Mencari alasan untuk selalu berada di sampingmu itu seperti menunggu keajaiban datang. Selalu diharapkan tetapi jarang kejadian.
Kedua tangan Kiara tidak lepas dari gawainya. Acara di rumahnya belum juga selesai, walaupun jam di kamarnya sudah menunjuk pada angka sepuluh malam. Kemungkinan besar, keluarga besarnya akan bermalam di sini. Dan tidak menutup kemungkinan juga, kalau nanti teman-teman Gilang ikut bermalam di sini. Tetapi Kiara sudah tidak ambil pusing hal itu. Berdiam diri di dalam kamar, bukanlah hal yang buruk baginya.
Senyumnya lagi-lagi terlukis di wajah polosnya. Ia menyampirkan anak rambutnya pada telinga kirinya, kemudian kembali fokus pada gawainya.
Kalau ditanya kenapa Kiara terlihat senang malam ini, jawabannya hanya satu. Karena, Sami sedari tadi mengiriminya pesan. Berawal dari menanyakan tugas, berakhir dengan mengirim pesan yang membuat satu sama lain merasa nyaman berada di obrolan itu.
Dan lagi, apabila ditanya, apa kabar perasaan Kiara pada Sami?
Jawabannya, masih sama. Masih menyukai lelaki itu dalam diam. Perasaan yang berawal dari kekesalan, berubah menjadi kenyamanan, dan berakhir pada dirinya yang jatuh akan kenyamanan itu.
Sami : Sabtu sama Minggu depan kosong gak?
Melihat pesan masuk dari yang namanya Sami saja Kiara sudah senang tidak kepalang, ditambah lagi dengan pertanyaan jadwal seperti ini. Otak Kiara jelas sudah berpikir kemana-mana. Apa Sami ingin mengajaknya kencan? Atau nonton film? Atau makan di restoran?
Kosong.
Sami : Mau ikut ke Bandung gak? Sama temen-temen gue.
Untuk yang kali ini, maaf Kiara sudah tidak bisa menahan teriakannya. Terkejut bercampur senang membuat Kiara jelas mengeluarkan reakinya.
"Astaga, Rara! Sadar!" Kiara mengingatkan dirinya sendiri. Ia kembali mengambil gawainya yang sempat terlempar karena reaksi kesenangannya itu, dan tersenyum lebar melihat pesan Sami.
Mungkin, bila dirinya tidak ada perasaan dengan Sami, sesuatu seperti ini wajar. Tetapi karena masalahnya sudah beda, maka sesuatu seperti ini sangat tidak wajar bagi Kiara.
Yang pasti, Kiara harus tetap berpikir dengan tenang. Takut-takut kesenangannya itu malah membawa petaka baginya nanti.
Kenapa gue?
Sami : Karena gue pikir lo bakal suka acara beginian. Bukan lo doang ceweknya.
Sabar, mikir dulu.
Sami : Gak mau juga gapapa. Gue gak maksa, si Ben yang maksa.
Kiara melotot. Ini Sami maunya apa sih? Menerbangkannya ke atas langit, tetapi kemudian menjatuhkannya ke dasar lautan.
Lo niat ga sih ngajak gue!?
Sami : Santai dong... niat kok. Cuma gak maksa.
Sudahlah, Kiara tidak mengerti apa isi pikiran Sami. Jadi, lebih baik bersikap normal saja.
Siapa aja cewek yang ikut?
Tidak seperti sebelumnya. Kali ini Kiara harus menatap lama layar gawainya untuk menunggu balasan pesan dari Sami. Mungkin cowok itu sedang memastikan jawaban untuk pertanyaannya.
Sami : Yang pasti gak ada Araya.
Senyuman tipis kembali menghias wajah Kiara. Sifat Sami adalah dia yang tidak pernah peduli. Tetapi akhir-akhir ini, cowok itu semakin memperlihatkan kepeduliannya pada Kiara.
Percayalah, Kiara tidak sedang geer. Tetapi, kenyataannya sepertinya memang begitu. Walau masih sepertinya, entah hal apa yang membuat Kiara yakin dengan hal itu.
Naik apa?
Sami : Touring motor.
Astagfirullah!
Lo mau buat p****t gue tepos!?
Bayangkan saja, Jakarta-Bandung, naik motor? Astaga, apa perlu Kiara mengeluarkan mobilnya hanya untuk Sami pakai ke Bandung?
Sami : Jadi mau ikut gak?
Pertanyaan bodoh bagi Kiara. Kalau Sami mengetahui perasaannya, pasti cowok itu juga akan merasa bodoh karena memberikan pertanyaan itu.
Sejauh ini, yang Kiara tahu, di saat ada orang yang sedang kamu sukai, kamu akan selalu berusaha berada di dekatnya. Maka jawabannya jelas...
Ya maulah!
Karena saat ini, Kiara masih ingin terus mencari alasan untuk berada di samping Sami, cowok jahat, yang sedang baik akhir-akhir ini.
...
Kedua mata Kiara sempat menatap tak lepas pada Sami yang masih menggendong tasnya itu. Jam tangannya masih menunjukkan angka enam lewat lima belas menit, tetapi cowok yang biasanya datang lima menit sebelum bel itu sudah berada di dalam kelas dan sedang berjalan mengarahnya.
Setelah melihat kebiasaan Sami yang selalu duduk di sampingnya, membuat Kiara jadi bingung sendiri. Dan yang ia harapkan, kebingungannya tidak berakhir pada dirinya yang salah tingkah.
Mulai hari ini, Kiara menetapkan, ia tidak boleh lebih dulu mengajak Sami berbicara, kapanpun itu. Semoga saja ia selalu ingat akan hal itu. Walau sebenarnya, Kiara jelas ingin selalu berbicara dengan cowok itu. Hanya saja, ia takut perasaannya akan menjadi dalam pada Sami. Kan sampai saat ini, ia juga tidak tahu perasaan cowok itu padanya bagaimana, ia tidak mau sakit hati.
"Ra."
Kiara tersenyum tipis, kemudian menoleh pada Sami. Sepertinya cowok itu bisa membaca pikirannya, sampai-sampai Sami mau memanggil Kiara terlebih dahulu.
"Kok lo kemarin gak turun?"
Kiara mengerutkan dahinya sembari menampilkn senyumannya. Ia tidak salah dengar bukan?
"Maksud lo?" tanyanya untuk penjelasan lebih lanjut dan menyamarkan rasa terkejutnya.
Gantian, Sami yang tersenyum. Kemudian, cowok itu mengambil gawainya di saku celana, dan memakai alat penutup telinga yang menyalurkan suara ke telinganya itu.
Meskipun Sami sudah tidak menatapnya, bahkan sudah tidak memberi tanda akan melanjutkan pembicaraan, Kiara masih tetap memandang penasaran cowok itu. Ia belum juga mendapatkan maksud dari pertanyaan cowok itu tadi, meski ia sudah jelas tahu apa topik barusan.
"Rara!"
Kiara menoleh, menatap pada Asya yang baru saja muncul dari pintu kelas. Cewek itu menatapnya polos, kemudian melempar tatapan polosnya pada Kiara.
"Daffa nyariin di depan gerbang."
Kiara menautkan kedua alisnya bingung. "Daffa?" tanyanya memastikan. Untuk apa ia datang sepagi ini?
Asya mengangguk. "Katanya, kalau ketemu Ben, suruh ikut juga."
"Hah?" Kiara makin tidak mengerti.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi pagi ini? Kenapa semua orang tiba-tiba aneh sekali?
Sami yang berkata tidak jelas padanya, dilanjut dengan Daffa yang datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Padahal sampai saat ini, Kiara masih mempunyai paket data, kenapa temannya itu tidak memilih untuk menelfonnya atau mengiriminya pesan saja. Kenapa harus repot sekali?
Tidak mau berpikir lebih panjang, Kiara lebih dulu menghubungi Ben. Rasanya aneh saja kalau Daffa memintanya datang membawa Ben. Secara, kedua orang itu adalah musuh bubuyutan, seperti Gilang dan Daffa.
Kiara berdecak, cowok bernama Ben itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Jahatnya cowok itu. Bila dibutuhkan selalu hilang.
"Kenapa?"
Kiara menoleh pada Sami dan menatapnya dengan tatapan bingung. Bukan bingung seperti sebelumnya, tetapi bingung harus menjawab apa. Tetapi kemudian Kiara menggeleng.
"Bennya gak bisa ditelfon?"
Kiara terkejut. Bagaimana Sami tahu? Apa sedari tadi cowok itu mendengar pembicaraannya dengan Asya? Tetapi, sedari tadi Sami jelas menggunakan headset, lalu bagaimana cowok itu masih mendengar suara dari luar?
"Ayo sama gue."
Setelahnya, Sami bangkit berdiri, meninggalkan Kiara yang masih bingung dengan apa yang dilakukan Sami saat ini.
Yang pasti, untuk entah keberapa kalinya, Kiara merasa Sami begitu peduli padanya.