PERDEBATAN

1093 Words
Ambil yang baik, buang yang buruk. Kalau kamu buruk, maka aku harus membuangmu. -Gilang Anandita Suasana kantin sejauh ini masih kondusif, karena belum banyak siswa yang turun untuk mengacak-acak kantin. Jalanan masih lenggang, bahkan untuk orang yang lewat pun masih bisa dihitung jari. Dari pagi, sampai sebentar lagi istirahat kedua, Gilang dan Ben masih duduk manis di atas meja kantin. Memang sebenarnya salah, seharusnya duduk di bangku, tetapi kedua lelaki itu merasa lebih nyaman untuk duduk di atas meja, jadi apa boleh buat. Nah, bagi yang bertanya apa mereka berdua saja. Jawabannya tidak. Ada Aldo juga. Sekarang lelaki itu juga ikut bergabung dengan Ben dan Gilang. Bedanya, cowok itu duduk manis di bangku kantin dengan tangannya yang tidak berhenti bermain sedotan. Kalau ditanya, apa mereka tidak bosan duduk di kantin sampai jam pelajaran sebentar lagi berakhir, jawabannya jelas tidak. Mereka malah senang bisa duduk santai seperti ini, tanpa harus mendengarkan guru-guru berbicara di depan kelas. "GILANG!" Suara lantang yang terdengar melengking itu jelas sudah bisa ditebak oleh Gilang, siapa yang baru saja menyuarakan namanya. Bila Gilang biasanya akan menoleh dengan cepat, atau bahkan merespon sebisa mungkin. Kali ini harus dimaklumi, karena ia sedang malas sekali untuk melakukan itu. Bahkan untuk niat menoleh pun tidak ada. "GILANG!" Cewek itu kembali berseru lantang, ketika ia mendapati Gilang malah diam saja dalam posisinya. Araya, cewek yang sedari tadi membuat keheningan kantin berubah menjadi kerusuhan bagi Gilang, membuat cowok itu mendesah. Ia melempar tatapan malasnya pada Araya yang sedang berjalan ke arahnya. "Kalau dipanggil itu jawab!" Araya ngomel. Ia menatap tajam pada Gilang yang malah mengambil sedotan dari botol teh miliknya, kemudian memainkannya. "Lang! Aku lagi ngomong!" Gilang menaikkan alis kanannya dan memberikan wajah tidak bersahabatnya pada Araya. "Kamu kenapa sih!?" Araya kembali bertanya dengan nada suaranya yang tidak menyukai keadaan saat ini. Ben, cowok itu juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Gilang saat ini. Melempar tatapan sinisnya pada Araya dengan sedotan yang ia mainkan di mulutnya. Dari ketiga cowok itu, hanya Aldo yang paling santai. Karena kali ini, ia memilih untuk diam. Selain tidak mengerti, ia hanya sedang malas mengeluarkan suaranya. "Jauhin Gilang dulu, Ray." Ben berujar tenang, tetapi tatapan sinisnya masih ia tampilkan. Araya melirik pada Ben yang sedang memperhatikannya. Kenapa rasanya, keadaan ini aneh sekali? "Kamu masih marah karena video itu, Lang!?" Araya seketika menyadari kesalahannya. "Astaga, Lang! Aku bilang itu video lama. Kamu gak perc—" "Enggak, gue enggak percaya." Gilang lebih dulu memotong. Dari nadanya, Gilang terdengar begitu tidak peduli, bahkan Araya sempat tidak percaya, kenapa Gilang memakai kata 'gue' dalam kalimatnya. Ini seperti bukan Gilang. "Lang?" Araya kembali bersuara kecil. Gilang melempar tatapan tatapan tajamnya pada Araya, kemudian cowok itu menggertakan kedua rahangnya. Seandainya marah kepada Araya itu mudah, Gilang sudah ingin sekali meluapkannya. Baru saja tangan Araya ingin mengambil tangan Gilang, tetapi cowok itu lebih dulu menepis. "Minggir!" ucapnya sarkastik. "Lang!" Araya kembali menaikkan nada suaranya. Suasana kantin perlahan mulai ramai, karena bel istirahat kedua sudah berbunyi. Seharusnya Araya menyudahi dramanya it—ah iya, Gilang lupa. Araya adalah ratu drama yang suka sekali mencari perhatian. "Itu video lama, Gilang!" Araya kembali bersuara dengn nada gemasnya. Ben berdecih mendengar jawab tidak masuk akan keluar dari bibir Araya. "Seberapa lama video itu?" tanyanya memastikan. "E—e—ya lama. Aku gak inget!" Gilang tertawa sinis. "Jawab kayak gitu aja lo mikir!" tukasnya. "Aku—" "Mau lo yang cabut atau gue?" Gilang kembali mengelurakan suaranya, memotong lebih dulu ucapan Araya. Araya m******t bibirnya yang terasa kering seketika. Kenapa Gilang bisa sedingin itu padanya? "Aku pergi sekarang, tapi aku tetap akan kembali ke kamu, Lang." Araya berujar tenang. Kemudian ia membalikkan badannya. "Kita udahan. Gak usah balik lagi." Dan setelahnya, Gilang lebih dulu berjalan, meninggalkan Araya, Ben, dan Aldo yang sama-sama terkejut dengan kalimat akhir Gilang yang tenang tapi menusuk itu. Gilang yakin, keputusan sepihaknya itu jelas akan membuat gempar Angkasa, dan ia harus siap untuk itu. ... Matahari belum tepat berada di tengah langit, tetapi rasanya Kiara sudah kepanasan sedari tadi. Bukan karena cuacanya sebenarnya. Karena tepatnya, sebab dari kepanasan hari ini adalah teman-teman sekelasnya yang tidak berhenti membicarkan dirinya, termasuk yang dilakukan Asya dan Madeline saat ini. Ingin rasanya ia bersikap tidak peduli. Tetapi tetap saja, tatapan serta omongan pedas dari teman sekelasnya jelas menggangu isi kepalanya. Seandainya bisa, ia ingin melepas telinganya, atau mungkin membuat kelas ini dalam mode diam seketika. Tetapi sayangnya, hal itu tidak bisa. "Lagian lo sih! Udah tau dihack, bukan buru-buru direcover malah didiemin!" Asya kembali mengomel padanya. "Ya gue kira, itu rencana Tuhan, biar gue gak main hp mulu." Kiara membalas acuh tak acuh. Madeline berdecak. "Lo sih, cari masalah mulu!" Kiara diam. Tidak memikirkan hal itu juga. Diamnya adalah sebagai tanda ia sedang berusaha untuk benar-benar tidak peduli. Karena baginya, apa yang terjadi sekarang, walaupun itu bukan ulahnya, ia tetap akan jadi yang bersalah. "Ra, gila lo ya? Hubungan orang digangguin!" Mendengar ucapan yang seperti memojokkannya itu membuat Kiara melirik dari ekor matanya. Suara tidak enak, tatapan tidak bersahabat, sebenarnya, ada masalah apa antara Kiara dan Gia? "Bukannya berterima kasih udah diingetin, eh malah gangguin hubungan orang!" Gia kembali berseru tidak suka. Kiara tidak ambil pusing dengan ucapan cewek itu. Ia kembali menatap pada papan tulis, dan memainkan kuku-kukunya. "Dari awal, gue emang udah bisa nebak, lo emang cewek nyebelin sih!" Mendengarnya, sontak membuat Kiara menaikkan alis kanannya. Nyebelin? Maksudnya, seorang Kiara baru saja dibilang menyebalkan oleh Gia? Bahkan melihat Gia saja, ingin rasanya Kiara menyuruh cewek itu untuk mengaca. "Udah banyak gaya, gangguin hubungan orang, minta bantuan Sami, sok deket sama Ben, geli gue ngeliatnya!" Kiara sontak tertawa terbahak-bahak, bahkan ia menutup mulutnya, karena sudah tidak mampu menahan tawanya. Ia yakin, sepertinya Gia sedang mengajaknya bermain. "Kok, lo bisa tepat gitu sih nebaknya?" Kiara menatap tidak percaya pada Gia, sembari menampilkan ekspresi kagumnya. Gia berdesis. "Dari tampang lo aja udah gak bener, gimana kelakuan lo!?" Kiara mengangguk mengerti. "Lo Tuhan?" tanyanya tenang, tetapi raut wajahnya berubah. Menampilan ketidak-sukaannya pada Gia. "Atau lo fans gue?" "Ngarep!" Gia membalas sinis. "Kok, lo peduli banget sama hidup gue?" Kiara bertanya dengan senyum sinisnya. Setelahnya, Kiara bangkit dari duduknya, dan berdiri tepat di hadapan Gia yang sedang bersedekap d**a itu. "Sejujurnya sih ya, gue gak peduli lo mau bilang apa. Karena lo dan gue gak se-level, cuy!" Kiara berujar dengan nada sarkastiknya. Gia menampilkan senyum sinisnya. "Dan level gue jauh lebih tinggi dari lo!" Kiara tertawa kecil, kemudian ikut melemparkan senyum sinisnya. "Tapi sayang, berantemnya cuma mampu sama kasta bawah." Bagi siapapun yang mendengar ucapan Kiara saat itu, jelas itu sangat membuat malu seorang Gia. "Cari dong yang se-level! Cupu banget ngelawan kasta bawah!" Kiara kembali memojokkan Gia. Setelahnya, Kiara memperhatikan setiap siswa yang mulai memperhatikan perdebatan Gia dan dirinya. Tetapi setidaknya, ia bisa bernapas lega. Karena tidak ada Sami di antara mereka. "Makanya, jangan gaya doang digedein, otak juga dipake!" Kalimat sarkastik itu setidaknya mampu mewakili kekesalan Kiara di hari ini. Dan sepertinya, Kiara harus berterima kasih pada Gia yang menawarkan diri secara sukarela untuk menjadi saluran emosinya di hari yang menjelang siang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD