6

1519 Words
Pada akhirnya, Orlando mengambil gambar Faris dan wanita yang dilihatnya di cafe tadi. Tapi tentu saja Orlando tidak iseng untuk mengirimkannya pada Anika, dia sendiri tidak mengerti untuk apa dia mengambil foto Faris dengan wanita lain sedangkan foto itu tidak akan berguna sama sekali. Sejak tadi, Orlando tidak berhenti memperhatikan kelakuan Faris. Kalau saja Faris masih suami Anika, Orlando jamin laki-laki itu sudah akan dibalut perban sekujur tubuhnya. Dia yang sedari tadi hanya memperhatikan dan tidak melakukan apapun langsung berteriak tanpa suara saat mendapati adiknya muncul dari pintu cafe. Orin mengenal Faris, dan adiknya itu bukanlah orang yang cukup pandai membaca situasi. Orlando memejamkan mata dan menutup wajahnya saat Orin dengan lantang menyapa Faris yang terlihat terkejut. Gadis itu bahkan memasang wajah ramah tanpa memperhatikan wajah di depannya yang terlihat panik. Lalu entah apa yang Orin katakan, tapi selanjutnya Orlando melihat Faris buru-buru menoleh ke belakang, dimana ia duduk saat ini. Orlando langsung memasang wajah datar, membuat Faris tampak semakin pucat. Lalu setelah berbasa-basi bersama Orin, dan Orin yang mulai menghampirinya, Orlando melihat Faris menarik tangan si wanita dan berjalan keluar cafe. Orlando hampir saja tertawa melihat bagaimana paniknya Faris. Wajah lelaki itu persis seperti saat dulu Orlando memergokinya juga. Bedanya tentu saja dulu Orlando langsung menghajar Faris tanpa babibu, membuat pria itu harus dirawat cukup lama di rumah sakit. "Tadi pacar baru Kak Faris ya, Bang?" tanya Orin polos. Orlando mengangkat bahu dengan senyum geli, adiknya ini benar-benar polos sekali. "Lihat, Bang! Aku tadi udah tanya-tanya orang yang ngerti dan katanya yang ini bagus buat pemula," ujar Orin semangat sambil menunjukan beberapa cat lukis beserta buku gambar besar. Orlando mengangguk, "Kalau emang kamu suka, kamu bisa kok ikut les ngelukisnya juga. Tinggal bilang sama Papa, atau sama Abang juga engga masalah," kata Orlando. Orin termangu, tampak berpikir lalu menggeleng. "Engga usah deh kayaknya, soalnya kan beberapa bulan lagi aku mau naik kelas dua belas. Pasti bakal sibuk, cuma nanti buat kuliah boleh engga ya aku ambil DKV?" tanyanya dengan raut ragu. Orlando tertawa dan mengacak rambut adiknya pelan, "Boleh. Nanti Abang bantu bilang ke Papa Mama," Orin bersorak senang dan meminta ijin untuk memesan makanan karena dia mengaku lapar. Sedangkan Orlando menolak saat Orin menawarkan beberapa menu cemilan, ia merasa cukup hanya dengan secangkir espresso. Orlando memandangi adiknya yang sibuk bermain ponsel sambil menunggu pesanannya datang. Orin tampak tersenyum-senyum saat menggulir gawai pemberian Orlando dua bulan yang lalu sebagau hadiah ulang tahun. "Ngeliatin apa sih? Sampe senyum-senyum begitu?" selidik Orlando. Orin mangangkat wajahnya dan memutar gawainya ke arah Orlando. "Gambar isengku dibilang bagus sama followers di sosmedku," Orin berjuar bangga. Orlando memperhatikan dengan seksama gambar dua orang tampak belakang yang duduk bersisian dibawah pohon mangga. Orlando mengernyit, dia langsung menatap adiknya yang langsung tertawa. "Iya, ini gambar Abang sama Kak Anika waktu ulang tahunku," akunya. Orlando menggelengkan kepala, dia ingat saat itu dia dan Anika sedang membicarakan tentang keinginan Anika untuk membuka cabang toko kuenya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Orin melihat interaksi mereka berdua dan menuangkannya dalam gambar. Orlando akui, gambar hasil karya Orin memang lumayan jika untuk pemula dan amatiran semacam adiknya. Gambar dirinya dan Anika tampak menarik walaupun hanya tampak belakang. ** "Leeeaaaa!" Orlando berdecak saat Orin berteriak nyaring sambil menyongsong gadis kecil yang juga sama antusiasnya bertemu dengan tantenya itu. Ia melihat Azalea yang mengangkat tangannya tinggi agar Orin menggendongnya. Orlando tertawa saat Orin memasang wajah sedih dan berkata bahwa ia tidak kuat lagi jika harus menggendong Azalea yang kini sudah besar. Azalea merajuk, matanya berkaca-kaca dan hampir menangis sehingga membuat Orin buru-buru merogoh tasnya dan mengeluarkan lolipop yang sengaja ia beli untuk Azalea. "Ekhem!" deheman itu membuat Orin menoleh takut-takut ke wanita yang tengah melipat tangan di d**a dan berdiri di samping abangnya. "Cuma satu kok, Kak," ucap Orin sambil menunjuk permen yang sudah berpindah tangan. Anika hanya bisa menggelengkan kepala sedangkan Orlando justru terkekeh geli. "Darimana? Sengaja mau kesini?" tanya Anika, dia menyeret Orlando untuk duduk di bangku khusus pengunjung. Orlando menggeleng, "Habis nganter Orin ke toko alat tulis. Terus Orin maksa buat mampir kesini." Anika mengangguk paham. "Azalea engga sama papanya?" tanya Orlando, matanya menatap Anika penuh arti. Ini hari minggu dan biasanya dari hari jumat sore sampai minggu sore Azalea akan bersama dengan papanya. Anika menggeleng, "Tadi siang dianterin kesini sama Faris. Katanya dia ada urusan," jawab Anika. Orlando hampir saja berdecih saat mendengar ucapan Anika. Urusan? Urusan flirting sama cewe seksi di tempat umum sampai harus memangkas waktu bersama anak perempuannya? Tapi Orlando memilih mengangguk dan memperhatikan Azalea yang tengah serius memperhatikan Orin yang sedang menggambar sesuatu. "Gimana kencan lo?" tanya Anika tiba-tiba. Kali ini Orlando berdecak cukup keras sehingga membuat Anika tersenyum mengejek ke arah sahabatnya itu. "Udah gue duga, pasti gagal lagi," tebaknya tepat sasaran. Orlando tidak merespon, ia malah menyendok cheseecake yang tadi dibawa oleh Anika. "Tell me, apa alasannya kali ini?" Anika kembali bertanya. Jika pada mamanya ia tidak bisa menceritakan dengan jujur perihal Lilian, maka lain halnya jika di hadapan Anika. Orlando tidak akan keberatan memberitahu alasan gagalnya kencan antara dirinya dengan Lilian karena Anika tidak akan mau repot-repot menyebarkan aib orang lain. "Dia udah punya pacar. Dan pacarnya itu cowok yang udah punya istri," ujar Orlando dengan senyum miring. Anika langsung menggebrak meja di depannya. Ia bahkan harus meminta maaf kepada para pelanggan yang terkejut dengan aksinya. Bahkan Orin dan Azalea pun ikut menoleh kaget. Anika mengumpati Orlando saat pria itu justru tertawa puas. "Gila bener manusia yang jenisnya begitu. Kalau masih mau toal toel kesana kemari ya engga usah nikah lah," geram Anika. Orlando tersenyum penuh arti, "Iya ya, harusnya Faris engga ngajak lo nikah kalau masih mau toal toel sana sini," kata Orlando santai. Anika melotot ke arah sahabatnya itu yang tertawa semakin kerasa saat melihat Anika yang menahan kesal. Kalau saja bukan di toko, dia pasti sudah mengkebiri lelaki di hadapannya ini. "Dasar jomblo bangkotan!" sungut Anika. Tapi Orlando justru semakin tertawa sampai matanya berair. Baginya menggoda Anika adalah hal yang serupa dengan tidur. Menyenangkan. ** "Darimana sih kalian? Kok lama?" tanya Kencana saat ia melihat kedua anaknya memasuki rumah. Orin berlari dan mencium tangan mamanya, diikuti Orlando yang mengekor di belakang. "Habis beli ini!" seru Orin sambil mengangkat paperbag di tangannya. Kencana melongokan kepala melihat apa yang telah dibeli anak bungsunya. Sedangkan Orlando berjalan ke arah dapur untuk mengambil air dingin. "Kamu ngelukis? Sejak kapan?" tanya Kencana. Orin tersenyum lebar dan berjalan duduk di sofa ruang tengah. "Sejak kemarin?" jawabnya tidak yakin. Kencana ikut duduk di sebelah putri bungsunya. "Emangnya bisa?" tanyanya sangsi. Orin mengerucurkan bibirnya dan beralih menoleh ke arah Orlando. "Bang, kasih tau Mama dong kalau gambarku bagus," pintanya manja. Orlando yang sedang berdiri di pantri sambil memainkan ponselnya, mengangkat sebelah alisnya. "Gambar yang objeknya diambil tanpa izin, walaupun bagus tetep engga boleh dipublikasikan," ujar Orlando. Orin merengut kesal, "Yaudah aku minta izin ya pakai Abang sebagai objek gambar pertamaku," kata Orin. "Beres. Jangan lupa royaltinya ya," ucap Orlando sambil lalu. Kencana yang sedari tadi memperhatikan kedua anaknya, akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Emang kamu gambar Abangmu?" tanyanya pada Orin. Orin tersenyum lebar dan mengangguk, "Gambar Abang sama Kak Anika lebih tepatnya," ujarnya. "Kok bisa?" Orin mengangkat bahunya, "Kebetulan aja. Waktu itu kelihatan bagus pas Abang sama Kak Anika duduk di halaman belakang, di bawah pohon mangga. Kayak yang pas gitu," ungkap Orin sok tahu. Kencana mencibir, "Kebagusan Anikanya kalau dibandingin sama Abangmu," ucapnya enteng. Orlando yang mendengar itu, menatap ibunya dengan sorot terluka yang dibuat-buat. "Ma, kenapa sih dari sekian banyak anak Mama cuma aku yang selalu Mama nyinyirin?" tanyanya sedih. Tentu saja hanya sedih yang dibuat-buat. Kencana menatap remeh ke arah anaknya, "Karena cuma kamu yang belum laku sampai umur tiga puluh," Orlando langsung terdiam mendengar perkataan yang mengerikan itu dari mamanya. Dia bahkan sempat lupa jika umurnya memang sudah sematang itu. Catat. Bukan tua tapi matang. Dan Orlando belum pernah memikirkan dengan serius tentang jodoh. Dia memang memiliki keinginan untuk menikah, apalagi dia juga ingin memiliki anak selucu Azalea. Tapi bukan berarti dia jadi sembarangan memilih calon pendamping. Bagi Orlando, menikah itu adalah ujung dari perasaannya. Jika Orlando menikah maka dia harus memastikan bahwa sampai mati hati dan perasaannya hanya untuk istri dan anak-anaknya kelak. Ia tidak ingin seperti Faris yang akhirnya main serong dan rumah tangganya hancur. Dia ingin seperti Mama dan Papanya yang walaupun sudah berumur setengah abad, tapi masih saling menunjukan perasaan mereka masing-masing. "Jangan gitu dong, Ma. Abang itu walaupun belum nikah, tapi kualitasnya unggul," bela Orin. Orlando langsung berbinar senang. "Itu juga kalau kebiasaan 'nemplok bantal, merem' nya ilang," lanjut Orin. Kencana tertawa keras mendengar ucapan anak bungsung. Orin juga ikut tertawa karena lelucon garingnya. Sedangkan Orlando hanya berdecak keras, meratapi nasibnya yang menjadi bujang lapuk dan memiliki keluarga yang tidak segan-segan membuatnya keki dengan mengungkit soal umur dan jodoh. Dia menatap jengah ke arah adik dan mamanya yang masih melemparkan ejekan untuk Orlando, mamanya itu memang suka sekali memojokannya. Apalagi jika ditambah Oriza dan olivia, kedua kakak perempuannya. Maka formasi lengkap itu merupakan sebuah tanda, disitulah riwayat seorang Orlando Auriga Kalan, akan tamat. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD