Tak Akan Sama

1209 Words
Reno kembali melangkah mendekati meja kerjanya dengan tangan yang masih memegang kertas putih dengan keadaan terbuka. Carissa Hamil. Ya, fakta mencengangkan yang ia peroleh itu serasa menghancurkan dunianya. Seharusnya ia bahagia karena kembali ia akan menjadi seorang ayah. Setelah sekian lamanya ia hanya dikarunia satu orang putri cantik yang mewarisi wajahnya. Tentu, ia akan sangat merasa bahagia jika istrinya lah yang mengandung setelah ia berulangkali melakukan program bayi yang tak kunjung membuahkan hasil. Sayangnya berita kehamilan yang ia peroleh itu membuatnya berduka. Reno saat ini tengah menangis dan bukan menangis karena bahagia. Ia tak kuasa membayangkan bagaimana mendapati istri juga putrinya akan membenci dirinya saat berita ini terdengar di telinga mereka. Apakah Reno akan memilih menggugurkan janin yang tengah dikandung Carissa? Tidak! Reno bukan tipe laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Atau mungkin Reno hanya akan membiayai kebutuhan sang calon bayi itu tanpa harus menikahi ibunya? Mungkin, pilihan kedua itu lebih baik dari pada ia harus menikahi Carissa. Bagaimanapun, ia sangat mencintai istrinya meskipun pada awalnya pernikahan mereka dilandasi atas kesalahan. Reno mengusap air matanya kasar. Ia menempelkan punggungnya di sandaran kursi putar. Matanya terpejam. Ia sedang berusaha mencari ketenangan dalam posisinya. Namun sebelum itu, perasaan bersalah kembali menyerangnya. Tatkala manik matanya menangkap sebuah pakaian dalam milik Carissa yang tertinggal di kursi kerjanya. Andai siang tadi ia tidak begitu saja meminum minuman yang ditawarkan sang mantan kekasih, ia pasti tidak akan pernah mengulangi perbuatan zina itu untuk kedua kali. Ya, beberapa waktu yang lalu, ia pernah melakukan hal 'itu' dengan Carissa di salah satu klub ternama di ibu kota, gara-gara menerima tawaran minum dari kliennya atas kerja sama yang mereka sepakati, yang mengakibatkan dirinya mabuk dan terbangun di atas ranjang yang sama dengan Carissa tanpa busana. ARGHH!! Reno menjatuhkan benda-benda yang ada di meja kerjanya. Ia meletakkan kedua lututnya di atas lantai yang telah dilapisi karpet. Lagi-lagi netranya mendapati sebuah benda yang berada tidak jauh dari dirinya. Sebuah kado berbentuk persegi panjang. “Apakah itu milik Carissa? Ia masih mengingat ulang tahunku hari ini?” Dengan cepat Reno mengambil kado itu dan berjalan keluar dari ruangannya. “Siang, Pak Reno,” sapa Nela, sekretaris yang dibilang cantik oleh semua rekan kerjanya. “Hem,” jawab Reno singkat. Melihat sang bos tampan mendekati kotak sampah dengan sebuah kado ditangannya, membuat Nela kembai berucap, “Maaf, Pak Reno, itu kadonya mau dibuang?” “Ya.” Kembali jawaban singkat yang ia dengar dari mulut bosnya itu. “Anda yakin?” Pergerakan Reno berhenti. “Maksud kamu?” “Setahu saya, itu kado yang baru saja di bawa oleh putri bapak, Nona Thea baru saja.” “Ap-apa? Thea … ke sini?” “Iya, setelah saya selesai makan siang tadi.” DEGG!! Jantung Reno seakan berhenti berdetak. Kenyataan apa lagi ini? “Kamu yakin Thea ke sini?” “Sangat yakin, Pak. Tapi tadi saya lihat Nona Thea keluar dengan terburu-buru sebelum tamu wanita Pak Reno yang keluar dari ruangan Bapak.” “Apa?!” Seluruh tubuh Reno rasanya melemas. Reno yakin jika putrinya itu melihat kelakuan buruknya bersama Carissa tadi. Kini ia tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap saat dirinya pulang ke rumah nanti. “Pak Reno, Anda baik-baik saja?” Nela heran melihat ekspresi gusar dari pria yang menjadi bossnya itu. “Ah, iya. Terima kasih atas informasinya. Saya masuk dulu.” Reno kembali hendak memasuki ruang kerjanya sebelum ia mendengar pesawat telpon di meja sekretarisnya berbunyi nyaring. “Dengan Nela, sekretaris Pak Reno, di sini.” “Apa? Baik akan segera saya sampaikan kepada beliau.” Klik! “Ada apa?” tanya Reno saat mendapati wajah sekretaris cantiknya terlihat gelisah. “Ehm, itu Pak, bagian keamanan baru saja mengabarkan bahwa telah terjadi kecelakaan yang menimpa seorang wanita dengan identitas bernama Carissa Magdalena di tangga lantai bawah bagian tempat parkir.” “APA?” “Katanya sekarang beliau sudah dilarikan ke rumah sakit Medika, dan pihak rumah sakit mengharapkan Pak Reno untuk segera ke sana.” “Baik. Saya akan segera ke rumah sakit. Kamu tolong handle urusan saya dulu. Kalau siang ini ada meeting tolong kamu batalkan dulu dan ganti di hari lain.” “Baik, Pak!” Reno masuk ke ruang kerjanya. Meletakkan kado yang tadi ia bawa ke atas meja. Lalu dengan cekatan, tangannya menyambar kunci mobil yang ia letakkan di laci meja kerjanya. *** Sementara itu, Thea sedang dalam perjalanan menuju apartemen kekasihnya. Meskipun sudah beberapa kali ia melakukan panggilan ke nomor selular kekasihnya namun yang ia dapati hanya suara operator. “Genta, aku sedang butuh kamu sekarang,” gumam Thea sembari meremas ponsel dengan lambang apel digigit itu. “Pak, bisa lebih cepat lagi?” “Baik, mbak.” Genta selalu menjadi penawar kesedihan bagi Thea selama ini. Genta selalu meluangkan waktu untuknya meskipun di sela-sela kegiatan padatnya sebagai seorang dokter. Ya, Genta merupakan dokter yang bekerja di rumah sakit ayahnya sendiri. Di hari sabtu dan minggu Genta memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Thea sendiri masih menjalani kuliah semester akhir di jurusan akuntansi yang ia ambil. Setelah Thea lulus nanti, Genta sudah menjanjikan akan meresmikan hubungan mereka dalam ikatan suci pernikahan. Setelah hampir satu jam perjalanan yang Thea tempuh menuju apartemen kekasihnya, ia akhirnya sampai juga. Dengan cepat ia menekan beberapa tombol agar bisa masuk ke dalam apartemen kekasihnya itu yang sudah dihafalnya di luar kepala. “Gen___” ucapan Thea terhenti saat dengan jelas ia mendengar suara tawa dari dua manusia berbeda jenis kelamin. Suara Genta dan suara seorang wanita yang terasa tidak asing di telinga Thea. Seingatnya, suara wanita itu pernah ia dengar tatkala dirinya dengan Genta tengah makan di kantin rumah sakit. Seorang wanita yang dikenalkan Genta sebagai putri dari bibinya. Thea menjejakkan kakinya pelan di lantai apartemen kekasihnya. Netranya menelisik semua ruangan di dalam sana namun tak kunjung ia dapati raga dari pemilik suara tadi. Pada akhirnya Thea memutuskan untuk mendekati kamar pribadi Genta, satu-satunya ruang yang belum Thea periksa sejauh ini. Sebelum menghampiri ruang dengan keadaan pintu setengah terbuka, Thea menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia terlampau malu mengumbar kesedihan pada orang selain Genta, mengingat di dalam apartemen ini, kekasihnya itu sedang kedatangan tamu. Yang tak lain dan tak bukan adalah sepupu Genta. Thea menyembulkan kepalanya pada pintu yang setengah terbuka di kamar pribadi sang kekasih, namun ia kembali mendapati pemandangan mengejutkan. Pupil matanya melebar tatkala mendapati dua pasangan berbeda jenis kelamin sedang bertumpuk di atas ranjang kekasihnya. Pemandangan yang sama persis ia dapati ketika dirinya berada di ruang kerja ayahnya tadi. Dua laki-laki yang berbeda usia, namun dalam satu waktu ia dapati melakukan perzinahan di dalam kamar. Thea membekap mulutnya rapat-rapat, air matanya kembali meluruh, luka hatinya yang belum mengering kini semakin basah. Ia kembali merasakan mual dan ingin muntah melihat persetubuhan yang dilakukan kekasihnya bersama wanita yang selama ini ia kenal sebagai sepupu sang kekasih. Tanpa membuang banyak waktu, Thea memutuskan keluar dari apartemen terkutuk itu tanpa disadari oleh dua orang yang tengah bergulat di atas ranjang diiringi suara rintihan yang menjijikan. “Kenapa kalian tega berbuat seperti itu? Ayah, Genta … hikz, hikz ….” Thea berusaha mengusap air matanya yang tak jua berhenti turun sambil menggerakkan jarinya pada layar sentuh ponselnya. Kali ini Thea memutuskan untuk memesan jasa ojek online untuk membawanya pulang ke rumah. Kendaraan yang membuatnya lebih cepat sampai ke rumah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD