Part 3

527 Words
Makan malam bersama sudah menjadi hal wajib di keluarga Gabriel juga Ify. Papa dan mama selalu membiasakan itu kepada seluruh anggota keluarganya, kecuali kalau sedang berhalangan seperti sakit dan mendadak. Meski papa sibuk, papa harus tetap meluangkan waktunya. Mama akan marah jika papa memilih makan bersama kliennya, bukan bersama keluarga. Sudah hampir lima belas menit menunggu Ify muncul, membuat Gabriel tak sabar dan berakhir menyusul Ify ke kamar. Mengetuk pintu kamar adiknya namun tak kunjung dibuka. Rasa khawatir menyergap. Ia kembali mengetuk, berusaha mendapat balasan meski hanya kata "sebentar". "Fy ... Fy, buka kamarnya. Ayo kita makan!" "Fy, ini udah yang ketiga kalinya yah Abang manggil." Iyel semakin resah. Tak ada pilihan lain selain berteriak memanggil papanya. Dengan tergesa papa segera datang diikuti mama. "Adik kamu beneran gak jawab Iyel?" tanya papa memastikan. Tidak biasanya anak perempuan satu-satunya itu seperti ini. Ify selalu makan tepat waktu, lalu meminum obatnya. "Iya, Pa, Ify itu sekalipun tidur pules banget pasti bakalan kebangun kalo ada yang ganggu dari luar." "Jangan-jangan lagi mandi?" ucap mamanya berusaha memberi alasan yang masuk akal. Ia mencoba berpikir positif. "Ma, ini udah malam. Gak mungkin Ify baru mandi. "Kita dobrak aja, Bang," akhiri papanya dengan raut muka yang sama khawatirnya membuat mamanya pun juga khawatir. Saat awal mendobrak ternyata pintu itu tidak terkunci. Membuat Gabriel terkekeh, tetapi tak mengurangi raut cemas orang tuanya. Mama segera masuk terburu-buru memastikan keadaan putrinya. Betapa terkejut ia saat melihat Ify tergeletak di lantai beberapa langkah dari ranjang. Masih menggunakan bathrobe, Ify habis mandi, dan sudah tak sadarkan diri. "Ify, bangun, Nak. Kamu kenapa?" Mama berusaha mengangkat. Papa yang melihat itu segera mengambil alih tubuh putrinya, membaringkannya di ranjang. Dengan segera mama mengambil peran memakaikan pakaian Ify. "Kita bawa ke rumah sakit, Ma. Iyel siapin mobil cepat." "Iya, Pa," Ulu hati Gabriel seakan tertusuk melihat keadaan Ify. Dengan tergesa ia segera menjalankan mobil keluar dari garasi ke depan rumah di mana papa dan mamanya menunggu dengan menggendong tubuh adiknya. *** "Hanya kelelahan. Pastikan Ify teratur mengkonsumsi obat dan makan, ya, Pak." Gabriel yang berada di samping papanya ikut menghela napas berat. Untuk kesekian kali ia lalai dalam menjaga adiknya. Rasa bersalah menggerogoti semakin parah. Ah ia jadi ingat kejadian tadi pagi, Ify pasti menguras habis tenaganya untuk melawan Dea. "Bagaimana perkembangan kesehatannya, Dok?" "Belum ada perkembangan yang berarti. Apalagi Ify tidak mau menjalani kemoterapi. Ya memang itu menyakitkan. Tetapi, tolong pikirkan lebih dalam lagi, Pak." Papa kembali tertunduk bingung. Selain manja, Ify juga sangat keras kepala. Akan sulit untuk membujuknya. Kanker darah stadium  empat, sudah hampir sebulan Ify tahu akan penyakitnya itu. Saat melihat pelaksanaan kemoterapi dari beberapa sumber, membuat Ify takut untuk ikut melakukannya. Akhirnya ia hanya pasrah, menjalani pengobatan hanya dari mengkonsumsi obat juga jamu. Iyel berjalan ke arah ranjang Ify. Matanya menatap nanar sang adik. Wajah pucatnya masih kentara, mata indah yang sering berkilat marah dan centil itu belum terbuka. Gabriel merogoh saku jaketnya kala ponselnya berbunyi. Tertera nama kekasih Ify di sana. "Halo, Yel, gue telfon Ify dari tadi gak diangkat-angkat. Kemana sih dia?" "Kita di rumah sakit, Yo. Lo bisa ke sini?" "Ify kenapa, Yel? Bukan Ify kan yang sakit?" "Udah lo ke sini aja." Iyel memutuskan sambungannya. Mengirim alamat rumah sakit juga kamar di mana Ify dirawat. "Udah seharusnya Rio tahu semua, Dek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD