Bab 3

1463 Words
Na Yeon akhirnya kembali setelah seminggu lebih berlibur. Dia begitu sibuk sampai aku bahkan tidak bisa menelponnya. Dia mungkin sangat menikmati liburan dengan keluarganya karena bahkan setelah dia kembali dia memasang senyum lebar dengan wajah merona. "Kau sudah pulang?" Aku memeluknya untuk menumpahkan rasa rindu. "Ini" dia menyodorkan tas belanja padaku, sebuah oleh-oleh gantungan kunci dari pulau Jeju dan kosmetik baru. "Gumawo" Na Yeon berjalan menuju jendela --- sementara aku melihat sisa bercak darah kemarin yang belum sempat kuberisihkan. Buru-buru aku duduk di atasnya untuk menghentikan rasa penasaran Na Yeon, tapi tampaknya usahaku gagal, ia berhasil menangkap basah tindakanku. "Noda apa ini, apa kau datang bulan dan menodai kursi ini?" Seketika aku merasa dipojokkan untuk sesuatu yang bukan salahku. Apa lagi sikap Na Yeon yang kadang suka berterus terang tanpa memikirkan perasaan orang lain, karena itu dia tidak memiliki banyak teman selain aku. Aku menghela napas berusaha memaklumi hal ini, "Aku minta maaf" "Aku sudah mengatakan padamu 'kan saat kau datang bulan jangan duduk di sofa" "Aku akan mengganti biaya laundri-nya nanti" "Tentu saja, itukan salahmu" ucapnya dengan nada sinis seperti yang selalu ia lakukan saat aku melakukan kesalahan kecil. Walaupun aku tahu sikap buruknya ini, aku tidak tau kenapa masih terus berteman baik dengannya, mungkin karena cuma aku yang bisa memaklumi tindakannya, dan hanya dia orang yang tidak suka ikut campur urusanku? "Bagaimana kabar pacarmu itu, sudah lama aku tidak melihatnya datang kemari" "Kak Taeyang sedang ada bisnis di luar negri, begitu dia datang akan kusuruh dia kemari." "Baiklah, suruh dia bawa makanan untuk kita" Aku menyingkir ke kamar mengecek ponselku. Sudah seminggu ini Kak Taeyang tidak menghubungiku, bahkan tidak membalas pesanku sama sekali. Dia memang seperti ini, sering menghilang tanpa kabar, lalu datang dengan membawa kejutan. Karena itu aku tidak terlalu cemas saat hal ini terulang lagi. Bagiku, aku hanya perlu menunggu dan mengatakan padanya betapa aku sangat menderita karena merindukannya. Saat tengah begitu hanyut dalam lamunan, tiba-tiba ponselku berdering dan membuatku nyaris meloncat karena bahagia, telpon dari Kak Taeyang masuk setelah aku menunggu selama seminggu. "Oppa" "Bagaimana kabarmu, maaf, aku baru menelponmu, aku sangat sibuk" "Tidak apa-apa, aku mengerti" "Kau ada waktu? Bagaimana kalau kita makan malam di restoran heaven besok malam?" "Iya, aku bisa" "Kalau begitu aku akan menjemputmu besok jam 8. Sampai nanti Chagia" "Sarangeo" Dia menutup telponnya tanpa membalas ungkapan cintaku, seolah hanya aku yang paling mencintainya di sini dan membuatku merasa sedih dan kesepian. Ini selalu terjadi dan aku tidak tau apa yang harus kulakukan. ** Hari ini pekerjaanku cukup melelahkan, ada banyak pasien yang datang, sementara pikiranku terus terbayang-bayang wajah Taeyang. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya dan mengobrol kan apa yang terjadi hari ini. Aku sangat rindu dan ingin segera memeluknya. Itulah yang terus dikatakan hati kecilku yang kuminta bersikap lebih sabar. "Apakah masih ada pasien lain, Suster Song?" Kataku pada suster wanita di sampingku yang tengah sibuk membereskan buku rekam medik semua pasien. "Masih ada satu pasien lagi" "Ini pasien terakhir?" "Ne, dokter" "Suruh dia masuk" Aku terpaku ke arah meja, tadi sepertinya aku lupa mengisi catata alergi obat apa yang tidak bisa kuberikan pada pasien sebelumnya. Aku harus buru-buru mencatatnya sebelum lupa lagi. Tak lama setelah suster Song keluar, aku mendengar suara pintu terbuka. Sepertinya pasien terakhir sudah masuk. "Silahkan duduk" kataku ramah sambil berusaha menyelesaikan catatan kecilku agar tak membuat pasienku menunggu terlalu lama. "Masih ingat aku?" Aku meninggalkan satu titik di catatan terakhirku lalu mengangkat pandanganku perlahan-lahan. Suara itu sangat familiar dan sepertinya pernah kudengar sebelumnya. "Kau?" "Aku sudah bilang akan menepati janjiku 'kan?" "Bagaimana lukamu?" Dia menarik kemeja hitamnya ke atas dan menunjukkan bekas lukanya yang perlahan sudah menutup. "Sepertinya keadaanmu sudah lebih baik" "Kau ada waktu untuk makan siang?" "Kau tidak datang untuk berobat?" "Ayo kita pergi!" "Tu… tunggu, tapi aku…" Ia berpaling dengan senyum manis, kemudian menarik tanganku dan meraih tasku dengan tangannya yang lain, "Tidak ada kata tapi untuk hari ini" Lelaki egois itu lagi-lagi mengabaikan ucapanku dan bertingkah sesuka hati. Tapi entah kenapa aku tetap saja menuruti keinginannya. Dibalik sikapnya yang seenaknya, ada satu hal yang membuatku terkesan, dia bersikap cukup sopan dengan membukakan pintu mobil untukku, meski raut wajahnya teramat datar seolah dia sama sekali tidak mengerti bagaimana cara tersenyum dengan baik. "Kau tau restoran yang enak disekitar sini?" Tanyanya sambil menyapu helai rambut sepanjang leher dan poni yang nyaris menutupi matanya. "Di kantin rumah sakit makanannya juga enak" "Kalau begitu ke Restoran di hotel Lafayete saja" "Kau bertanya tapi memutuskan sendiri?" "Untuk apa aku jauh-jauh kemari kalau hanya makan di restoran rumah sakit" "Tapi aku tidak memakai gaun?" Dia berpaling menatapku sekilas, "Kau tidak kelihatan buruk. Lagipula ini makan siang bukan makan malam" Aku melepas seragam dokterku sebelum masuk dalam restoran lalu merapikan terusan yang kukenakan. Aku bersyukur memakai terusan hari ini, setidaknya ini mirip sebuah gaun meski tampak santai. Seharusnya lelaki aneh ini memberitahu dulu kalau mau membuat janji makan siang di hotel mewah seperti ini. Ini baru pertama kalinya aku mengunjungi restoran di hotel Lafayete. Aku memang pernah mendengar kalau makanan di restoran ini terkenal sangat enak di penjuru Seoul, meski begitu harganya lumayan mahal dan tidak semua orang bisa masuk ke sini kecuali sudah membuat pemesanan lebih dulu. Aku terkejut lelaki ini bisa masuk kemari, dia pasti cukup kaya. "Duduklah!" Katanya menarik kursi untukku duduk. Meski kelihatannya tidak berperasaan dia sepertinya tau cara memperlakukan wanita dengan baik. Seorang pelayan wanita datang menyambangi kami dan mengisi gelas kami dengan air minum, sebelum kemudian bertanya pesanan kami. "Apa yang ingin Anda pesan, tuan, nyonya?" "Aku pesan steak tenderloin, medium" "Anda Nona?" Aku bingung menatap semua menu itu dan tidak mengerti makanan apa saja yang enak di sini, jadi aku putuskan memesan makanan yang sama dengan lelaki itu. "Aku pesan menu yang sama" "Anda ingin wine tuan?" "Yes, please" Setelah pelayan itu pergi aku merasa agak canggung dan sungkan. Aku tidak tau apa yang akan kami bicarakan karena kami pun tidak begitu akrab satu sama lain. Aku juga berharap Taeyang tidak tau apa yang kulakukan hari ini, karena aku tidak mau dia berpikir kalau aku sedang berselingkuh di belakangnya. "Sudah berapa lama kau bekerja di rumah sakit?" "5 tahun. Kau sendiri apa yang kau kerjakan?" "Aku menjalankan bisnis keluarga" "Ooh.. aku mengerti" Ketika kami tengah berusaha membangun keakraban sambil berbincang, dari lift aku melihat Kak Taeyang muncul, tapi dia tidak sendiri saat keluar dari dalam lift. Ada seorang wanita bersamanya. Awalnya aku pikir itu adalah rekan bisnisnya, tapi begitu melihatnya menengok, aku dengan baik mengenalinya sebagai Na Yeon. Aku tidak tau kenapa mereka berada di sini. Awalnya aku kira mereka mungkin tidak sengaja bertemu, tapi bahasa tubuh mereka begitu aneh, sangat akrab dan begitu intim. Mereka berjalan ke arahku, aku buru-buru menutup mukaku dengan buku menu di tanganku. "Ada apa?" Kata Lee. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin membersihkan sesuatu di wajahku" Na Yeon dan Kak Taeyang duduk di belakangku. Aku mendengar mereka bercengkrama dengan akrab tanpa mengetahui keberadaanku. Aku ingin tahu apa yang mungkin mereka bicarakan. "Kau mau pesan apa Chagia?" Kata Kak Taeyang dengan lembut, sangat lembut bahkan bisa membuatku cemburu karena dia bahkan tidak pernah berbicara selembut itu padaku. Ada apa dengan mereka, apa mereka berselingkuh? Tidak, aku tidak boleh berpikir buruk tentang mereka. Tapi panggilan sayang itu bagaimana aku harus menjelaskannya? "Aku tidak mau apa-apa. Yang kuinginkan sekarang dari Oppa, adalah memberitahu Runa soal hubungan kita?" Kata Na Yeon dengan jelas di belakang punggungku. "Tenang saja, aku akan memutuskannya malam ini dan kita akan menikah bulan depan. Oppa akan membelikanmu perhiasan apa pun yang kau suka. Jangan marah lagi ya, Chagia" Mendengar pembicaraan mereka akhirnya aku tidak bisa bertahan terus bersembunyi. Aku berdiri di hadapan mereka berdua, dan kedua pengkhianat itu tampak sangat terkejut seolah mata mereka akan meloncat keluar. "Kalian menjalin hubungan di belakangku?" "Ru.. Runa... Tenang dulu, aku bisa menjelaskannya" "Apa yang ingin Oppa jelaskan, sebaiknya beritahu dia saja yang sebenarnya terjadi antara kita mumpung dia ada di sini" Kak Taeyang yang awalnya tampak terkejut tak berdaya kemudian berdiri dengan wajah tegas. "Baiklah, aku ingin kita putus sekarang" Aku tercekat seolah tubuhku ditusuk ratusan pedang. Mataku terasa sangat panas seolah terbakar sampai air mataku jatuh menetes. "Kenapa kau memutuskanku dan menjalin hubungan dengan Na Yeon? Kenapa kalian tega melakukan ini padaku?" "Kau pikir saja apa salahmu" kata Kak Taeyang dengan ketus. "Apa salahku, selama ini aku selalu setia tidak peduli seberapa jahat kau padaku dan membuatku selalu menunggumu sekalipun tanpa kabar" kataku setengah berteriak tidak mampu menguasai diri lagi di hadapan banyak orang yang menatap kami. "Tidak akan ada yang suka pada gadis cupu sepertimu. Berciuman saja kau tidak mau, dan kau menyebut kita berpacaran. Sepertinya kau bermimpi" Aku tak kuasa menahan kemarahanku dan menampar pipinya dengan keras. "Persahabatan kita berakhir" kataku pada Na Yeon dengan teramat sakit hati, seperti ditikam belati tepat di jantungku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD