KEBAIKAN DAFFA

1560 Words
Meluangkan waktu untuk seseorang adalah hal sulit yang selalu diusahakan Kiara menaruh gelas es krimnya pada meja ruang keluarga. Seperti biasanya saja, ia akan menghabiskan malam hari di ruang keluarga sembari menonton acara televisi dan bergelas-gelas es krim yang akan menemaninya nanti. Jam di ruang keluarga masih menunjuk pada pukul sembilan malam. Cukup malam bagi Kiara, tetapi tidak bagi keluarganya yang lain. Sepertinya memang hanya Kiara yang otaknya paling waras di rumah ini, karena hanya ia yang tahu kapan harus pulang. Bukan seperti Gilang yang bahkan belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah sampai saat ini. Bukan seperti orang tuanya juga yang berangkat pagi, pulang tengah malam. Tetapi apa bisa disalahkan? Jawabannya jelas tidak. Kedua orang tuanya mencari uang untuk kehidupan mewahnya. Gilang bermain, itu bukan suatau kesalahan, karena lelaki itu hanya mencari kesenangan. Yang salah adalah Kiara yang kenapa selalu memilih diam di rumah. Itu salahnya. Kiara mengambil ponselnya, setelah beberapa lama terdiam, bengong menatap pada televisi. Tujuannya sekarang adalah Daffa. Daf, dimana? Kira-kira akan berapa lama Kiara menunggu jawaban dari Daffa? Pasalnya lelaki itu jarang sekali memegang ponselnya, kalau bukan kepentingannya. Daffa : tongkrongan. Why? Kiara terkejut. Tidak selama yang ia pikirkan. Main yuk. Gue bosen. Daffa : Mau kemana malem-malem? Kemana aja. Daffa : Tongkrongan gue udah gak kayak dulu. Entar gue dianggep macem-macem sama lo! Kiara berdecak. Apa maksud dari gak kayak dulu? Memangnya sekarang Daffa nongkrong dimana, sampai-sampai ia tidak boleh ikut bermain dengan lelaki itu. Ajak gue muter Jakarta aja deh Bosen parah! Daffa : otw.. Kedua mata Kiara langsung berbinar melihat pesan terakhir Daffa. Lelaki itu memang paling bisa diandalkan. Tanpa pikir panjang, Kiara langsung melesat menuju kamarnya, mengganti kaos oblongnya dengan kaos berwarna hitam dengan gambar di tengahnya, dan celana panjang yang robek berwarna senada dengan kaosnya. Daffa's calling... Ya ampun, masa secepat itu? Kiara jadi histeris sendiri. Ia mengambil tasnya asal, dan langsung beranjak turun. "BI ASIH AKU PERGI!" Kiara berteriak. Ia tahu itu tidak sopan. Tetapi maaf, Kiara belum siap diberi tatapan tajam Daffa hanya karena dirinya yang lama itu. Kiara membuka pintu gerbang rumahnya, dan langsung mengedarkan matanya mencari keberadaan Daffa. Aish, lelaki itu pakai motor atau mobil sih? Tetapi belum sempat Kiara menemukan Daffa, mobil Gilang lebih dulu berhenti di sampingnya. Bagus, Kiara ketahuan akan pergi malam. Entah Gilang akan bilang apa nantinya. Daffa : Mobil putih. Kiara kembali mencari keberadaan Daffa, tanpa memedulikan Gilang yang sudah turun dari mobilnya untuk menghampiri Kiara. Kedua mata Kiara menemukan mobil itu terparkir di jarak dua rumah dari rumahnya. Kenapa Daffa parkir sejauh itu sih? "Mau ke mana?" Gilang bertanya dengan seragam sekolahnya yang masih lengkap membalut tubuhnya. Kiara nyengir. "Main bentar," balasnya kaku. Kiara yakin, kalau Gilang tahu siapa yang akan pergi dengannya, sudah pasti Gilang akan melarangnya. Tidak ada satu pun sejarah yang bisa menunjukkan Gilang dan Daffa berhubungan layaknya anak sekolah pada umumnya. "Sama siapa?" Gilang bertanya. Ia mengedarkan matanya mencari sesuatu yang kali saja bisa menjadi petunjuk baginya. "Temen." Kiara membalas cepat. Gilang mengangguk. "Mana?" "Eh jangan nunggu di sini!" Kiara berseru panik. "Emang kenapa?" Ayo otak, berpikir! batin Kiara berusaha. "Aku main sama anak Angkasa, kalau ada yang tahu Abang gimana?" Bagus. Ide bagus, yang pasti akan berhasil dipercayai oleh Gilang. Gilang mengangguk. "Ya udah, aku masuk. Jangan kemalaman pulangnya." Jangan kemalaman? Jam sembilan harusnya sudah jam malam bukan? Setelah Gilang hilang di balik gerbang, barulah kaki Kiara melangkah pasti menuju mobil Daffa. Untung saja Daffa memakai mobil, kalau tidak, habislah dia oleh Gilang. "Untung lo parkir di sini!" Kiara bersuara dengan nadanya yang masih terdengar panik. Ia melepaskan tasnya, dan melemparnya asal ke bagian belakang mobil Daffa. Daffa berdecak. "Bohong apa lagi lo sama Gilang?" "Lo anak Angkasa. Terus dia percaya deh!" Lagi Daffa berdecak. "Lo sama Araya sama aja. Mainin gue sama Gilang." "Dih!" Kiara melotot. "Enak aja main nyamain gue sama Araya! Beda jauh lah!" "Untung gue baik sama lo, Ra." ... Setelah kepergian Kiara, Gilang hanya menghembuskan napasnya. Kesal? Mungkin. Pasrah? Iya. Tidak mungkin bukan Gilang harus banyak melarang Kiara? Kiara itu bukan tipe orang yang terima-terima saja dilarang. Bisa jadi, adiknya itu akan lebih berani bila ia melarang banyak hal padanya. Tetapi kalau boleh jujur, Gilang sedikit kecewa sebenarnya. Mengapa Kiara harus berbohong kalau itu anak Angkasa? Satu Angkasa pun juga tahu, seperti apa mobil Daffa dan berapa nomor polisi mobil laki-laki itu. Sepertinya Kiara masih terlalu polos dalam bidang ini. Bagi Angkasa, mengenal setiap bagian musuhnya adalah keharusan. Karena Angkasa tidak ingin musuhnya bertindak semaunya. Tetapi bagi Kiara sepertinya malah terbalik, karena adiknya itu malah membiarkan musuhnya bertindak atas dirinya. Tetapi sebentar. Gilang baru ingat, beberapa waktu lalu Daffa bilang 'gue mau jemput cewek gue', dan kemudian Kiara muncul. Maksudnya, Kiara benar berpacaran dengan Daffa? Astaga, apa Kiara ingin mencari masalah dengan Angkasa, dengan sekolahnya sendiri? Tidak ada sejarahnya Angkasa menjalin hubungan dengan Panca. Bahkan para muridanya tahu jelas, itu adalah sebuah larangan keras. Tetapi, apa Kiara baru saja melanggarnya? Dan harapan Gilang, Kiara akan aman malam ini. Baiklah, dibanding dilanda penasaran, lebih baik Gilang menunggu Kiara pulang nanti, dan meminta adiknya itu menjelaskannya sendiri. Mari begadang kembali Gilang. Gilang mendudukkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Matanya menatap pada tumpukan gelas yang berada di atas meja. Bahkan, Kiara tidak membersihkan sampah es krimnya. Yang benar saja! Sejak kapan Kiara jadi secuek ini dengan rumah? Gilang sudah merasa dari awal, saat melihat Kiara berdiri di depan gerbang. Untuk apa Kiara berdiri di sana, semalam ini? Kiara itu paling anti keluar malam, lalu ada apa dengan adiknya itu? Tangan Gilang bergerak untuk mengambil ponselnya yang berada di dalam saku celananya. Di banding menunggu lama Kiara, lebih baik ia meminta Kiara pulang lebih cepat. Ide bagus bukan? Pulangnya jangan kemalaman. Rara : Iya. Jam sebelas di rumah. Rara : Iya. Betapa penurutnya Kiara saat ini. Bahkan ia dengan mudah mengikuti permintaan Gilang. Gilang menaruh ponselnya di atas meja, kemudian mengambil remot televisi, untuk menggantikan Kiara malam ini, Biar Gilang yang berjaga di ruang keluarga malam ini. Tetapi belum lama ia fokus pada televisi, ponselnya kembali bergetar, menandakan adanya pesan masuk di sana. Araya : Aku lihat Kiara jalan sama Daffa. Gilang mendesah kasar. Ia baru berharap, Kiara akan aman malam ini, ternyata harapannya itu tidak terjadi. Besok kita omongin ya. Dan harapannya sekarang adalah, semoga banyak yang menyadarkan Kiara. ... Keesokan harinya... Kiara mengambil ponselnya tepat ketika bel pulang berbunyi. Hari ini, Daffa berjanji akan menjemputnya lagi. Ia menaruh ponselnya itu di atas mejanya, dan membereskan bukunya. Di sampingnya, Sami, cowok itu juga membereskan bukunya dengan tenang. "Ra, pulang kemana?" Kiara menoleh menatap pada Asya yang duduk di depannya. Cewek itu memutar badannya setengah dan menunggu jawaban dari Kiara. "Mau jalan." Asya mengangguk mengerti. "Sama Daffa?" Gantian Kiara yang mengangguk. "Lo kenal Daffa?" Kiara sedikit terkejut mendengar suara berat Sami. Ia menoleh dan mendapati lelaki itu sedang menatap padanya, dengan kedua tangannya yang masih memegang buku, tetapi menghentikan gerakannya. Apa pembicaraannya dengan Asya terlalu keras? "Daffa yang mana nih?" Kiara membals lebih dulu. "Anak Panca." Kiara tersenyum kaku. "Kenal." "Lo main sama dia?" Sami kembali berujar dengan nada suaranya yang membuat Kiara jadi bingung sendiri. Lagi, Kiara mengangguk, tetapi kali ini anggukannya terlihat ragu. "Kenapa?" Dengan gerakan mengejutkan, Sami menaruh kembali bukunya di atas meja dengan keras dan menghela napas. "Siapa yang ngizinin lo main sama Daffa?" "Hah?" Kiara bingung. "Emang ada larangannya?" tanyanya polos. Kiara bergantian menatap Asya dan Sami. Dua orang yang memberi tatapan berbeda padanya. "Daffa itu anak sekolah lawan. Lo mau cari mati!?" Mendengarnya, Kiara malah semakin dibuat bingung dengan Sami. Kiara tahu Daffa itu sekolah di SMA Panca. Tetapi ia tidak tahu, kalau ternyata Angkasa mempunyai hubungan buruk dengan Panca. Yang ia tahu, Gilang memang tidak berteman dengan Panca. Tetapi, bukankah ini terlalu berlebihan? Sampai-sampai satu sekolah Angkasa dilarang berteman dengan SMA Panca. Lagi pula, Daffa itu teman dekatnya, bahkan lebih seperti seorang kakak bagi Kiara. Masa iya Daffa menyakitinya, hanya karena Daffa salah satu musuh Angkasa. Tidak mungkin, 'kan? "Apasih gak ngerti!" Kiara menjawab. Ia kemudian bergegas meninggalkan kelasnya, dan berjalan menuju gerbang sekolahnya. Sudahlah, aturan Angkasa itu banyak sekali. Biarkan ia mengertinya secara perlahan. Yang pasti, ia harus mulai menjalankan rencananya dengan Daffa. Ketika langkah kakinya sudah berada di dekat gerbang, ia memelankan langkahnya. Untuk kedua kalinya, Kiara mendapati Daffa yang duduk di motornya dengan tenang, sedangkan di sekelilingnya berdiri Gilang dan Aldo, serta teman-teman Gilang yang tidak dikenal oleh Kiara. Oke, kita mulai. Kiara membatin semangat. Ia berlari kecil mendekati Daffa dengan senyuman manisnya. "Hai Daffa!" Kiara memeluk Daffa dengan mudahnya. Bahkan ia tidak sadar, kedua mata Gilang rasanya mau jatuh ke tanah karena melihat pemandangan yang disuguhi oleh dirinya dan Daffa. Kiara memeluk Daffa. Benar-benar dipeluk! Daffa mengalihkan perhatiannya dari Gilang dan tersenyum simpul pada Kiara. "Hai, sayang," balasnya manis. Sayang??? Gilang membatin tidak terima. Apa-apaan ini? Ada apa dengan Kiara? Daffa memberikan helm yang berada di jok belakangnya, kemudian memakaikannya dengan manis pada kepala Kiara. Sumpah. Rasanya Gilang ingin menonjok Daffa saat ini. Bahkan Gilang bertanya-tanya, dimana otak Kiara, sampai adiknya itu mau-mau saja diperlakukan seperti itu. "Ayo, nanti kemalaman!" Kiara berujar pelan sembari mengayunkan lengan Daffa. Sepelan apapun suara Kiara, Gilang jelas masih bisa mendengarnya. Malah ia merasa, Kiara sengaja melakukannya, supaya ia menguatkan pendengaran telinganya. Daffa mengangguk. "Sini pegangan." Ia memberikan satu tangannya sebagai tumpuan Kiara untuk menaiki motornya yang tinggi itu. "Udah?" tanyanya memastikan. "Udah." "Pegangan dong!" Kiara mengangguk. Ia menuruti ucapan Daffa sekali lagi. Ya ampun! Seandainya Gilang bisa melakukan segalanya secara bebas, ingin rasanya ia menendang keras motor Daffa sampai laki-laki itu terguling ke jalanan. Kejam? Biarin! Perlakuan Daffa pada adiknya lebih kejam, baginya. "Duluan ya cuy," pamit Daffa dengan angkuhnya. Berbeda dengan Daffa, Kiara malah tidak menunjukkan keramahannya pada Gilang dan teman-teman cowok itu. Ia bahkan tidak memiliki niat untuk menoleh pada kakak kelasnya itu atau bahkan pada Gilang. Setelah motor Daffa melaju, barulah Aldo menatap tajam pada Gilang. Baginya, ini adalah sebuah ancaman bagi Angkasa. Tetapi biasanya, Gilang punya pendapat sendiri yang berbeda dengannya. "Lang?" Aldo menatap Gilang meminta pendapat. Sedangkan yang ditanya hanya diam saja. Gilang lebih memilih untuk memperhatikan Kiara yang perlahan menghilang bersama Daffa. Seriusan? batinnya masih tidak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD