Satu Kelompok

1024 Words
- "Tidak perlu mengelak kita sering dipertemukan. Hanya terima saja mungkin kita berjodoh, hehe." - *** "Lila!" sapa seorang cowok yang baru masuk kelas. Dia mengembangkan senyuman selebar dan semanis mungkin. Bahkan, dia sedang melakukan eyes smile sekarang. "Pagi, Lila cantik." Lila masih menatap lurus ke arah Navi. Cowok itu benar-benar bermulut pedang. Sangat menyakitkan semua ucapan-ucapannya. "Pa-pagi Genta," balas Lila terbatah-batah. Magenta mendekat ke arah Lila. Dia berdiri persis di hadapan gadis itu. "Kenapa? Kok gagap? Kaget yah liat cogan kayak gue?" godanya untuk bergurau. "Eh, kok lo mau nangis?" tanya magenta panik melihat mata Lila berair. Lila menunduk lesu. Dia memehamkan matanya sebentar untuk menetralisir hatinya yang terluka. "Navi ngatain gue murahan. Apa gue bener-bener kayak gitu?" tanya Lila dengan lirih. Magenta menggeleng, dia mencoba membantu mengangkat dagu Lila. Dia menatap gadis itu lekat-lekat. "Semua hal yang kita inginkan itu perlu perjuangan dan pengorbanan, Lila. Dan lo ini sedang berjuang, bukan berarti murahan. "Ayo duduk, La," perintah Magenta lembut lalu menarik lengan Lila menuju ke tempat duduk gadis itu. Baru saja Magenta hendak mengobrol dengan gadis kesayangannya, Bu Leli sudah masuk ke dalam kelas dan menyapa seisi kelas. "Pagi, anak-anak." Siswa di kelas itu menampilkan bermacam-macam ekspresi. Ada yang semangat dan sabar untuk mengikuti pembelajaran biologi, ada yang biasa-biasa saja, juga ada yang yang cemberut dan jiwa kemalasannya meronta-ronta seperti Lila. Namun, tetap saja mereka menjawab sapaan Bu Leli dengan kompak. "Pagi, Bu." Bu Leli merekahkan sebuah senyuman. Dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. "Baik anak-anak, kali ini kita akan mencoba berdiskusi untuk proyek biologi materi sel tumbuhan. Saya sudah menyiapkan daftar nama kelompoknya. Saya bacakan ya," ujar Bu Leli mulai membuka sebuah buku berwarna ungu. "Kelompok satu, Ruby dan Ujang." Sebentar. Lila yang mendengar nama sahabatnya dipanggil, tertawa tertawa terpingkal-pingkal seorang diri. Sementara Ruby, dia mengerucutkan bibirnya merasa sebal. "Ruby, jadiin gebetan aja sekalian. Cocok banget tuh si bocah culun sama lo," goda Lila berbisik-bisik. Ruby menoyor dahi Lila yang seenaknya saja cewek itu mengejek. "Cocok mulut lo! omegoy, amit-amit gue cocok sana dia. Ish, Bu Leli ngapain sih, nggak ngasih gue yang lebih cakep dikit!" "Ya, kelompok 7 anggota satu Navino Reagen dan ..." ungkap Bu Leli melirih karena melihat daftar nama kelompok yang tulisannya kecil-kecil. Navi merasa was-was, dia berdoa semoga saja dia tidak satu kelompok dengan permen karet. Tapi Lila tersenyum, menggerutu dengan suara lirih. "Gue sama Navi, gue harus sama Navi." "Lila Rosetta. Silakan Navi sama Lila duduk satu meja." Mata Lila terbuka lebar. Dia refleks berdiri, tangannya dia angkat ke atas. "YES GUE SAMA NAVI!!" teriaknya bersemangat. "Cie ... " goda seisi kelas kecuali Navi, Jingga, dan Genta yang merasa tidak suka. Navi mendengus pasrah. Dia menundukkan kepalanya. Memaki-maki dirinya dalam hati. "Cobaan apa lagi ini, Ya Allah ..." rintih Navi sangat lirih dan tidak ada yang mendengar satu orang pun. Lila mengemasi buku-bukunya yang berserakan di meja. Gadis itu sangat histeris, dia akan duduk satu meja dengan n Navi. Astaga, Lila sangat berbunga-bunga sekarang. Dia bergegas jalan menuju meja Navi dan mendudukan tubuhnya dikursi samping Navi berada. Lila tak paham dengan dirinya sendiri. Padahal tadi saat memberikan ayam panggang kepada Navi, dia juga merasa sedikit kesal. Tetapi, dia sudah kembali menjadi Lila yang tergila-gila oleh cowok itu sampai lupa akan kekesalannya. Lila menatap ke arah Navi dengan penuh kemenangan. "Halo, My lovely Navi. Semoga kita ngerjain tugas ini dengan lancar ya, Kulkas Gulali," bisik Lila kepada cowok itu. Navi menekuk mukanya masam. Yang benar saja, dia harus satu kelompok dengan gadis yang ia benci? Malas sekali. "Halo, sumber masalah!" tegasnya dengan ketus namun malah membuat Lila tersenyum. "Ih cowok ganteng tuh nggak boleh galak-galak tau, Nav! Ntar dapat azab baru tau lo! Ntar dijadiin sinetron lagi akibat terlalu galak, cowok ganteng dapat diculik falak!" seru Lila sengaja menggoda Navi. Navi hanya berdecak, dia menoyor dahi Lila. "Nggak usah ngada-ngada, ya, Permen Karet!" jawabnya dengan sinis. Bukannya ikut emosi, Lila justru mengembangkan senyumannya begitu lebar. Dia menarik kedua pipi Navi dengan usilnya. "Ututu, lo gemesin banget, sih, Kulkas Gulali? Gue jadi makin sayang. I love you seribu goceng." Mata Navi mendelik tajam. Dia sangat benci disentuh. Dan ia kini disentuh oleh gadis yang ia benci? Benci kuadrat! "Mggak usah pegang-pegang! Tangan lo tuh ada bakterinya. Nggak steril!" hardiknya mencekal tangan Lila untuk menghentikan kelakuan gadis itu. Lila terkekeh geli. Aneh. Ya, dia gadis yang aneh. "Lo bilang nggak boleh pegang-pegang, tapi ini kok lo pegang tangan gue? Hii lo lucu banget, seriusan!" Dengan secepat kilat, Navi melepaskan cekalan itu. Astaga, baru pertama kalinya dia mendapati seorang gadis semacam Lila. Gadis yang percaya dirinya terlalu tinggi! Cowok itu lantas memilih berkutik dengan buku-bukunya. Dia tidak ingin mengurusi Lila lagi. Bisa-bisa semakin panjang urusannya. Dia sengaja membaca buku dengan posisi menyamping ke kanan, sedinggs dapat membelakangi Lila. Ah, gadis itu terus-terusan menatap dia dengan mata berbinar. Dan Navi sangat terganggu dengan hal itu. Rasanya, dia ingin menimpuk Lila saja dengan buku-buku. Namun, yang ia tahu kodrat perempuan itu tidak boleh disakiti. Tetapi nyatanya, meski tidak menyakiti secara fisik, Navi selalu saja menyakiti secara verbal. Kepribadiannya yang seperti itu memang melekat pada dirinya dan belum mencoba untuk berubah. "Nav, lo mau tau nggak, rahasia terbesar gue apa?" tanya Lila yang terus menatap punggung Navi. Ingin sekali Lila bersender. Tapi dia masih sadar diri belum menjadi apapun untuk Navi. Navi tidak merespon. Cowok itu benar-benar tidak mau diganggu. "Rahasia terbesar yang gue punya adalah .... gue sayang banget sama lo dari awal kita ketemu. Hem berapa tahun yang lalu berarti, ya? Kita ketemu dari kelas 7 SMP loh. Wah, udah lama, yah? Apa kita berjodoh, Nav? Kalo gue sih, ngerasanya kayak gitu. Lo juga kayak gi--" "Lo bisa diem, nggak, sih?!" Navi membekap mulut Lila menggunakan telapak tangannya. Kupingnya dari tadi merasa panas karena mendengar suara Lila Lila melepaskan tangan navi dengan paksa, gadis itu lantas tersenyum puas. "Wah jadi gini rasanya nyium telapak tangan lo, Nav? Mana wangi banget lagi! Gue mau lagi dong!" pekiknya bersemangat. Navi hanya dapat menepuk jidat, Lila benar-benar abnormal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD