"Siaal!! Kamu bener-bener parah banget, Lily! "
Sepanjang jalan, Lily hanya bisa mengutuk diri sendiri untuk tingkat kebodohhannya yang sudah nggak ketolong lagi.
Duh, rasanya Lily kepengen getok kepala sendiri pakai lato-lato deh. Siapa tahu otaknya yang mampet jadi encer kan?
"Huhuuu... mau nangiiss, tapi kenapa nggak bisa keluar air mataaa ini, heeeiii!!" Teriaknya yang frustasi pada diri sendiri, sambil mengubur wajahnya di atas setir.
Saat ini Lily telah berada di dalam mobilnya untuk pulang ke apartemen tempat tinggalnya, setelah Pak Trevor kembali ke Penthouse.
Jalanan kota yang macet parah makin membuatnya bertambah kesal, seakan rasa bersalah yang terasa mengiris hatinya itu belum cukup, dan kini dunia pun ingin ikut menghukum dirinya.
"Aarrgghh!! Kalau begini mendingan resign aja deh! Lebih baik jadi pengangguran, dibandingkan jadi gila kalau terlalu lama berada di dekat bos duda yang... aaargghh!!!"
Lily pun menoyor kepalanya sendiri ketika kilasan momen beberapa saat yang lalu kembali hadir di dalam kepalanya seperti sebuah film yang terus diputar berulang-ulang.
"Fix. Senin besok aku harus mulai menyusun surat pengunduran diri," guman Lily dengan tatapan nanar ke arah lalu lintas yang sama sekali tidak bergerak di depan mobilnya.
Helaan napas berat menggambarkan betapa sulitnya keputusan untuk resign dari pekerjaan terbaik dengan gaji terbaik yang bisa ia dapat.
Lily pun mulai menghitung-hitung sisa tabungannnya ditambah bonus-bonus yang akan ia terima, serta dikurangi beberapa cicilan. Yah, sepertinya dia masih bisa hidup untuk 4 bulan ke depan kalau-kalau terpaksa harus jobless selama itu.
Semoga saja tidak.
"Huuhh!! Kamu pasti bisa, Lily! Ayo, semangat mencari pekerjaan baru!!" Ucapnya sambil mendengus kuat-kuat. Gadis itu merasa lebih baik ia pergi sejauh-jauhnya dari Pak Trevor, sebelum semuanya menjadi lebih kacau dari sebelumnya.
Lily tahu ia sudah berdosa begitu besar kepada Rama karena telah menghabiskan malam bersama bosnya, meskipun saat itu baik dirinya maupun Pak Trevor sama-sama tidak sadar karena mabuk.
Lily mengira kalau kekhilafan malam itu tidak akan pernah terulang lagi. Karena selain bahwa ia benar-benar sadar telah melakukan kesalahan, Lily mengira bahwa hubungannya dengan si Pak CEO itu tidak akan mungkin berkembang menjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena ketiadaan perasaan di antara mereka.
Tapi ternyata dia sudah salah langkah, karena apa yang baru saja terjadi malam ini justru telah membuktikan bahwa ternyata...
...ada sesuatu yang tidak diinginkan mungkin saja telah berkembang di antara mereka.
**Flashback beberapa waktu yang lalu, saat masih berada di mobil Trevor**
"Uhm... Pak Trevor?"
"Ya?"
"Jangan nakal..." ucap Lily sambil menggeleng pelan, sengaja mengulang perkataan Trevor yang sebelumnya pernah ditujukan kepada Lily.
Trevor menahan senyumnya ketika Lily mengucapkan kalimat berupa sindiran untuknya. Namun seolah tuli, Trevor malah semakin menarik pinggang ramping gadis itu hingga kini tubuh lembut Lily benar-benar menempel di tubuhnya.
Trevor tak bisa lagi menahan diri, setelah semalaman ini dirinya berusaha bertahan meski disuguhkan sosok menawan berbalut gaun seksi yang menggoda hasrat kelelakiannya.
Lily membulatkan mata saat bosnya itu malah semakin menarik tubuhnya, hingga tak ada lagi batas antara mereka. Saking eratnya, Lily bahkan bisa merasakan kerasnya otot-otot yang tersembunyi dari balik kemeja hitam polos lelaki itu, karena tadi Pak Trevor sudah melepas setelan jas Armani-nya sebelum masuk ke dalam mobil.
"Pak Trevor? Kenapa saya malah makin ditarik?!" Sergah Lily sambil mendelik galak, yang anehnya malah terlihat semakin menggemaskan di mata Trevor.
Ia pun berusaha menjauhkan diri dengan mendorong daada lelaki itu, namun ternyata usahanya sia-sia belaka karena sama saja seperti mendorong beton yang kokoh.
"Saya cuma penasaran saja kok. Apa jantung kamu sama berdebarnya dengan jantung saya saat ini? Atau jangan-jangan malah berdebar lebih cepat?" Goda Trevor sambil mengulum senyum.
"Pak Trevor, sadar! Kita bukan remaja belasan tahun lagi yang bisa main-main begini. Bapak telah memiliki seorang putra dan saya sudah bertuna--"
Kalimat Lily serta-merta terpotong dan berubah menjadi teriakan kecil karena terlalu kaget, sebab Trevor yang tiba-tiba saja menyambar bibirnya!
"Hmmmp!!" Lily kembali berusaha mendorong bahu keras itu, namun masih saja sia-sia karena tak bergerak sesenti pun. Ia benar-benar tak percaya jika bos yang selama ini ia hormati, kini telah menciuumnya dalam keadaan sadar tanpa terpengaruh oleh alkohol sama sekali!
Lily tak menyerah untuk terus berontak. Kali ini ia berusaha memalingkan wajahnya agar ciumann itu dapat terlepas.
Tapi lagi-lagi usahanya gagal, karena Trevor memindahkan tangannya dari pinggang gadis itu hingga ke tengkuk Lily, membuat gadis bersurai panjang itu semakin tak berkutik.
Ketika Lily merasa bahwa segala upayanya sia-sia, maka ia pun hanya diam dan menutup bibirnya rapat-rapat. Berharap dan berdoa jika Pak Trevor menyadari kekeliruannya, lalu segera menyudahi kesalahan ini.
Namun sayangnya, Trevor seolah tak peduli jika Lily sama sekali tidak menyambut ciiumannya. Lelaki itu bagai seorang pengembara yang kehausan dan menemukan mata air sejernih embun, lalu menyesap setiap tetes airnya dengan rakus.
Lily terkesiap ketika merasakan sesuatu yang basah dan lembut menyusuri bibir bagian bawahnya, dan baru menyadari bahwa ternyata tadi itu adalah lidah Trevor yang menyapu lembut bibirnya.
Mulut Lily yang sedikit terbuka karena terkejut adalah kesempatan yang tidak akan disia-siakan oleh Trevor.
Suara geraman pelan penuh kepuasan pun menguar di sekelilingnya, ketika lidah lelaki berhasil menyelusup masuk ke dalam mulut Lily yang hangat, lalu bergerilya dengan penuh suka cita di dalam sana.
'Damned. He is a good kisser', batin Lily yang kemudian mengutuk diri sendiri karena malah ikut larut dan terhanyut dalam pagutan lembut bosnya itu.
'Curang. Siapa yang bisa menolak jika godaannya sedahsyat ini?' keluhnya tak berdaya.
Pak Trevor bukan cuma sangat tampan, sabar dan baik hati, tapi juga ternyata seorang penciumm yang sangat handal.
Duh, duda mempesona memang nggak ada lawan deh.
"Kamu wangi sekali," bisik Trevor di telinga Lily, saat ia menghentikan kecuupannya untuk memberikan waktu bagi Lily mengambil napas.
"Uhmm..." jawaban tanpa kata dari Lily itu memberikan sejuta makna yang membuat Trevor kembali memperdalam cumbuuannya di atas bibir selembut dan semanis permen kapas itu.
Namun sayangnya lalu lintas yang tadi sempat terhenti karena macet, kini mulai perlahan terurai.
Suara klakson mobil yang mulai bersahut-sahutan tak sabaran melihat satu mobil Aston Martin yang tak bergeming di tengah jalan, membuat kedua manusia di dalamnya tersentak dan tersadar.
Lily pun segera beranjak dari pangkuan Trevor, yang kali ini tidak mencegah gadis itu untuk menjauh dan kembali ke tempat duduknya.
Keheningan yang menggelisahkan pun kini melingkupi kedua insan yang sama-sama terdiam itu.
Lily membuang pandangannya ke arah jendela sembari meringis malu, mengingat bagaimana ia yang tak seharusnya membalas perbuatan bosnya dengan gairaah yang sama.
Ah, kenapa penyesalan selalu datangnya di akhir?
Sementara untuk Trevor, ia juga merasakan secercah penyesalan. Tidak, ia bukan menyesal karena menciumm Lily. Tapi ia menyesal karena bergerak terlalu lamban untuk memiliki sosok menawan yang sesungguhnya telah lama ia dambakan.
Apa ia salah karena menginginkan seseorang yang telah bertunangan dengan lelaki lain?
Ya, mungkin ia salah. Benar-benar salah.
Tapi jika setiap sudut hatinya selalu meneriakkan nama Lily, ia bisa apa?
Jika selama ini bibirnya diam-diam selalu bergerak otomatis untuk tersenyum ketika mendengar celoteh bawel sekretarisnya yang doyan mengomel itu, dia juga bisa apa?
"Saya akan antarkan langsung ke apartemen kamu," ucap Trevor tiba-tiba, membuat kebisuan yang tercipta pun kini terhempas. "Besok mobil kamu akan diantar supir kembali ke apartemenmu."
Lily menggeleng sambil menggigit bibir dengan rasa kikuk yang masih melanda dirinya. "Apartemen saya masih jauh, sementara Penthouse Bapak sudah dekat. Lagipula saya butuh mobinya sekarang juga karena mau singgah ke suatu tempat dulu sebelum ke apartemen," sahut gadis itu.
Trevor pun sontak melirik Lily sekilas dari ekor matanya, sebelum kembali fokus ke jalanan di depan.
"Apa kamu mau bertemu dengan Rama?"
Lily menelan ludah ketika mendengar pertanyaan yang sebenarnya jawabannya sangat mudah. Ya atau tidak. Tapi ia merasa tidak ingin menjawabnya, karena ini terlalu membingungkan.
"Jawab, Lily."
Gadis bersurai gelap itu pun mendesah dengan suara keras. "Baik, akan saya jawab. Ya, saya memang mau bertemu dengan Rama, Pak. Rama Prasetya, tunangan saya. Apa itu salah??"
Di luar dugaan Lily, gadis itu tidak menyangka bahwa Trevor malah menyeringai mendengar perkataannya barusan. Sebenarnya yang ada di dalam pikiran bosnya itu apa sih??
"Tidak, itu tidak salah sama sekali. Seperti yang kamu bilang barusan, dia itu tunangan kamu, kan?" Cetus Trevor sambil tersenyum dan diam-diam membatin dalam hati, '...sebelum saya merebut kamu dari dia.'
"Lagipula saya juga rela kok," ucap lelaki berkacamata itu lagi.
"Hah? Rela apa nih maksud Bapak?"
"Rela untuk jadi selingkuhan kamu," jawab Trevor lagi, sambil terkekeh pelan ketika melirik Lily yang mendadak pucat dan tak bergerak di sampingnya.
**Flashback selesai**