagi ini bahkan tidak terlihat seperti seseorang yang tadi malam hatinya tersakiti. Entah mendapat kekuatan dari mana, dia bisa terlihat begitu biasa saja. "Kalo gue sih, pengin racunin tuh orang pake saos samyang. Biar tau rasa dia!" pungkas Magenta. Ruby berdehem. Dia tengah memikirkan sesuatu. "Kalo Diego mau kasih kolor ijo, Genta kasih saos samyang, gue kasih Navi pelajaran kayak apa, ya? Apa gue sebar gosip aja, La? Gosip yang bakal bikin citra Navi anjlok!" Gelak tawa Lila terdengar menggelegar di koridor itu. Dia sampai menukul pundak Magenta yang ada di sampingnya. "Suka banget nih gue punya temen kayak gini. Bukan bikin gue sedih berlarut-larut, eh malah nyiapin strategi buat kasih pelajaran. Salut gue salut!" ujarnya dengan bertepuk tangan. "Apalagi sama gue ya, La? Jelas. Bang Diego, ambass kolor ijo!" Diego menepuk dadanya merasa bangga. Ruby mengangkat sebelah alisnya. Dia menoyor Diego yang berada di ujung kanan. "Ya jelas lebih salut sama gue, lah! Gue yang bikin strategi paling mantep! Ya, kan, La?" Dia menyenggol lengan Lila yang di kirinya. "Ehem ... mohon maaf gais, tapi jelas gue. Apalagi, gue yang setia setiap saat buat Lila." Magenta menyapukan rambutnya ke belakang. Biasa, tebar pesona. "Eleh si Gentong! Setia setiap saat lo kira lo deodorant? Btw lo yang varian apa? Deodoran krim atau roll on?" Diego melambai-lambaikan tangannya pada setiap siswa yang ia lewati. Pikirnya, semua siswa itu adalah penggemarnya. "Bacot, lo, Di! Enak aja Magenta Rauland kok disamain sama deodoran. Lo pikir pala gue botak kayak roll on?!" Mereka berempat mendadak berhenti melangkah ketika hendak melewati ruang guru. Serentak menelan ludah, dan terkejut. Pak Sanip berdiri berhadapan dengan mereka. Tatapan pria itu begitu tajam. "Maksud kamu apa Genta? Kamu menghina kepala saya? Kamu pikir kepala saya deodoran? Sini kalian berempat!" Mereka berempat tidak mau melangkah, saling memberi kode satu sama lain. "Kabur!!" teriak mereka lalu berlari ke arah yang berlawanan. "Sini kalian! Dasar siswa kurang ajar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD