PENGANGGU MALAM

1656 Words
Ada kebaikan yang tak terlihat dan ada kejahtan yang terlihat. Tangan kanan Kiara masih memegang sendok makan, dan tangan kirinya masih memegang kotak es krim pertamanya malam ini. Kedua matanya tidak lepas menatap pada tokoh-tokoh lucu yang berada di televisi ruang keluarga itu. Aneh bukan? Seharusnya remaja sepertinya lebih banyak menghabiskan waktu di luar, seperti yang dilakukan Gilang selama ini. Tetapi entah kenapa, Kiara merasa malas saja untuk keluar di malam hari. Bukankah Kiara termasuk dalam anak baik-baik? Ia memperhatikan jam di dinding ruang keluarga, sudah jam sebelas malam, tetapi Gilang belum juga menampilkan batang hidungnya. Padahal Kiara ingin tahu, apa Abangnya itu akan marah padanya atau tidak, setelah ia melakukan hal buruk pada Araya. Tidak sih, tidak buruk juga baginya. Bersamaan dengan otaknya yang sedang bertanya-tanya dimana Abangnya itu, lelaki dengan balutan kaos hitam dan celana pendek di atas lutut persis memasuki ruang keluarga dan berjalan mendekatinya. Kiara menautkan kedua alisnya bingung. Kenapa malah Ben yang muncul? Kan yang ia tunggu itu Gilang. "Ngapain?" Kiara bertanya, dengan tatapan herannya. Ben menjatuhkan dirinya untuk duduk di sofa nyaman milik sepupunya itu. Ia kemudian mendesah. "Gilang gak mau disuruh pulang. Tarik Gilang gih!" "Jih, kenapa aku?" Kiara bersuara tidak terima. Ia kembali menatap pada televisi di ruang keluarga, membiarkan Ben yang juga kembali sibuk dengan ponselnya. Ben berdecak. "Mabok si Gilang!" Di saat Ben berpikir Kiara akan panik dan bergerak, ternyata cewek itu hanya mengangguk singkat. Bahkan, dari yang Ben perhatikan, Kiara seperti tidak peduli dengan hal itu. "Ra!" Ben kembali bersuara. Kiara menoleh, dan bertanya dengan gerakan matanya 'apa' kepada Ben. "Ayo!" Ben kembali mengajak. "Enggak." Kiara menolak tanpa perlu berpikir. Kiara jelas tahu, dimana Gilang sekarang, setelah Ben mencak-mencak padanya. Tetapi jangan berharap Kiara mau diajak cowok itu. Kiara itu anti sekali dengan tempat-tempat seperti itu. Meskipun dalam keadaan mengancam pun, Kiara akan memilih untuk membayar orang masuk ke dalam sana, dibanding dirinya. Bersama Ben tidak berarti menutup kemungkinan cowok itu tidak akan menjebaknya. Karena yang membuat Kiara malas masuk ke tempat-tempat seperti itu juga, ya Gilang dan Ben. Dua cowok yang menjebaknya semasa SMP hanya untuk mengetahui rahasianya, dengan membuat ia mabuk. Tidak, Kiara tidak mau hal itu terjadi lagi. "Ayo!" Ben tidak menyerah. "Ajak Rayn aja." Kiara berusul dengan tenang. Matanya tetap fokus pada televisi. Ben berdecak. "Rayn udah di sana! Ada Sami, Aldy, Aldo juga, banyak lah!" Kiara mengangguk. "Nah, itu kan ada empat orang. Masa bawa pulang doang gak bisa!" "Ini kalau gak gara-gara kamu. Gilang gak bakal gini, Ra!" Suara Ben yang tenang namun terdengar tajam itu membuat Kiara menoleh padanya. "Emang aku ngapain!?" tanyanya tidak terima. "i********: kamu—" "i********: aku ke-hack." Ben diam. Apa ini artinya, Kiara juga tidak tahu apa yang terjadi? "Ya udah! Ayo, ih! Bawa Gilang balik dulu!" Ben kembali memohon. Kiara berdesis. "Bang Ben pengen jebak aku lagi ya!?" tebaknya lebih dulu. "Aku gak punya rahasia, Bang!" "Jih! Pengen banget! Orang aku seriusan ngajak!" "Ya kan ada Rayn, Sami, dan kawan-kawan! Ngapain aku ke sana!?" Ben menghela napasnya kesal. "Masalahnya yang gak mabok Rayn doang. Masa iya aku sama Rayn suruh muter-muter Jakarta cuma buat nganterin anak orang satu-satu!" "Nah, itu ide bagus!" Ya Tuhan! Rasanya Ben ingin mengubur Kiara hidup-hidup bila tidak mengingat siapa cewek itu. Bukannya membantu, malah bersikap acuh tak acuh, membuatnya tambah pusing. "Suruh Araya bawa balik aja sih! Emang tuh cewek gak bisa nyetir? Cupu amat!" "Kamu seriusan gak tau?" Ben bertanya memastikan, dan dengan polosnya Kiara menggeleng. Baik, Ben menyimpulkan Kiara memang tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi antara Gilang dan Araya. Tetapi siapa orang yang mengambil alih akun sosial medianya secara paksa? Jadi sepertinya, lebih baik Ben memberikan Kiara ponselnya, supaya sepupunya itu mengerti apa maksudnya sedari tadi. "Nih!" Ben mengulurkan ponselnya, memaksa Kiara untuk melihat ke benda itu. "Kesebar tadi siang, dari akun kamu." Yang Ben pikirkan adalah Kiara akan terkejut. Tetapi lagi-lagi prediksinya salah. Karena Kiara malah tersenyum kemudian tertawa. Tidak ada yang lucu menurut Ben, lalu kenapa Kiara tertawa? "Pantes aja dia marah sama aku!" Kiara berujar dengan tawanya yang mulai berhenti. Ben menautkan kedua alisnya bingung. "Maksudnya?" Kiara menoleh dan menatap Ben sekilas. "Tadi Araya nyerang aku pas sekolah. Sendirian. Dia gak tau, aku kalau sendirian bisa gila." "KAMU APAIN!?" Ben bereaksi berlebihan. "Santai!" Kiara memperingati. "Cuma main-main doang. Itung-itung balesan Jumat lalu." "Ra, gilanya kamu tahan dulu deh. Ini Araya yang kamu lawan! Bisa seangkatan ngedukung dia!" "Emang aku udah gila?" Kiara bertanya tanpa melihat pada Ben. "Ya Tuhan Rara! Itu luka hasil dikeroyok aja masih ada, kamu mau nambah lagi?" Ben bertanya sinis. "Seru, Bang!" Ben mendesah. Memang Kiara itu edisi langka. Punya sifat langka, sekaligus hati yang tidak bisa ditebak. Kadang baik, kadang jahat, kadang perhatian, kadan bodo amat, ya yang pasti sesuai moodnya saja. "Jangan cari masalah, Ra!" Kiara mengangguk, kemudian melemparkan tatapannya pada Ben dan tersenyum. "Udah terlanjur. Jadi tinggal dilanjut, dan tunggu hasil." "Araya bukan lawan kamu—" "Emang bukan," potong Kiara lebih dulu. "Cuma karena dia pengaruh buruk buat Bang Gilang, aku gak mau dia deket-deket sama Abang." "Gilang sayang banget sama dia." Kiara mengangguk lagi. Ia kembali menatap pada televisi dan memperhatikannya untuk beberapa saat. "Tapi, Araya enggak." Ingatan Kiara tentang Araya yang berengsek, karena mengambil dua hati dalam satu waktu jelas selalu menyangkut di dalam otaknya. Berani-beraninya cewek itu mempermainkan sahabat juga Abangnya dalam satu waktu. "Apa yang ngebuat senioritas ada di Angkasa?" Kiara bertanya setelah lama terdiam. Otaknya seketika mengingat peran apa yang Ben ambil di Angakasa. Peran yang seharusnya membuat Ben tahu lebih dalam tentang Angkasa. "Ada." Ben menjawab singkat. "Yang pasti, setiap kejadian selalu ada sebab dan akibat." Kiara mengangguk samar. "Tapi Gilang kalau di rumah gak pernah jahat. Dia baik di lingkungan rumahnya. Kenapa dia jahat di sekolah?" "Araya ikut campur segala urusan tentang Gilang. Makanya Gilang beda." "Berarti akar masalahnya cuma Araya dong!" Kiara bersuara setelah menyadarinya. Musuhnya di Angkasa selama ini bukan Gilang, bahkan tidak akan menjadi Gilang. Jadi selama ini, ia sudah berhadapan dengan orang yang tepat. "Udah ah! Ayo jemput Gilang!" Ben kembali ke topik. Kiara tersenyum. "Lo aja sama keluarga lo!" balasnya dengan nada menyebalkan, bahkan ia pun sadar telah mengubah kata kamu menjadi lo. "Emang lo siapa gue?" "Pembantu lo!" Ben mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pembantu gue, udah gue anggep keluarga sih," balasnya dengan senyuman jahil. "Enggak deh, gue tukang sampah komplek!" Ben mengangguk semangat. "Pantes bau dari tadi." "s****n!" ... Kiara mendesah. Ia pikir Ben akan mengajaknya datang bersamaan ke kelab malam itu. Taunya, cowok itu malah memintanya untuk mengeluarkan mobilnya dan jalan sendiri yang alias mengekori Ben dari belakang. Selain tidak mau menolong, jujur salah satu penyebab lain yang membuat Kiara malas keluar malam adalah macetnya kota Jakarta. Ia paling menghindari yang namanua menyetir di tengah kemacetan, kakinya bisa mati rasa hnya karena terlalu lama diam. Parkiran kelab itu bisa dibilang cukup ramai. Karena katanya, semakin malam semakin ramai. Kiara tidak tahu-menahu hal itu, itu hanya katanya. "Ayo!" Ben yang sudah turun dari mobilnya mengajaknya kembali. Bukannya menurut, Kiara malah menyenderkan tubuhnya pasa mobil putih miliknya, ia menggeleng dengan senyum lebarnya. "Rara gak mau ketipu sama Bang Ben! Jadi, aku nunggu di sini aja!" Kiara membalas dengan kekehannya. Melihat bagaimana Kiara yang tidak menunjukkan sikap pedulinya sama sekali membuat Ben berdecak. Kapan sih Kiara bisa dengar-dengaran? Sekali saja! Bahkan untuk sekalin sepertinya Ben harus menunggu satu dekade. "Cepet gak!?" tajam Ben yang lagi-lagi dibalas gelengan pasti Kiara. "Tidak semudah itu Ferguso!" Ben berdesis, bahkan ia merasakan gigi-ginya beradu hanya karena tidak tahan berhadapan dengan Kiara. "Ra! Ini di dalem Abang kamu mabok berat! Temen kamu mabok berat! Tolongin bentar elah!" Seakan tidak mendengar apa-apa, Kiara malah memperhatikan kuku-kukunya. Anggap saja suara Ben barusan adalah angin lalu. "Ya Tuhan!" Ben gemas sendiri. Tidak ada cara lain, selain menarik cewek itu secara paksa untuk memasuki tempat itu. Tentu perlu berdebat lagi, ditambah dengan Kiara yang malah berjalan tanpa arah yang membuat Ben kembali berdesis. Yang mabuk teman-temannya dan ada di dalam, tetapi kenapa ia seperti sedang berusaha mengendalikan orang mabuk juga? "Ah elah!" Kiara mengumpat ketika kakinya sudah berhasil memasuki tempat dengan suara bising itu akibat dorongan paksa seorang Ben. "Liat tuh! Gue gak bohong ya!" desis Ben dengan tangannya yang menunjuk pada sati meja yang membuat Kiara terdiam sebentar. Dari tempatnya berdiri sekarang saja Kiara sudah bisa melihat bagaimana hancurnya tempat yang ditunjuk Ben sekarang. Banyaknya botol minuman di meja itu membuat Kiara mendesah. Bagaimana tidak mabuk jika botolnya saja sebanyak itu? Matanya juga menemukan seorang Rayn yang memilih duduk diam dengan tangannya yang terlipat di depan d**a. Kiara yakin, cowok itu pasti sudah malas sekali dengan keadaan seperti ini. Rayn berdesis, ketika matanya menemukan Kiara dengan balutan jaket dan celana panjangnya. Ini sebuah kelab, dan bisa-bisanya Kiara berdandan layaknya seorang mahasiswa yang sedang sibuk dengan skripsi. "Abang lo tuh urusin!" tajam Rayn tiba-tiba. Kiara menatap ngeri pada empat orang yang sudah tidak bisa dijelaskan lagi keadaannya. Wajah memerah, berbicara tidak jelas, dan menunjuk ke mana-mana. Jujur, Kiara akan jauh lebih memilih melawan Araya sekampung dibanding diminta untum mengurus orang mabuk. Tawarannya pada Daffa beberapa hari lalu juga hanyalah candaan semata. Kiara itu bisa dibilang 'agak anti' dengan tempat seperti ini. Makanya ia lebih memilih menikmati es krim di ruang keluarga dibanding keluyuran malam-malam. "Aduh! Mata gue gak salah nih?" Kedua mata Kiara beralih menatap pada Sami yang tiba-tiba bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu terduduk dengan berusaha membuka matanya yang Kiara yakinin sangat berat itu. "Rayn! Ini bidadari dari mana!?" Hah? Bukan hanya Kiara yang terkejut, Rayn dan Ben yang jelas mendengar penuturan Sami sama-sama dibuat terkejut. Selama mengenal Sami setelah kurang lebih 4 tahun, baru kali ini ia melihat Sami berbicara sengawur itu saat mabuk. "Najis!" Rayn mengumpat. Kiara mendelik. Ia melirik pada Ben yang masih setia berdiri di sampingnya. "Terus mau diapain?" "Kamu balik sama Gilang! Aku nganter yang lain sama Rayn." Kiara mengangguk. "Gak! Bidadari sama gue!" Astaga! Mabuk jenis apa sih ini? Kenapa Sami sangat jauh dari sifat aslinya? Kiara sampai merinding mendengarnya! Ben menoyor Sami, seolah menyadarkan posisi cowok itu sekarang. "Bidadari pala lo!" celetuk Ben gemas. Ia sudah dibuat pusing dengan Kiara tadi, dan sekarang Sami ikut-ikutan. "Bantuin gue kek!" Kiara memerintah pada Rayn yang malah asik dengan pikiran cowok itu. Rayn melirik sekilas, sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. Malam ini ia sudah dibuat pusing dengan kakak kelasnya, jadi lebih baik ia akhiri kegilaan malam ini. Tidak butuh waktu lama, karena keadaan Gilang yang setengah sadar namun diam saja itu cukup membantu Rayn untuk membawa cowok itu ke mobil Kiara. Melihatnya, Kiara jadi kasihan sendiri pada Gilang. Tetapi sisi lainnya juga senang, karena akhirnya Gilang mengetahui siapa Araya sebenarnya. "LOH! BIDADARI GUE KE MANA!?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD