KENYATAAN

2162 Words
Bahagiaku itu sederhana. Cukup melihat senyummu walau alasannya bukan aku. Daffa melirik sinis ke arah Sami yang masih setia berdiri tidak jauh darinya dengan Kiara. Dalam hal ini, Daffa jelas tidak bisa disalahkan. Ia meminta Ben yang datang, bukan Sami. Jadi, tidak masalah bukan, kalau ia meminta Sami menjaga jarak sebentar dengannya dan Kiara? Tidak jauh berbeda dengan dirinya, cowok yang masih memakai jaket hitam itu juga sedang menatapnya. Bisa diartikan oleh Daffa, itu adalah tatapan tajam yang menandakan ketidaksukaan Sami padanya. Kalau begini, ia jadi heran, sudah terang tidak suka padanya, mengapa pula Sami malah mengantarkan Kiara padanya? Kenapa cowok itu tidak duduk manis saja di kelasnya. "Kenapa?" Kiara bertanya untuk kesekian kalinya. Bila diingat, sejak lima menit lalu Kiara berdiri di depan gerbang itu, Daffa belum juga memberi alasan mengapa cowok itu berada di sekolahnya. Seragam Daffa yang memberitahu secara jelas ia anak Panca, membuat banyak orang yang melempari tatapan tidak suka padanya. "Gak kenapa-napa." Daffa membalas dengan santainya, kemudian tersenyum menatap pada Kiara. "Kangen aja sama lo tiba-tiba," lanjutnya, dengan senyumannya yang lebih lebar. Kiara mendengus. "Emang gue sebego itu, sampai percaya sama apa yang lo omongin!?" Kiara sewot. Mendengar jawaban kesal Kiara, Daffa tertawa. Tawa yang membuat Sami di tempatnya bertanya-tanya, apa yang sedang dibicarakan kedua orang di sana. Lagi pula, kenapa juga sih ia mau menemani Kiara? Bahkan, setelah diusir pun, ia tetap memilih menunggu Kiara di tempatnya sekarang. "Sebenernya Araya yang minta gue ke sini sih," ujar Daffa, kemudian menempelkan dagunya pada helm yang berada di atas tangki motornya itu. "Mau nolak..." Daffa menggantungkan ucapannya, kemudian menatap lurus ke depan. "Tapi gak bisa." "Geli banget deh, Daf." Kiara memprotes lebih dulu. "Terus, sejak kapan lo temenan sama Ben?" Daffa kembali menegakkan badannya, kemudian menggeleng cepat. "Siapa yang temenan!" "Ya, lo ngapain nyariin dia?" Daffa terdiam, tetapi kedua matanya tak lepas menatap pada Kiara yang melakukan hal sama padanya. "Ada yang mau gue omongin. Tapi gak ada Ben. Gue takut lo jadi takut sendiri." Kiara mendelik. Masih pagi, tetapi sudah dua orang yang membuatnya pusing dan heran sendiri akan kalimat-kalimat yang dikeluarkan dua cowok aneh itu. Sepintar apapun Kiara, ia tetap bukan seorang peramal, ataupun seorang pemecah teka-teki. Mana mungkin Kiara dapat berpikir cepat untuk kalimat-kalkmat aneh seperti saat ini. "Ya terus, kalau Bennya gak ada, lo mau ngapain sekarang?" Kiara bertanya dengan nadanya yang malas itu. Daffa tersenyum. "Mau ngeliat lo aja. Kali aja lo bisa jadi penyemangat gue hari ini," balasnya dengan senyuman jahilnya. Kiara berdecak. "Gue liat-liat abis sakit hati, lo jadi makin aneh, Daf." "Ya udah, gue cabut deh. Lo juga bentar lagi masuk." Daffa berujar. "Ben gimana?" Daffa menggeleng dengan senyuman. "Gak penting kok." "Gak penting, tapi lo kesini!" "Karena emang mau ketemu lo doang!" "Yang minta lo dateng 'kan Araya! Kok, jadi gue alasannya?" Daffa tersenyum. Kemudian cowok itu memakai kembali helmnya. "Ya, karena emang lo doang alasannya." Ia menyalakan mesin motornya, kemudian melirik pada Sami yang masih menatap padanya. Bahkan, sedari tadi cowok itu tetap memperhatikannya dengan Kiara. "Gue cabut ya. Kasian cowok lo nungguin," ujar Daffa pelan. Di balik helmnya, Daffa jelas lagi-lagi tersenyum. Sepertinya, pagi ini kata hatinya benar, menemui Kiara adalah semangat baru untuk kehidupannya, semangat baru untuk dirinya memulai hari yang sudah masam sebelumnya. "Hati-hati." Setelah motor dua silinder yang dikendarai Daffa hilang dari hadapannya, barulah Kiara kembali menghampiri Sami yang sudah menatapnya tajam. "Lama banget!" cibir Sami, kemudian berjalan lebih dulu. Membiarkan Kiara yang melotot tidak terima atas ucapan lelaki itu. Tetapi, tidak lama bagi Kiara untuk memberi tatapan galaknya pada Sami, karena kemudian cewek itu ikut menyamai langkahnya dengan Sami. "Siapa yang suruh lo nunggu di situ!" Kiara membalas dengan nadanya yang masih tidak terima dengan cibiran Sami barusan. Sami memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Gak ada." Sami membala dengan santainya, sembari kedua matanya yang menatap lurus ke depan. "Teru—" "Takut lo diapa-apain sama Daffa." "Hah!?" Kiara bereaksi. "Daffa sahabat gue! Mana mungkin jahatin sih!?" lanjutnya, yang lagi-lagi tidak terima dengan ucapan Sami. Sami berdecak. Cowok itu menatap kesal pada Kiara yang selalu saja susah untuk menerima pendapat ataupun nasehat darinya itu. "Namanya cowok, gak bisa diprediksi pikirannya," balasnya tenang. "Lo juga cowok." Kiara menyahut. Kemudian ia menatap was-was pada Sami. "Berarti lo juga gak bisa diprediksi pikirannya. Lo mau ngapa-ngapain gue ya!?" Sami tertawa sinis. Ia melirik Kiara yang masih memberinya tatapan menuduh itu. "Cewek kayak lo emang bisa diapain?" Kiara diam untuk sesaat, berpikir untuk menjawab pertanyaan dari Sami. "Emang gue kenapa, gak menarik?" tanyanya polos, dengan kedua matanya yang memperhatikan penampilannya saat ini. Sami berdesis. "Bukan itu lah! Aneh lo!" Setelahnya, Sami kembali mempercepat langkahnya. Pagi ini ia sudah dibuat lelah, karena harus menghadapi Kiara yang aneh sekali baginya kali ini. Tetapi sebentar, ini yang aneh Sami apa Kiara? "IH!" Tidak ada balasan dari Sami. Cowok itu masih jalan dengan santai, tidak peduli pada Kiara yang sudah berkali-kali memprotes akan ucapannya yang tidak jelas tadi. "Apa sih, Sam? Kenapa? Gue aneh? Gue gak menarik?" Kiara kembali melemparkan banyak pertanyaan, hanya untuk mendapat jawaban pasti dari Sami akan kalimat cowok itu sebelumnya. Tetapi Sami tetaplah Sami, kalau sudah malas, ya tidak mau diganggu lagi. Berbeda dengan Sami yang sudah bodo amat dengan hal barusan. Kiara masih terus mencoba mencari kekurangan dalam dirinya, mulai dari ia yang berpikir tentang sikapnya, juga ia yang selalu berusaha mengaca, setiap melewati kaca. Tidak ada yang aneh, itu baginya. "Sami, ih!" Kiara kembali menggerutu, ketika ia melihat Sami sudah menaiki anak tangga, sementara dirinya ditinggal mengaca seorang diri di depan lemari kaca berisi ratusan piala milik SMA Angkasa itu. Kiara berlari, kembali berusaha menyamai langkah Sami. "Ya udah, lo 'kan gak mau ngasih tau. Berarti gue gak usah dengerin lo kali ya?" ucapnya yang terlihat seperti berbicara untuk diri sendiri, tetapi jelas menyinggung Sami. "Pulang enaknya main sama Daffa kemana ya?" Kiara kembali bersuara. Sami berdecak. "Ngapain sih deket-deket mulu sama dia?" Melihat reaksi Sami yang tiba-tiba menatapnya, dan seolah mengakui kehadirannya lagi, membuat Kiara tertawa. "Nih ya Sam, Daffa tuh baik. Apa lagi sama gue! Ba—" Sami kembali melempar tatapan tajamnya pada Kiara, membuat cewek itu langsung menutup rapat mulutnya, antara ingin tertawa dan takut untuk melanjutkan kalimatnya. "Denger ya Ra, gue itu udah dipercayain sama Abang lo buat jaga lo. Ikutin gue aja sih!" Seakan sadar dengan apa yang baru diucapkannya, Sami langsung menutup rapat bibirnya. Cowok itu menyempatkan diri, menatap pada Kiara yang memberi tatapan terkejut padanya. Bagus, akibat kebawelan Kiara pagi ini, ia jadi keceplosan. Tidak mau berlama-lama menatap Kiara. Sami memilih bersikap tidak peduli. Cowok itu kembali berjalan, membelakangi Kiara yang memperhatikan kepergiannya dengan tatapan tidak biasanya. Tatapan kaget sekaligus tidak percaya, itulah yang Sami dapat. "SAMI!" Sami menghela napasnya kasar. Kiara sudah berdiri tapat di hadapannya, memberinya tatapan tajam seolah meminta penjelasan. "Minggir!" pinta Sami dengan nada tenangnya. "Lo tau dari mana gue punya Abang?" Kiara bertanya penuh selidik. Tetapi yang didapati cewek itu, hanya bahu Sami yang terangkat. Kiara kemudian tersenyum lebar. "Ah iya, lo pasti boongin gue 'kan!?" "Enggak." Seandainya Sami tidak menjawab seperti itu, Kiara sudah pasti mengeluarkan tawanya. Tetapi berhubung Sami melakukan hal sebaliknya, Kiara rasa bahunya sudah benar-benar tidak bertenaga. ... "Ya lo-nya aja yang b**o! Masa iya gue gak bakal sadar, rumah lo sama Gilang sama!" Kiara mendengus kasar. Ia melupakan kenyataan, kalau dulu Sami pernah mengantarnya pulang. Ia juga melupakan, di akhir namanya masih ada kata Anandita, yang membuat Sami semakin yakin siapa Kiara. Meskipun ada niatan untuk beralibi lagi, Kiara rasa sudah tidak mungkin membohongi Sami. "Lo-nya aja kepo!" Kiara mencibir. "Bagian mana keponya?" Kiara melirik kesal pada Sami. "Lo ngapain cari tahu tentang gue!?" "Dih, apaan sih?" Sami tidak terima. "Udah gue bilang, lo yang b**o! Udah tau gue temenan sama Gilang, masih juga minta dianterin pulang! Ya taulah gue jadinya!" Kiara mendengus. Ia kembali menyedot gelas kopinya, kemudian melempar tatapan pada jalanan yang sedang diguyur air hujan itu. Sepulang sekolah tadi, Sami sengaja mengajak Kiara pergi. Was-was kalau cewek itu akan pergi kembali dengan Daffa. Sami tidak cemburu, sepertinya. Tetapi semua kelakuan Daffa di otaknya selalu jahat, jelas hal itu membuatnya takut Kiara akan menjadi mangsa Daffa selanjutnya. "Sebenernya, Gilang juga ngaku sih kemarin." Kiara membulatkan kedua matanya sempurna. Kenapa ceritanya di Angkasa berakhir seperti ini? Maksudnya, ia belum memberi suatu perubahan pada Angkasa, kenapa semuanya sudah berjalan di luar dugaannya? "Dia takut Araya ngapa-ngapain lo." Sami kembali berujar. Kiara menghela napasnya, kemudian menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa kafe itu. Jadi, selama ini sia-sia? Bertengkar dengan Araya, tetapi tidak mengalahkan Gilang. Bahkan sekarang, Gilang sedang membantunya. Ya memang sih, Kiara sadar musuhnya adalah Araya. Tetapi, tujuannya mengalahkan senioritas di Angkasa yang dipimpin Gilang saat ini, jelas sudah pupus. Pasti bila terjadi pun, orang akan berpikir, Gilang mengalah bukan kalah. Kiara tidak suka dengan pemikiran itu. "Siapa aja yang tau?" Kiara bertanya memastikan. Sami terdiam, memikirkan berapa banyak temannya yang kemarin ikut membicarakan hal ini. "Banyak," jawabnya tak berdosa. "Astaga!" "Gak sih," potong Sami. "Mungkin sepuluh kali ya?" balasnya tak pasti. "Tapi intinya, Gilang gak mau siswa lain tau lo siapa. Takutnya lo ikutan sok berkuasa." "Siapa yang ngomong gitu!?" Kiara ngegas. "Gilang." Kiara mendengus. Mana ada tujuan seperti itu di buku petunjuk hidupnya. Gilang itu bisa saja membuat alasan. "Yang pasti, kita dikasih tau Gilang. Buat bantu jaga lo, karena musuh lo lagi banyak." "Gue bisa jaga diri." Sami tertawa kecil. "Ngelawan Araya sama temen-temennya aja kalah!" Sami mencibir. Kiara menatap tajam pada Sami yang berani-beraninya meledeknya saat ini. "Ya ramean! Kemarin sendiri, abis juga dia sama gue!" balasnya kesal. "Terakhir, Ra." Sami kembali berujar, membuat perhatian Kiara kembali mengarah padanya. "Jauhin Daffa." Selalu itu. Tidak Gilang, tidak Sami. Sepertinya isi otak mereka mengenai Kiara, hanyalah Daffa. Padahal hampir lima tahun mengenal Daffa, Kiara yakin seratus persen, tidak pernah ada satu pun perlakuan cowok itu yang melukainya. Baik fisik ataupun yang non-fisik. Cowok itu benar-benar menjaganya. Menggantikan Gilang di saat Abangnya itu tidak bersamanya. Kalau seperti ini terus, Kiara jadi penasaran, apa masalah Angkasa dan Panca. Apa masalah Gilang dan Daffa? Apa masalah Ben dan Daffa? Apa masalah Sami dan Daffa? Kenapa semua orang membenci Daffa? "Dia sahabat gue." Kiara kembali menolak secara halus. "Dia gak baik." Kiara menatap kesal pada Sami. "Sam, sahabatan itu harus bisa menerima baik atau buruknya! Masa temenan, maunya yang baik-baik doang!" "Iya, ngerti. Tapi, ini beda." "Semakin lo ngelarang gue, semakin gue akan ngedeket ke dia, Sam. Gak ada yang bisa ngebuat gue ninggalin dia. Gue juga gak akan bisa nemuin orang kayak dia lagi, dia gak bisa digantiin siapa-siapa." Sami berdecak. "Emang dia ngapain, sampai gak bisa digantiin?" tanyanya, yang terdengar seperti sebuah ledekan bagi Kiara. Kiara tersenyum. Ia memegang kopinya dan menaruh pandangannya ke sana. "Dia baik. Dia selalu ada. Dia nemenin gue kalau sedih. Padahal gue jarang nemenin dia, kalau dia lagi susah. Dia bisa diajak cabut kapan aja. Dia mau ninggalin temennya demi gue. Dia ngejaga gue sebisa dia. Dia selalu menghargai gue." Kedua mata Kiara beralih menatap Sami yang juga sedang menatapnya, memperhatikan bagimana ketulusannya saat berbicara. Kiara tidak bohong. Tidak ada satu pun kalimat di sana yang tidak terjadi. Semua itu selalu terjadi di antaranya dengan Daffa. "Gak ada yang bisa gantiin ketulusan dia ke gue," lanjutnya, kemudian tersenyum tipis. Sami terdiam, kembali memperhatikan betapa bangga dan bahagianya Kiara saat menceritakan Daffa padanya. Melihat Kiara yang begitu yakin, membuat keyakinan Sami yang goyah. Seumur hidup ia mengenal nama Daffa, baru kali ini, ia mendengar ada orang yang memuji cowok itu setulus Kiara. "Gue bisa gantiin dia." Sami berucap tenang. "Gue bisa jadi dia." Ucapan Sami jelas membuat Kiara terkejut. Cowok itu membalas ucapannya dengan tenang. Berbeda dengannya yang terdiam sesaat, untuk mencerna ucapan Sami. Kenapa Sami aneh sekali? Kenapa cowok itu menunjukkan sikapnya yang tidak biasa? "Lo kayak orang cemburu, Sam." Kiara membalas diselingi tawanya. Sami ikut tertawa kecil. "Tapi gue enggak," akunya. "Gue cuma pengen ngejauhin lo dari dia." Kiara menggeleng. "Apa yang diliat lo ke Daffa, dengan apa yang gue liat ke Daffa itu beda, Sam."  "Kok Gilang tahan ya, punya adik bengal kayak lo? Susah banget dibilangin!" Sami mendengus. Mendengar nada kesal yang tersirat dalam kalimat Sami, membuat Kiara tersenyum tipis. "Lo kok tahan temenan sama gue? Padahal gue susah dibilangin!" Kiara berujar. "Hubungan darah, gak akan bisa hilang. Tapi hubungan pertemanan, masih bisa." "Lo gak mau temenan lagi sama gue?" Sami kembali membalas dengan suara tenangnya, tetapi tersirat nada tidak terima di ucapannya. Kiara tertawa. "Lo yang mulai, lo yang baper!" Sami ikut tertawa. Ia mengambil gelas kopinya dan menyedotnya untuk waktu yang cukup lama. Pikirannya kembali melayang, memikirkan tentang Kiara dan Daffa. Tetapi sepatah apapun keyakinannya tentang kejahatan Daffa, Sami tetap tidak bisa membuka dirinya untuk berteman dengan Daffa. Karena pada kenyataanya, hanya Kiara lah yang tidak benar di sini. Cewek yang terang-terangan berteman dengan Daffa di saat larangan benar-benar di hadapannya. Kiara, cewek bengal yang benar-benar tidak peduli dengan aturan Angkasa. Cewek yang selalu punya cara sendiri untuk menghibur dirinya. Bukan dengan sebuah gosip bersama teman, melainkan sebuah perang bersama lawan. Sami kembali menatap pada Kiara yang sudah fokus pada gawainya. "Lo serius, Ra, Daffa gak boleh gue gantiin?" Entah itu pertanyaan serius atau hanya sebuah candaan, tetapi yang Kiara terima adalah Sami serius dalam ucapannya. Kiara tersenyum tipis, kemudian menaruh gawainya di atas meja. Ia menggeleng. "Gak mau nyoba dulu?" Sami benar-benar aneh hari ini. Itu bagi Kiara. Kiara menggeleng. Lagi. "Kenapa?" Karena untuk jadi diri lo sendiri aja gue udah jatuh, Sam. Apa lagi lo memperlakukan gue, seperti Daffa memperlakukan gue, bisa gak ketolong jantung gue! batinnya menjawab cepat. "Karena gak ada yang bisa gantiin dia." Itulah jawaban yang keluar dari bibir Kiara. Jawaban yang sebenarnya bisa saja tidak terjadi. Tetapi hatinya jauh lebih percaya, hal itu bisa terjadi. Karena, rasa percayanya pada Daffa sudah tidak bisa didefinisikan oleh kata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD