Part 4

794 Words
Rio mempercepat langkahnya ke arah kamar yang sudah diberi tahu lewat pesan oleh Gabriel. Meneliti satu persatu nomor ruangan yang ia lewati. Sampai matanya berhenti pada angka tiga belas. Ruang Kenanga. Ini adalah ruangan yang diinstruksikan oleh kakak Ify. Gabriel yang sedang menatap Ify tersentak kala mendengar pintu terbuka. Muncul Rio dengan wajah paniknya. Matanya memancarkan raut penasaran. "Yel," Dengan anggukan, kakak Ify itu menyuruhnya mendekat. Namun, matanya tak lepas dari sang kekasih yang terbujur lemah di atas bangsal dengan raut pucatnya. "If ... Fy," ucapnya takut-takut. "Ify divonis leukimia stadium 3, bulan lalu." Mario membelalak tak percaya. Ia menggelengkan kepala, menatap Gabriel dan Ify secara bergantian. "Becandaan lo gak lucu." "Gue gak pernah becanda soal penyakit, Rio." Dengan gemetar Rio melangkah, menggenggam tangan Ify lembut dan pelan. Takut jika genggamannya terlalu kuat akan mematahkan tulang kekasihnya yang lemah ini. Keterkejutan Rio membutuhkan penjelasan, kata kenapa berlalu lalang dipikirannya. Kenapa Ify? Kenapa harus penyakit yang mematikan ini? Kenapa Ify tidak menceritakan kepadanya. Kenapa dan kenapa? "Bangun, Fy. Bilang kalau semuanya bohong. Ayo bangun, tatap mata aku bilang semuanya." Mata Mario memerah, merasa kecewa dan juga takut. Kecewa karena ia baru tahu sekarang, kecewa karena ia tak ada di samping kekasihnya kala kesakitan, dan takut, takut Ify pergi meninggalkannya. Sementara Gabriel berwaspada. Pria itu tahu watak sahabatnya, Rio bisa saja kalap dan menghancurkan apa saja ketika emosi. Ia takut kalapnya seorang Mario akan berimbas pada Ify. "Bangun, Fy. Sayang bangun. Aku mohon." Mario mencium punggung tangan Ify berkali-kali. "Kalaupun benar, aku gak akan ninggalin kamu. Percaya sama aku. Tetapi, aku masih berharap jika ini hanya mimpi." "Bangun, Fy, bangun. Bilang kalau ini cuma prank, mana kameranya aku nyerah. Aku nyerah. Kamu berhasil buat aku takut, kamu berhasil buat aku panik. Udah ayo bangun. Akhiri prank kamu." Gabriel menahan tubuh Rio, membawanya menjauhi sang adik yang masih dalam ketidak sadarannya. Cowok itu mulai kalap, mengguncang tubuh Ify dengan keras. Badannya bergetar hebat, jangan lupakan mata merah itu. "Tiga tahun kita bersama, tiga tahun kamu bilang aku akan selalu menjadi sandaran kamu. Tetapi ...." Mario menggantungkan ucapannya. "Yo, udah, lo butuh istirahat. Lo pulang aja." Gabriel masih menahan tubuh sahabatnya. "Yel, mana kameranya. Udah selesai buat konten kan lu." Rio berteriak, memberontak pada Gabriel. Masih berharap jika yang baru saja diketahuinya hanya sebuah akal-akalan dari kakak beradik itu. Sampai akhirnya ia lelah, ia menyerah. Duduk berlutut di atas lantai. Gabriel mengikuti, menepuk pundak Rio berkali-kali. "Lo pasti gak nyangka? Sama, Yo, gue shock gue ingin marah gue takut, tapi gue gak tahu cara melampiaskannya. Ify adik gue, sebagai abang tentu gue gak mau itu terjadi pada Ify. Ngelihat dia jatuh saja, gue panik. Apalagi ngelihat dia kesakitan. Gue juga sakit, Yo." Gabriel berteriak di akhir kalimatnya. "So, apa dengan segala tingkah gue Ify bisa sembuh? Nggak. Ify butuh dukungan, Ify butuh semangat. Maka itu gue beritahu lo. Ify juga butuh semangat dari orang yang dicintainya." Gabriel kembali menepuk pundak Rio, bangkit dengan lemas, berjalan keluar ruangan adiknya seraya mengusap air mata. Ia ingin memberikan Rio waktu sendiri bersama sang adik. Siapa yang tak sakit, siapa yang tak sedih. Ify adiknya, Sedikit demi sedikit, Gabriel merasakan apa yang Ify rasakan. Kala adiknya merintih di malam hari, persendiannya ngilu, demam, pusing. Gabriel ingin sekali menangis kala itu, namun menahan. Adiknya tak butuh tangisan. Adiknya butuh dukungan untuk lepas dari rasa sakit yang diderita. Di dalam ruang rawat Ify, Rio berusaha bangkit menuju sofa. Berusaha duduk di sana seraya menatap kekasihnya yang terbujur lemah di atas bangsal. Ify belum mau membuka mata. Dan entah sampai kapan. Tiga puluh menit berlalu, yang Rio lakukan hanya duduk bersandar menatap Ify, dengan tatapan kosong. Masih mencerna dengan baik apa yang dikatakan sang sahabat padanya. Sampai bunyi ponsel menyentak lamunannya. Mama menghubungi. Pasti wanita yang melahirkannya itu kebingungan mencari, kala ia tak pamit keluar. Terlalu panik saat mendengar keadaan Ify. "Halo, Ma." Rio memilih keluar ruangan, namun, pergerakan tangan Ify menghentikannya. "Ma, Rio lagi di rumah sakit, dan sepertinya gak akan pulang. Ify sakit, Ma. Udah dulu, ya, ini Ify sadar." Tak peduli jika nanti, mamanya akan mengomel dan memakinya karena memutuskan sambungan secara tiba-tiba, Rio memilih mendekati Ify yang melirih memanggil papa dan abangnya. "Sayang, ini aku. Bangun hey," ucapnya lembut, meraih tangan Ify untuk digenggamnya. Membantu Ify untuk sadar dan membuka mata. Mata Ify terbuka, Air mata Rio jatuh. Kala melihat mata itu memancarkan raut kesakitan yang ditahan. Mungkin Ify masih shock akan adanya Rio, Gadisnya itu berusaha baik-baik saja. "Bilang sama aku, mana yang sakit hm? Bagi kesakitan kamu sama aku Fy." "Kak Rio ... Dont Cry." Ify berujar lirih, mengusap air mata Rio dengan tangannya yang terbebas dari infus. "Gimana aku gak sedih, kalau tahu gadis yang aku cinta, menahan sakit selama ini dan gak mau bilang sama aku." Saat itulah Ify menghentikan pergerakannya. Mata Rio menatapnya tajam, Ify kaget, tentu. Tak menyangka Rio akan tahu secepat ini. Pemuda itu gak akan meninggalkannya 'kan? Jujur Ify takut sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD