{Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Rabb-nya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.}
(QS. Al-Lail: 19-21)
*******
Embun di pagi buta menebarkan bau asa
Detik demi detik ku hitung
ini kah saat ku pergi
Oh Tuhan ku cinta dia
Berikanlah aku hidup
Tak kan ku sakiti dia
Hukum aku bila terjadi
Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
Senandung ku hanya untuk cinta
Tirakat ku hanya untuk engkau
Tiada dusta Sumpah ku cinta sampai ku menutup mata
Cintaku sampai ku menutup mata
Lagu yang berjudul sampai menutup mata Yang di nyanyikan oleh Acha Septriasa tersebut mengalun merdu di bawakan oleh Arumi di restoran tempatnya bekerja. Dia menggantikan penyanyi restoran yang sedang berhalangan hadir dalam acara ulang tahun anak pemilik restoran tersebut, yang dihadiri oleh para pengusaha terkenal.
Terdengar tepuk tangan yang meriah dari para tamu yang datang, hal itu membuat pemilik restoran bahagia dan menghampiri Arumi.
"Arumi saya berterima kasih sekali sama kamu. Kamu sudah mau menggantikan Hesti yang sedang berhalangan datang."
"Iya sama-sama, Pak. Kalau begitu saya mau langsung ke belakang mengambil pesanan para tamu," Ucap Arumi.
"Tidak perlu! Khusus di hari ini kamu tidak perlu jadi pelayan dulu. Kamu bersiap saja, takut nanti tamu-tamu saya ada yang request lagu lagi," Ucap Pak Prapto pemilik restoran sebelum akhirnya meninggalkan Arumi.
Arumi merasa senang ternyata penampilannya memuaskan semua orang. Dia hanya membantu bukan ingin di puji apalagi berharap ucapan terima kasih. Arumi selalu mengingat ucapan Ustadz. "Berbuatlah kebaikan hanya demi Allah semata, maka kita akan menguasai keadaan, tidak akan pernah terusik oleh kebencian orang lain, dan tidak pernah merasa terancam oleh perlakuan k**i mereka. Kita harus bersyukur kepada Allah karena dapat berbuat baik ketika orang-orang di sekitar kita berbuat jahat. Dan, ketahuilah bahwa tangan di atas itu lebih baik dari tangan yang di bawah."
"Arumi!" Tiba-tiba suara teriakan yang sudah tidak asing lagi membuat Arumi membalikan badan.
"Tasya, kamu di sini?" Tanya Arumi
"Iya, aku ke sini sama kakak aku. Ayo ikut," Ucap Tasya menarik tangan Arumi tanpa mendengar persetujuan Arumi.
"Kak, kenalin ini temen yang sering aku ceritain. Namanya Arumi, cantik 'kan?" Pertanyaan Tasya kepada kakaknya membuat Arumi menolehkan pandangannya kearah Tasya.
"Cantik!" Ucap Kakaknya Tasya.
"Ekhem, ma--maaf. Kenalkan, saya Azkar. Kakaknya Tasya," Ucapnya malu.
"Kok, pada diam kaya gini, sih. Gak asik ah," Ucap Tasya memulai pembicaraan.
"Suara kamu bagus banget, tadi," Ucap Azkar kepada Arumi.
"Terimakasih, Kak. Masih kalah lah dengan penyanyi aslinya," jawabab Arumi membuat mereka tertawa.
Azkar tidak mengira bahwa Arumi adalah sosok yang mudah akrab. Kepribadian Arumi yang sering Tasya ceritakan membuat Azkar penasaran. Maka dari itu Azkar mengajak Tasya makan di restoran ini.
"Haha, lo nyadar kalau suara lo jelek?" Tiba-tiba seseorang datang menghampiri mereka.
"Heh, cabai busuk gue heran banget ya sama lo. Kenapa, sih lo itu selalu ada dimana gue ada? Bosen gue lihat wajah lo!" Teriak Tasya memandang Farhan dengan tidak suka.
"Ya terserah gue, lagian ini restoran itu punya paman gue. Terus kenapa, nih si makroni bantet ada di sini?" Ucap Farhan menunjuk Arumi.
"Eh, kalau gue gak salah denger lo kerja jadi pelayan 'kan di sini?" Sambung Farhan.
"Gue gak nanya ini restoran punya siapa, lagi pula kalau sahabat gue ini kerja jadi pelayan di sini masalah gitu buat lo?" Tasya tidak bisa menahan amarah jika sudah berhadapan dengan Farhan.
"Jujur ya, gue itu sebel banget sama mulut lo yang bawel melebihi cewe."
"Oh jadi bener ya si makroni bantet ini jadi pelayan disini. Ayo ikut gue!" Tiba-tiba Farhan menarik paksa lengan Arumi. Arumi menolak dan mencoba melepaskan tarikan Farhan, namun tarikan Farhan begitu kuat.
"Perhatian untuk teman-teman semua! Kalian kenal kan perempuan yang ada di samping gue ini? Dia adalah orang yang menyatakan cinta kepada Raihan. Kalian tau dia itu jadi pelayan di restoran ini?" Ucap Farhan merasa puas, teman-teman Farhan hanya menatap diam termasuk Raihan. Dia tidak melirik atau pun berkata sedikitpun.
"Sudah ngomongnya? Kalau gitu gue pamit," Ucap Arumi meninggalkan mereka. Namun Farhan mencegah Arumi.
"Siapa yang nyuruh lo pergi? Gue sama temen-temen gue mau pesen makanan. Lo kan pelayan disini, masa lo gak mau!" Teriak Farhan.
"Kalian kan sudah pesan makanan," Ucap Arumi.
"Gue kan banyak uang. Jadi terserah gue mau berapa kali pesan makanan, gak seperti lo orang tua saja gak jelas." Farhan tertawa sinis.
"Atau mungkin lo anak haram yang di buan?" Sambung Farhan dengan berbisik, namun masih jelas di dengar Arumi dan teman-teman Farhan termasuk Raihan.
Plaaakk
"Itu tamparan Karena kamu sudah tidak sopan menarik tangan saya," Ucap Arumi.
Plaakk
"Dan itu tamparan buat mulut kamu yang tidak bisa di jaga."
Farhan mengepalkan tangannya, ia merasa geram. Arumi memiliki keberanian untuk berbuat kurang ajar kepadanya. Farhan mengangkat tangannya mencoba untuk membalas tamparan Arumi, namun tiba-tiba sebuah tangan mencegahnya.
"Lo gak usah kasar sama perempuan. Malu, kan lo cowo!" Azkar merasa geram dengan sikap Farhan.
"Lo gak perlu ikut campur!" Farhan merasa lebih geram.
"Ini juga urusan gue, karena Arumi sahabat adik gue."
"Sudahlah kak, orang seperti dia itu gak punya malu," Ucap Tasya.
"Lebih baik kita pergi saja. Ayo," Ucap Arumi mengajak Tasya.
Sekuat apapun Arumi melawan Farhan dia tidak akan pernah mengalah. Arumi sadar jika seseorang seperti Farhan tidak akan pernah diam merendahkannya. Jika Arumi tetap masih berada di tengah-tengah mereka, maka akan selalu ada perbuatan mereka yang membuatnya bersedih dan meneteskan air mata, atau membuat tempat tidurnya terasa gerah.
***
Arumi PoV
Wahai Rabb, gantikan lah kepedihan ini dengan kesenangan, jadikan kesedihan-kesedihan ini awal sebuah kebahagian, dan sirnakan rasa takut ini menjadi rasa tentram. Dinginkan lah panasnya kalbuku dengan sebuah salju keyakinan, dan padamkan bara jiwa dengan air keimanan.
Tuangkan dalam jiwa yang bergolak ini kedamaian. Dan, Ganjar lah dengan kemenangan yang di depan mata. Wahai Rabb, tunjukkanlah pandangan yang kebingungan ini kepada cahaya-Mu. Bimbinglah sesatnya perjalanan ini ke arah jalan-Mu yang lurus.
Aku berlindung kepada-Mu dari setiap rasa takut yang datang. Hanya kepada-Mu aku bersandar. Hanya kepada-Mu Aku memohon, dan hanya dari-Mu lah semua pertolongan. Cukuplah Engkau sebagai Pelindung, karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan Penolong.
Aku tidak pernah bosan membaca buku dengan judul La Tahzan karya 'Aidh Al-Qarni ini. Catatannya terasa menguatkan ku ketika aku tidak tau lagi harus meminta nasihat kepada siapa.
Terkadang rindu ini datang menyelinap dalam kalbu. Anganku untuk berjumpa dengan kedua orang tuaku begitu amat besar. Sungguh aku ingin berbagi kisah dengan mereka atas kejamnya kehidupan di dunia. Dunia ini begitu menyakitkan untukku. Dunia ini seperti duri yang menancap dalam merobek daging dalam kakiku.
Duniaku terasa gelap, hingga tidak ada seorang pun yang mengerti akan anganku. Tapi do'a do'aku yang menguatkan agar aku terus kuat dan berjalan tegak mesti tak ada lagi penopang dalam d**a.
Tok...tok...tok
Aku merasa heran, siapakah orang yang bertamu kepadaku pada tengah malam seperti ini. Ada sedikit kekhawatiran dalam hati, takut jika yang datang adalah orang jahat.
"Arumi, buka!"
Aku mengenali suara itu, persis seperti ibu pemilik kontrakan.
"Iya, bu. Wah silahkan masuk."
"Tidak perlu. Mohon maaf ya sebelumnya ini sahabat saya mau ngontrak disini. Nah dengan berat hati saya harus mengeluarkan kamu."
"Tapi bu, saya kan sudah membayar kontrakannya bahkan sampai satu tahun ke depan."
"Uang kamu saya kembalikan. Tapi kamu bereskan barang kamu sekarang juga."
"Tidak bisa menunggu besok, bu. Ini sudah malam."
"Maaf ya, Arumi. Bukan saya tega, tapi kamu harus keluar malam ini juga. Ini uang kamu."
"Baiklah, saya bereskan sekarang."
Entah apa kesalahan yang aku perbuat, hingga rasanya kesedihan ini seolah tidak pernah usai. Ataukah sang Kholiq menguji kesabaran ini?
Harus kepada siapa aku mengadu Wahai Rabb, haruskan aku mengadu pada desiran angin yang menyentuh seolah tak bersahabat?
Ataukah aku harus mengeluh pada dedaunan yang menari pelan seolah melambai mengajakku pergi?
Aku melangkahkan kaki seolah tak tau arah tujuan. Biarkan saja setiap langkah ini membawaku pergi jauh menyusuri setiap jalan yang ia tuju sampai akhirnya nanti ia akan merasa lelah.
Pagi sudah menjelang, fajar pun nampak seolah menyapaku dengan ucapan selamat pagi. Disinilah aku, di sebuah mesjid yang semalam aku jadikan tempat istirahat. Aku melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan solat Dhuha.
Dreett dreett drettt
"Assalamualaikum, Tasya."
"Wa'alaikumussalam, kamu kenapa belum ke kampus jam segini. Sebentar lagi dosen masuk."
"Iya. Aku izin dulu untuk hari ini ya!"
"Tapi, kenapa?"
"Aku----"
Aku tidak mengingat apa yang terjadi padaku. Hanya saja ketika aku bangun kepalaku begitu pusing. Lalu aku berada di ruangan yang tidak aku ketahui. Ini seperti rumah sakit. Tapi aku hanya sendirian.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam." Aku benar-benar merasa kaget, seseorang yang masuk itu adalah Raihan. Sang ketua BEM di kampus.
"Kamu sudah sadar!" Ucapnya masih dengan nada dingin kepadaku.
"Aku kenapa?"
"Maaf, tadi saya tidak sengaja menabrak kamu. Saya tidak melihat kamu menyebrang tadi," Ucapnya penuh penyesalan.
"Lalu kamu pingsan."
"Pantas saya tidak mengingatnya."
"Tapi kamu tenang saja, saya akan membiayai semuanya, sampai kamu sembuh kembali," Ucapnya
"Terimakasih. Tapi saya tidak kenapa-kenapa. Saya bisa pergi sekarang."
"Bi---biar saya antar."
"Tidak perlu!"
Raihan memaksaku untuk mengizinkannya mengantar aku pulang. Aku bingung harus menunjukan arah pulang kemana, rumah pun tidak ada. Tidak mungkin juga aku harus berbohong menunjukkan rumah orang lain.
"Rumah kamu dimana, biar saya antar sekalian."
"Emm, tidak perlu, Mas. Saya bisa turun disini saja."
"Jangan seperti itu, saya hanya memastikan kamu baik-baik saja. Terus ini kamu bawa barang sebanyak ini mau kemana?"
"Entahlah. Saya juga bingung. Makanya turunkan saya disini, Mas."
"Kamu, saya antar sampai rumah. Tidak ada kata penolakan," Ucapnya terdengar tegas di telingaku.
"Aku tidak tau harus kemana. Semalam aku di usir dari kontrakan, karena kontrakannya mau di isi sama yang lain. Padahal aku sudah membayarnya bahkan sampai satu tahun ke depan. Tetapi pemilik kontrakan memilih mengembalikan uangnya."
"Terus orang tua kamu mana? Keluarga kamu mungkin. Maaf!" Ucapnya mungkin salah berucap karena aku menemukan ketidak enakan di dalam pertanyaan itu.
"Orang tuaku meninggalkan ketika aku masih bayi, dalam kecelakaan maut. Dulu aku tinggal di rumah bibi dan paman. Namun tepat hari kelulusan aku tiga tahun lalu, bibi mengusirku dengan alasan aku hanya menambah beban mereka. Emm maaf aku jadi cerita panjang lebar."
"Ah saya tidak masalah."
Raihan mengantarku hari ini sampai aku mendapatkan kontrakan baru. Aku tidak menyangka kalau Raihan rela izin tidak masuk kuliah hanya untuk mengantarku. Lebih tepatnya karena rasa bersalahnya kepadaku.
Biarkan saja nasib yang mengikuti setiap langkahku, karena aku yakin di balik kata nasib ada kehendak Tuhan yang meridhoi.
***
Raihan PoV
Pena telah diangkat dan tinta telah mengering, lembaran-lembaran catatan ketentuan telah disimpan, setiap perkara telah diputuskan dan takdir telah ditetapkan.
Apa yang membuat kita benar, maka tidak akan membuat kita salah. Sebaliknya, apa yang membuat kita salah, maka tidak akan membuat kita benar.
Jika keyakinan itu sudah tertanam kuat pada jiwa dan kukuh bersemayam dalam hati, maka setiap bencana akan menjadi karunia, setiap ujian menjadi anugerah, dan setiap peristiwa menjadi penghargaan dan pahala.
Seperti apapun, sesungguhnya Sang Khaliq telah menentukan segala sesuatunya dan takdir telah bicara. Usaha dan upaya dapat sedemikian rupa, tetapi hak untuk menentukan tetap mutlak milik Allah semata.
Seperti itulah hikmah yang dapat aku ambil dari kisah hari ini persis seperti kalimat yang aku baca dalam buku La Tahzan karya 'Aidh Al-Qarni. Buku ini aku dapat dari seseorang yang tidak aku ketahui identitasnya.
Berawal ketika aku berangkat kuliah, dan tidak sengaja aku menabrak Arumi, seorang wanita cantik yang memiliki keberanian mengungkapkan perasaannya kepadaku. Keberaniannya membuat aku mengacungkan dua jempol dan sepuluh nilai seratus.
"Orang tuaku meninggalkan ketika aku masih bayi, dalam kecelakaan maut. Dulu aku tinggal di rumah bibi dan paman. Namun tepat hari kelulusan aku tiga tahun lalu, bibi mengusirku dengan alasan aku hanya menambah beban mereka. Emm maaf aku jadi cerita panjang lebar."
Perkataan itu terus terngiang dalam pikiranku. Arumi tidak seperti wanita yang ada dalam pikiranku. Arumi bukan wanita manja yang tidak rela tangannya kena debu. Dia adalah wanita yang mandiri, hidupnya dikelilingi kesulitan, namun wajahnya selalu menampakan keceriaan. Tidak sedikit pun aku menemukan garis lelah dalam wajahnya, atau bahkan rasa putus asa. Dia seolah menerimanya dengan lapang d**a bahkan dia berani kuliah dari hasil jerih payah. Aku banyak belajar dari kejadian hari ini.
Kini aku sadar, benar kata 'Aidh Al-Qarni, bahawa 'Seperti apapun kita melukiskan tentang keagungan Tuhan dengan keindahan yang ada di alam semesta, Kekuasaan-Nya tetap meliputi semua jagat raya. Dia tetap Yang Maha Agung. Semua makna akan lebur, mencair di tengah keagungan-Nya.'