46. Karma

1001 Words
- "Hidup itu terus berputar. Satu persoalan selesai, tak menjamin persoalan lainnya tidak mendekat." - *** "Buat lo, La." Lila menatap sebuah cup berisikan jus mangga segar yang baru Navi kasihkan untuknya. Gadis itu terlihat begitu tidak suka saat Navi berada di hadapannya saat ini, di meja taman SMA Sky Blue. "Buang aja. Gue nggak mau minum pemberian lo," tolak Lila mentah-mentah. "La ... gue ... gue temenin lo di sini, ya? Lo lagi bikin puisi? Boleh gue lihat?" Lila mendengkus kesal bukan main. Dia tidak suka waktu me time dia diganggu oleh orang lain, terlebih itu Navi. "Pergi. Lo ngerusak mood gue di sini!" Navi mengacuhkan usiran Lila. Dia bahkan memilih duduk tepat di hadapan gadis itu. Buku-buku Lila di atas meja taman, menarik perhatian Navi. Bukan. Bukan buku pelajaran, melainkan buku diary, notes book, juga buku agenda. Cowok itu lantas mendongak ke atas. Ke arah langit biru yang begitu cerah. Dia menghitung dalam hitungan satu, dua, dan tiga. Yang biasanya setelah 3 detik kepribadian Navi langsung dapat, kali ini warna biru dan hitungan itu tidak berpengaruh sama sekali padamya. "Lo udah bisa ngomong dalam hati, La? Gue perhatiin, lo sering diem soalnya." Lila melirik sekilas ke arah Navi. Unuk apa, sih, cowok itu bertanya-tanya? "Udah. Gue bebas ngomong di dalam hati gue." Navi sangat penasaran dengan semua hal itu. Semua hal yang menyangkut dengan Lila. "Lo tahu itu kenapa?" tanya dia mulai memasukkan permen karet ke dalam mulutnya. Lila menggeleng. "Nggak tahu." Ah, gadis itu merupakan tipikan yang masa bodoh dengan apa yang ia alami. Sangat berbanding terbalik dengan Navi, bukan? Ya, cowok itu justru terlalu bersemangat untuk memecahkan teori warna birunya sampai menemukan titik temu cara untuk memudarkan teori itu. "Sebenarnya, gue mau berterima kasih banget sama lo. Karena berkat lo, gue bisa ngilangin bluephobia. Tapi justru karena gue udah terbiasa sama lo, rasa nyaman dan cemburu itu muncul tiba-tiba, La." Meski tak mendapat jawaban, Navi tetap berusaha untuk menarik perhatian Lila. "Gue terlalu egois. Gue terlalu mikirin diri gue sendiri dan berambisi untuk melenyapkan semua keanehan dalam diri gue. Gue minta maaf sekali lagi, Ra, gue nggak ngertiin perasaan lo waktu lalu." Percuma. Lila tidak mendengarkan semua hal yang Navi ucapkan. Andai saja Nabi masih bisa menengar suara hati orang lain, dia pasti akan mencoba mendengarkan suara hati Lila. Melihat gadis yang dulu selalu banayk bivara namun sekarang cenderung bungkam, membuat Navi menatap gadis itu sengan sendu. "Lo gimana, La? Lo nyaman waktu lo nggak bisa ngomong dalam hati, atau nyaman bisa ngomong di dalam hati? Kalo gue sih--" "Nav, lo bisa nggak ganggu gue? Gue minta lo pergi sekarang juga!" ujar Lila memotong ucapan Navi. "La, gue cuma mau nemenin lo. Gue nggak mau lihat lo sendirian, La." Untuk kesekian kalinya, Lila mengacuhkan Navi. Senyumnya seketika mengembang sempurna ketika melihat Magenta berjalan mendekat ke arahnya. "Calon pacar!" teriak Lila memberi kode kepada Magenta untuk bergegas menghampirinya. Magenta membelai surai indah Lila setibanya dia di dekat Lila. "Apa, La?" "Temenin gue di sini, gue nggak mau di temenin sama cowok itu!" Lila melirik tajam ke arah Navi. Sudah dapat dipastikan, dia benar-benar tidak suka Navi berada di dekatnya. Navi tersenyum kecut. Pengusiran Lila membuat perasaannya hancur. Terlebih, Navi menyaksikan Lila dan Magenta yang sangat terlihat serasi. Cowok itu mengalah kali ini. Dia beranjak dari duduknya, menjauh dari sumber rasa sakit hatinya. Semua benar. Semua benar tentang kita akan mendapatkan sesuatu dari apa yang kita tanam. Kita akan mendapatkan balasan dari apa yang kita lakukan. Hukum karma memang sangat melekat. Melekat kuat untuk diri Navi. Mau menghujat dirinya seburuk apapun, karma dia masih berjalan dan mungkin tidak bisa untuk dihentikan. "Nav?" Navi menengok ke sebelah kirinya. Koridor kelas sepuluh di sore ini terasa begitu sepi. Ah, mungkin para siswa langsung pulang tadi sesudah bel pulang berbunyi. "Apa, Jingga?" tanya Navi datar kepada Jingga yang membawa sebuah kotak kecil berwarna merah. "Gue kemarin belajar bikin cokelat, Nav. Ini gue bikin spesial buat lo." Jingga menyodorkan kotak itu kepada Navi. Dia tak lupa untuk tersenyum secantik mungkin. "Gue nggak mau. Dimakan lo aja." Jingga mengerutkan keningnya. Cokelat yang ia bikin mati-matian auto ditolak oleh Navi? Yang benar saja. "Gue udah buatin yang spesial. Gue mohon lo terima, ya?" tawar Jingga sedikit memaksa. "Nggak. Gue nggak mau. Lagian, lo ngapain sih, deket-deket sama gue? Nggak usah lo perhatian sama gue, karena gue nganggep lo itu cuma tetangga." Navi tetap saja tidak mau menerima cokelat itu. Ingatannya terus terbayang kepada suara hati Jingga waktu di taman kala itu, bahwa Jingga hanya mendekatinya karena ingin panjat sosial. "Gue suka sama lo, Nav. Gue jatuh cinta sama lo." Navi terkekeh mengejek. "Lo? Suka sama gue? Ngaca dulu hati lo tulus atau enggak! Oh satu hal lagi, gue udah jatuh cinta sama cewek lain. Jadi, lo nggak usah berharap gue bakal luluh sama lo." "Siapa cewek itu? Siapa, Nav?" "Lila. Cuma Lila yang bikin gue jatuh cinta." Navi melangkah pergi setelah mengatakan itu begitu jelas. Dia terus berjalan tanpa henti. Pikiran dan hatinya dalam kondisi buruk. Mengapa sara cemburu dan rasa menyesal itu sangat membuat tercekik? Dan mengapa saja dirasakan ketika Navi sudah benar-benar kehilangan Lila? Jika ada pilihan untuk mencari orang baru atau terus kepada Lila untuk memberinya kesempatan kedua, Navi pasti akan memilih pada option yang kedua. Lila adalah gadis pertama yang membuat dia merasa cemburu dan jatuh cinta pada waktu bersamaan. Lila yang mampu membuat diri Navi nyaman juga berwarna karena celotehan riang gadis itu. Namun, semua sirna. Sirna untuk diri Navi. *** Lila mengeringkan rambutnya yang basah menggunkan hair dryer. Duduk di depan meja rias, dia tak jeda menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Dirinya sekarang terlihat rapi dengan balutan piyama berwarna peach. "Gue bisa ngomong di dalam hati? Tapi, kok bisa? Apa tiba-tiba bisa atau, karena faktor apa?" Lila menekuk mukanya, dia tak memperoleh jawaban apapun jika hanya melihat pantulan diri alam cermin. Dia terus memikirkan teori warna biru Navi yang hilang karenanya. Atau ... dia bisa berbicara dalam hati seperti manusia normal karena Navi? Memusingkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD