44. Weird Feeling

1183 Words
"Aneh. Jujur aku merasakan sesuatu yang aneh saat ini. Saat aku sudah mencampakkanmu, saat aku sudah membuat hati terluka. Sungguh, aku pikir, aku seratus persen membencimu. Namun ternyata, aku justru merasakan hal sebaliknya. Dan yang aku lebih tahu, aku selalu cemburu saat ada orang lain di sisimu." *** Navi memutar bola matanya jengah. Dia tak tahu mengapa juga dia tetap ada di UKS. "Luka gue belum diobatin!" tukasnya dengan keras. Lila melirik sinis kepada Navi. Apa-apaan cowok itu berlaku sesukanya. "Emang lo siapa?" tanyanya dengan ketus. Navi mengangkat dagunya. Dia benar-benar angkuh. "Obatin!" "Ogah!" "Gue bilang obatin!" "Gue bilang ogah!" "Ck, nggak ngerasa bersalah lo udah jadi akar perkelahian tadi?" "Lah, nggak ngerasa bersalah lo udah bikin gue pingsan?" "Obatin!" "Obatin aja sendiri!" "Lo pikir gue bisa ngelihat pantulan muka gue di sini? Susah, nggak bisa liat lukanya di mana!" "Ya udah tinggal obatin di depan cermin!" "Nggak ada cermin!" "Di toilet!" "Obatin!" Magenta sangat pusing mendengar perdebatan Lila dan Navi. "Diem! Berisiki tau nggak?! Gue-- " Magenta menyela omongannya sendiri. Dia memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa begitu melilit. "La, gue ke toilet dulu bentar. Perut gue sakit banget." Cowok itu lantas bergegas keluar dari UKS dengan terbirit-b***t. Lila menganga dengan tingkah sahabatnya. Astaga, itu pasti karena Magenta memakan banyak makanan pedas. Gadis itu mendesah pelan. Dia baru saja ingin kembali berbaring. Namun, tangannya merasakan cengkeraman yang begitu kuat. "Apa, sih?!" protesnya kepada Navi. "Obatin gue!" "Aaa, sakit, b**o!" Lila merasakan cengkeraman Navi yang semakin menguat. "Kasar banget jadi cowok!" "Obatin!" Lila mendengkus sebal. Dia terpaksa membantu Navi mengobati luka cowok itu daripada mendapat perlakuan kasar Navi lainnya. Lila memegangi kapas, dia mulai membersihkan luka pada bibir cowok di hadapannya yang berdarah. Navi merintih kesakitan saat Lila menekan kuat luka bibir itu. "Kalo bantuin yang ikhlas. Nggak punya otak banget!" "Emang gue nggak ikhlas buat bantuin lo!" Navi terdiam. Entah mengapa dia tiba-tiba teringat sikap Lila yang sangat peduli terhadapnya. Sikap Lila yang melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Namun sekarang, gadis itu justru sama sekali tak membalas tatapannya. Navi juga tidak tahu perasaan aneh apa yang ia rasakan saat melihat Lila begitu mesra bersama Magenta. Dia juga sebetulnya panik ketika Lila pingsan tadi. Hanya saja, dia mengelak terhadap perasaannya itu. Akal sehatnya begitu menentang keras dan menampik mentah-mentah jika perasaan Navi berkata ia cemburu terhadap Lila dan Magenta. Cowok itu menahan kuat tangannya ketika hendak mengusap kepala Lila. Dia gundah, dia tidak tahu dengan dirinya sendiri. Navi terus memandang wajah Lila yang begitu bersinar di matanya. "Kali ini gue nggak bohong, Lila emang cantik. Eh enggak! Nggak! Sadar, Nav, sadar! Lila itu jorok dan pemalas!" Ketika akal dan hati tidak berjalan beriringan, ketika mereka tak bisa saling sinkron, lantas siapa yang akan dipilih? Mana yang harus kita ikuti? Navi seperti itu. Dia sangat delima. Tapi yang jelas, cowok itu sudah terbiasa mendengarkan kata pikirannya bukan kata hatinya. "Dah selesai. Sana pergi," usir Lila mengemas kembali peralatan P3K. Tanpa mengeluarkan suara, tanpa mengucap maaf dan terima kasih, Navi berdiri, melangkah pergi meninggalkan Lila di UKS. *** Begitu palu di ketok, Navi mengacak rambutnya merasa frustasi. Sidang perceraian antara kedua orang tuanya tadi berjalan lancar. Untungnya, hak asuh Navi dan Mola sepenuhnya diberikan kepada Dahlia. Cowok itu duduk menyendiri di persidangan. Tidak ada teman, tidak ada yang dapat diajaknya berbicara. Dia tidak mungkin membawa adik kecilnya di tempat seperti ini. Sangat tidak layak. Navi memaikan handphone-nya dengan sengaja, sembari menunggu Dahlia menghampirinya. s**l. Kenapa dia tiba-tiba membuka foto dirinya dan Lila? "Lo kenapa sih, Nav?!" makinya dalam hati. "Navi, ayo kita pulang." Navi mendongak, dia mendapi mamanya yang menggunakan raut wajah layu. Navi yakin, perceraian itu merupakan keputusan berat bagi Dahlia. Bagaimana pun, mamanya itu sangat mencintai Reagen. Sebelum Navi keluar dari ruangan, dia sempatkan diri untuk melirik ke arah papanya untuk terakhir kali. Dia melihat, Reagen tampak tenang-tenang saja dan seperti tidak merasakan kehilangan sebuah keluarga. Dasar pria sinting! "Navi, kita jemput Mola dulu di rumah Tante Mia." "Iya, Ma." Cowok itu memfokuskan diri untuk menyetir mobil miliknya. Matahari hampir tenggelam, untung saja rumah Mia itu tidak jauh dari tempat persidangan sehingga Navi dapat cepat sampai. "Mama! Abang!" Mola terlampau gembira melihat mama dan kakaknya menjemput dia. "Abang yama bangey! Moya bocen!" protesnya pada Navi. "Maaf, ya, Mola, Sayang. Mama ang bikin abang kamu telat jemput." Dahlia menggendong Mola dengan tenaganya yang tersisa. Dia dan Navi memberi salam kepada Mia yang tak lain adalah adiknya. "Aku pulang ya, Mia. Makasih udah jagaian Mola seharian." "Iya, nggak papa, Mbak. Ngomong-ngomong yang sabar ya, Mbak. Yang ikhlas." Mia menepuk pundak Dahlia dengan pelan. "Hati-hati di jalan, ya." Dahlia, Navi, dan Mola mulai memasuki mobil. Mola duduk di kursi belakang, karena ingin berbaring santai. Anak kecik itu sedang asyik memaikan sebuah rubik. Meski tak bisa-bisa, dia tetap terus mencoba. "Bang, kok Kak Yiya nggak main ke yumah yagi? Moya kangen," ungkap Mola mendadak mengubah posisinya menjadi duduk. "Iya, Navi, ke mana Lila? Mama pengin buatin makanan buat dia. Ah, gadis itu sangat beda dari yang lain. Dia nggak malu buat menghabiskan makanan yang Mama buat." "Itu namanya dia nggak tahu diri, Ma. Navi sama dia udah nggak bisa belajar bareng lagi," balas Navi to the point. Mola menjambak rambut Navi dengan kuat. Dia tidak suka mendengar ucapan kakaknya barusan. "Moya kangen kak Yiya! Moya pengin ketemu sama kak Yiya! Ayo ke yumah kak Yiya, Bang!" rengek Mola sangat berisik. Dahlia membantu menenangkan Mola untuk diam. Jika anak itu terus berulah kepada Navi yang sedang menyetir, bisa-bisa malapetaka akan terjadi. "Nah, Mama setuju sama Mola. Kita ke rumah Lila saja, Navi. Mama juga ingin berteman sama mamanya Lila." Navi membelalak. Ada apa sih, dengan keluarganya yang sangat ingin bertemu Lila?! *** Navi memijat keningnya sendiri. Dia terus menunduk di ruang tamu Lila. Malu. Itu yang dia rasakan. Dia yang menyuruh Lila menjauh, dia yang meninggalkan Lila, tapi justru dia yang ke rumah Lila. Apalagi dengan sorot mata Lila yang terlihat meremehkan, Navi tidak sanggup untuk mengangkat wajahnya. Mamanya sedang berbincang-bincang seru dengan Aster. Padahal, mereka baru saja bertemu, namun sepertinya terasa begitu dekat. Navi melirik ke sebelah kirinya. Pikirannya bertanya-tanya, ke mana Mola yang tadi di sampingnya? Terpaksa, Navi mendongak pelan, untuk mencari keberadaan Mola. Sungguh, dia ingin mengumpat sekarang saat melihat Mola sudah mulai bermain dengan Lila. "Maaf ya, Lila sering ngerepotin di rumah kamu. Ya dia begitu lah, nggak bisa jaga image," ungkap Aster membuka tutup toples yang berisi biskuit. "Ah, enggak, kok. Justru aku suka kalo anak kamu main ke rumah. Jarang loh, ada teman Navi yang main." Dahlia meneguk teh hangat buatan Aster yang tergelak di hadapannya tadi. Aster terkejut, ucapan Dahlia berbanting terbalik dengan apa yang selama ini ia pikirkan . "Oh iya? Aku kira udah banyak yang dibawa ke rumah, aku kira Navi sudah punya pacar." "Aduh, Navi belum pernah pacaran." Demi apapun, Navi ingin menghentikan mamanya berbicara tentang dia. Cowok itu benar-benar malu, sampai sedikit mencuatkan rona merah pada pipinya. Namun, melihat mamanya yang kembali tertawa sekarang setelah tadi terus melamun karena perceraian, membuat hati Navi menjadi tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD