"Uh, siapa sih??"
Rama terbangun dari tidurnya ketika ponsel yang sedang ia charge tiba-tiba saja berbunyi. Takut jika panggilan itu adalah sesuatu yang penting, ia pun segera meraih alat komunikasi itu sambil menguap lebar.
"Hah? Lily??" gumannya pelan, ketika membaca sederet nama yang tertera di layarnya. Ini sudah hampir jam stengah 12 malam. Kenapa tunangannya menelepon di waktu selarut ini?
"Halo, Sayang. Kamu belum tidur?" Rama berucap segera setelah ia menggeser layarnya.
"Rama... kamu sudah tidur ya? Maaf."
Rama tersenyum mendengar suara renyah kekasihnya. "Ngga apa-apa. Kamu sendiri kenapa belum tidur?"
"Uhm... kamu bisa keluar ngga sekarang?"
"Hah? Keluar?" Rama pun sontak bergerak untuk duduk di atas ranjang. "Maksud kamu, keluar ke depan apartemen ya?" Konfirmasinya kemudian.
"Jangan bilang kalau kamu--"
"Iya, Rama. Aku sedang di depan pintu apartemen kamu."
"Apa?! Lily, ini tuh udah malam! Kenapa kamu malah--"
"Ram, please. Bukain pintunya atau aku pulang lagi aja deh."
Rama pun tersadar setelah mendengar nada kesal tunangannya. "Eh, jangan pulang dong. Ini aku bukain pintunya ya!"
Dengan ponsel yang masih menempel di telinga, Rama segera membuka pintu untuk Lily dengan terburu-buru. Ia benar-benar heran dengan kedatangan Lily yang sangat tiba-tiba di tengah malam begini, dan sedikit cemas jika ada yang terjadi pada tunangannya itu.
Namun ketika pintunya telah terbuka, Rama pun tersentak saat mendapatkan sebuah pelukan erat dari seorang gadis cantik yang masih mengenakan gaun pesta. Rama tahu jika malam ini Lily menemani bosnya untuk menghadiri sebuah undangan pernikahan.
Dan meskipun tidak suka dan cemburu, tapi Lily berhasil membuatnya percaya. Ya, ia tahu bahwa tunangannya ini bukanlah gadis yang suka macam-macam di luar sana.
Lily sangat setia. Bahkan ketika ia sempat khilaf di masa lalu, Lily masih mau memaafkan dirinya dan memberikan Rama kesempatan kedua. Itulah yang membuat Rama bertekad tidak akan pernah menyia-nyiakan gadis imut, galak, tapi baik hati ini untuk kedua kalinya.
Rama melepaskan ponsel dari telinganya untuk disimpan di saku celana pendeknya. Ia tersenyum sembari mengamati Lily. Wajah Lily menyuruk di dadanya, membuat Rama tidak bisa melihat wajahnya.
Gadis itu mengenakan jaket kulit untuk menutupi bagian atas gaunnya yang agak terbuka. Mungkin dia kedinginan di udara malam dengan angin yang berhembus membuat tubuh menggigil.
"Sayang, kamu kenapa sih?" Rama mengusap rambut panjang Lily yang terurai.
"Ada sesuatu yang terjadi?"
Lily menggeleng dengan wajah yang masih menempel di d**a Rama. "Aku cuma mau meluk kamu aja. Kangen."
"Jadi cuma kangen aja nih?" Goda Rama.
Tapi Lily yang tak menjawab tak pelak membuat Rama heran. Biasanya gadis itu akan balik menggodanya atau malah mengomelinya. Lily yang Rama kenal adalah gadis bawel dan sama sekali bukan tipe pendiam begini.
"Kamu mau masuk?"
"Umm... mau sih, tapi sekarang kan sudah malam. Aku pulang saja deh."
"Eh, masa kamu jauh-jauh ke sini cuma mau peluk aja terus pulang?" protes Rama. "Nggak mau lebih dari sekedar peluk nih?"
"Ck." Lily melepaskan pelukannya dan mendelik ke arah tunangannya yang tersenyum geli. "Ya udah ciumm sini."
Rama tertawa tanpa suara ketika melihat Lily yang memberengut tapi tanpa malu-malu malah minta ciium.
Tanpa menunggu lama, Rama pun memagut mesra bibir penuh yang terasa lembut itu dengan penuh perasaan. Dua sejoli itu pun selama beberapa saat larut dalam penyatuan bibir mereka, hingga akhirnya Lily-lah yang menyudahinya.
Namun Rama yang masih belum merasa puas, kembali menarik dagu lancip gadis itu dan ingin kembali melanjutkan yang tadi sempat terhenti.
"Udah, Ramaa... aku harus pulang sekarang," tolak Lily yang memalingkan wajahnya untuk menghindar dari sergapan tunangannya.
Sambil mendesah berat, Rama pun akhirnya mengalah. "Curang kamu tuh. Datang-datang langsung main peluk, bilang kangen, ciumm-ciumm dikit, terus malah minta pulang," gerutunya.
"Maaf, hehee..." Cengir Lily seolah tanpa dosa. Ia tahu kalau malam ini ia sudah membuat Rama terganggu dan kesal karena kehadirannya yang cuma bikin baper.
Tapi jujur, Lily bisa gila kalau ia tidak segera bertemu dengan Rama. Rasa bersalah karena sebelumnya telah terhanyut pada godaan dari bosnya, membuat Lily butuh disadarkan atas status yang ia miliki saat ini.
Bahwa dirinya telah bertunangan dengan Rama, dan akan segera menikah hanya dalam hitungan bulan.
Meskipun kini ada beberapa hal yang Lily tidak mengerti. Seperti...
...kenapa ia tidak lagi bisa menikmati saat-saat bermesraan dengan Rama seperti ciumann mereka barusan. Rasanya seperti... hambar.
'Aaarghh!!! Ini semua gara-gara Pak Trevor sialan!!'
Lily pun memaki diri sendiri dalam hati. Tak ada yang salah sebenarnya dengan diri Rama, sungguh.
Hanya saja... Pak Trevor terlalu piawai dalam hal berciumann.
'Ya ampun. Kayaknya aku sudah benar-benar ngga waras. Kok bisa-bisanya membandingkan calon suami sendiri dengan orang lain? Gilaa gilaaa...!'
"Ram, ngga usah anterin aku pulang," tolak Lily ketika Rama hendak meraih kunci mobil dari tangan Lily. "Ngga apa-apa kok."
"Terus kamu mau pulang sendiri malam-malam begini gitu? Nggak. Aku nggak ijinin."
"Dibilangin nggak apa-apaa," balas Lily sambil mencubit pipi Rama. "Udah biasa kan aku pulang malam kalau lembur."
Rama menghela napas pelan melihat Lily yang memang keras kepala sejak dulu. Jika ia memaksa, gadis itu ujung-ujungnya pasti marah-marah.
"Ya sudah, tapi jangan matikan lokasi ponsel kamu ya?"
***
Hari ini hari Sabtu, dan Lily pun hanya bisa gigit jari karena ternyata tadi pagi-pagi sekali Rama meneleponnya untuk mengabarkan bahwa mendadak harus dinas ke luar kota.
Padahal Lily sangat berharap sekali jika liburan akhir minggu ini ia bisa kencan santai dengan lelaki itu. Dan juga... sekaligus ingin memantapkan diri untuk resign dari kantornya yang sekarang.
Semalam Lily tidak bisa tidur sama sekali karena memikirkan banyak hal yang mengganggu pikirannya. Bahkan hingga pagi hari pun matanya sama sekali tidak dapat terpejam sedetik pun.
"Argh. Ini semua karena Pak Trevor. Kenapa perkataannya tentang menjadi selingkuhan jadi terus terngiang sih?" gerutu Lily sembari duduk di depan cermin rias dan menatap lingkar hitam di bawah matanya.
Dan Lily pun tak bisa berbohong, bahwa sampai sekarang ia juga tak bisa menghilangkan ingatan akan ciumann panas mereka di dalam mobil.
Ia mengira bercumbuu dengan Rama akan dapat menghapus ingatan itu, namun ternyata tidak juga berhasil.
"Ck. Dasar duda jomblo. Pasti ini gara-gara Pak Trevor kelamaan sendirian tanpa pasangan deh. Makanya main samber aja sama cewek yang ada di dekatnya!" Sungutnya.
Tiba-tiba suara bel yang berbunyi mengagetkan Lily dan membuat lamunannya seketika terhempas. Siapa yang datang ya??
Lily tinggal di Jakarta hanya seorang diri, karena orang tua dan adiknya tinggal di Bogor. Apa yang jangan-jangan yang datang adalah keluarganya yang memberikan surprise?
"Iyaaa... sebentaaar! Ini juga orang lagi ngesot, ish!" teriak Lily kesal, ketika mendengar suara bel yang ditekan dengan terus-menerus seperti seseorang yang tidak sabaran.
"Halo, Tante!"
Dan Lily hanya bisa melongo melihat bocah berwajah bule yang berdiri di depan pintu apartemennya sambil nyengir lebar. Jadi si jelmaan Lucifer ini yang barusan pencet bel kayak orang stress??
"Pasti Tante Lily belum mandi deh!" tembak Ethan tiba-tiba, yang serta merta membuat Lily mengendus-endus tubuhnya sendiri.
"Emangnya Tante bau ya?" tanya Lily yang seketika merasa insecure.
"Enggak. Wangi kok."
"Terus, kenapa kamu tau kalau Tante belum mandi?"
"Cuma nebak aja sih, dan ternyata tebakan aku benar kalau Tante Lily itu tipe yang suka malas mandi pagi kalau nggak kemana-mana. Ya kan?"
'Sialan. Ni bocah setann kenapa pengamatannya bisa akurat begitu ya?'
"Ethan, jadi pagi-pagi begini kamu datang ke apartemen tante cuma buat ngeledek, hm?" Cetus Lily kesal sembari melipat tangan di depan dadaa.
"Terus sama siapa kamu ke sini? Bocil kaya kamu kenapa cuma sendirian??!"
"Ciyee... yang nyariin Daddy," ledek Ethan dengan senyum terkulum dan alis tebalnya yang menukik jahil.
"Ethan, tante serius. Kamu ke sini sama siapa?? Nggak sendirian kan??" cecar Lily.
"Ethan datang bersama saya, tentu saja." Sebuah suara maskulin yang tiba-tiba menyeruak, sontak membuat Lily pun menoleh ke sumbernya.
"Maaf, tadi saya sedang menerima telepon dari keluarga," sahut si empunya suara seraya memeluk bahu Ethan dari samping dan melayangkan senyumnya yang sangat tamp--
'Shut up, Lily. Rama juga ngga kalah tampan!'
"Tante, kita nggak diajak masuk nih?" sindir Ethan kemudian, ketika melihat Daddy dan Tante Lily yang malah sama-sama terdiam dan saling tatap-tatapan.
"Oh... iya. Uhm, silahkan masuk dulu," ucap Lily dengan senyumnya yang terlihat rikuh. Dalam hati ia hanya bisa meringis, kenapa harus bertemu lagi dengan Pak Trevor di hari liburan begini sih?
"Nggak usah masuk deh, Tan. Aku ke sini kan mau ajak Tante olahraga jogging biar sehat. Langsung berangkat aja yuk!" tutur Ethan dengan wajah bersemangat.
Nih anak kayanya beneran minta disentil unyeng-unyengnya deh! Tadiii ajaa nyindir-nyindir, eh giliran disuruh masuk malah menolak! Dih. Perlu kesabaran ruangan timnas latihan bola untuk menghadapi si tuyull ini.
"Hah? Olahraga?" Lily menatap bingung ke arah bosnya yang mengedikkan bahu ringan dan menggeleng pelan, sebagai kode bahwa lelaki itu pun tidak tahu alasan Ethan ingin mengajak Lily.
"Saya memang mengajak Ethan untuk jogging pagi berdua, tapi tiba-tiba saja dia minta diantarkan ke apartemen kamu sebelumnya," terang Trevor.
Desahan pelan pun lolos dari bibir Lily setelah mendengarnya. "Ethan, kamu nggak bisa tiba-tiba datang ke rumah seseorang dan langsung mengajaknya begitu saja tanpa memberitahu terlebih dahulu," nasihat Lily.
Bibir anak kecil itu pun sontak memberengut mendengar nada penolakan samar dari Lily. "Ck. Bilang aja kalau Tante Lily malas olahraga."
"Bukan gitu--"
"Ya kalau gitu apa susahnya sih bilang 'iya'?" sergah Ethan lagi. "Aku ke sini kan karena tujuannya baik, supaya Tante Lily sehat dengan berolahraga pagi. Ya kan, Dad?"
"Tapi kamu pun juga harus menghargai apa pun jawaban Tante Lily, Ethan," sahut cepat Trevor. "Termasuk jika Tante Lily menolaknya."
Ah, syukurlah tenyata Pak Trevor menempatkan diri sebagai penengah di sini,' pikir Lily lega. Sekarang ia tidak akan ragu menolaknya, karena bosnya itu sudah memberikan lampu hijau untuk jawaban apa pun.
Lily seakan lupa bahwa ia telah berniat untuk resign di hari Senin, dan masih merasa bahwa dirinya adalah sekretaris Trevor.
"Tapi setelah dipikir-pikir, ide kamu lucu juga, Ethan. Kalau kita berolah raga bersama, kelihatannya pasti seperti keluarga kecil bahagia. Benar kan, Lily?"