EMOSI KIARA

1567 Words
Banyak orang yang salah mengambil langkah untuk menunjukkan kepeduliannya Kiara menampilkan senyum bahagianya tepat pada Daffa yang berada di hadapannya. Berbeda dengan Kiara, Daffa malah menampilkan raut wajah gelinya pada Kiara. Ia tidak menyesal telah menyetujui permintaan Kiara. Tetapi entah kenapa, saat melihat senyuman Kiara yang seperti itu, rasanya ia sudah masuk ke dalam jurang yang sangat curam. Suasana kafe yang mereka kunjungi sore ini tidak begitu ramai. Ditemani dengan alunan musik yang enak untuk di dengar, membuat Kiara nyaman untuk bertahan lama di sana. Bahkan Kiara sadar, ia telah menyita lama waktu Daffa. Karena ia pun tahu, Daffa tidak mungkin suka berdiam diri di tempat seperti ini. "Lo malem mau kemana?" Kiara bertanya, kemudian mengambil gelas kopinya. "Nongkrong," balas Daffa. Ia kemudian mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dan mulai fokus pada benda itu. Gilang Anandita : stop deketin cewe gue! Daffa menautkan kedua alisnya bingung. Kenapa Gilang tiba-tiba mengirimi pesan seperti itu? Bahkan Daffa lupa kapan terakhir ia mengirim pesan pada Araya. Cewe lu ngarep banget gue deketin... Daffa mengalihkan kedua matanya dan menatap kembali pada Kiara yang sedang asik memperhatikan pada jalanan. "Ra, kok Gilang masih nganggep gue deketin Araya?" Bagi Kiara itu bukan pertanyaan. Lebih terdengar seperti pernyataan yang meminta persetujuan. Tetapi mendengar Daffa mengucapkan hal itu, Kiara jadi semakin merasa aneh tentang Araya. Apa mungkin pikirannya tentang Araya benar? Tetapi katanya tidak boleh menilai orang terlalu cepat. Ah, kenapa Kiara harus peduli juga! Yang pasti, Araya akan tetap menjadi musuhnya. "Emang Araya gak bener." Kiara membalas acuh tak acuh. Kedua telinganya selalu menjadi lebih sensitif setiap mendengar nama Araya disebut. Maaf ya Araya, Kiara tidak peduli kamu baik atau tidak, tetapi Kiara sudah membencimu. Kiara beralih pada ponselnya yang bergetar di atas meja. Tebakan Kiara, itu paling direct message i********: dari orang-orang asing, atau mungkin pesan dari akun official. Tetapi ternyata salah. Dari layar ponselnya, Kiara melihat nama Sami disana. Sebentar... apa Sami? Tumben sekali Sami mengiriminya pesan. Eh ralat, bukan tumben. Kiara lupa, ini pertama kalinya Sami mengiriminya pesan. Sami : Jangan deket-deket Daffa. Ya Tuhan. Penting sekali kah Sami mengirimi pesan itu? Sami : Gue g cemburu. Jgn mikir aneh-aneh. Gue disuruh Gilang buat ngingetin lo. Yah, baru Kiara berpikir Sami cemburu. Tahunya lelaki itu tidak sedang merasakan hal itu. Sayang sekali. "Gilang percaya kita pacaran beneran." Kiara berujar tanpa mengalihkan kedua matanya dari layar ponselnya itu. "Lah? Sekali liat doang langsung percaya?" Kiara mengangguk. "Ini temen sekelas gue chat. Cuma bilang 'jangan deket-deket sama Daffa'. Penting banget..." Kiara mengalihkan kedua matanya menatap pada Daffa. "Emang lo kenapa sih sama Angkasa? Sampai-sampai satu Angkasa musuhin lo!" Bukannya menjawab dengan penjelasan. Daffa malah mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. Kiara tidak ambil pusing. Karena sampai saat ini, ia masih yakin, Daffa tidak akan mengkhianatinya bukan? ... Banyak orang menilai, tongkrongan itu tidak pernah baik adanya. Pasti selalu ada hal negatif yang membuat anak sekolahan bangga berada di dalamnya ataupun menjadi salah satu anggota tongkrongan itu. Tetapi bagi orang yang di dalamnya, mereka yang menilai negatif adalah mereka yang tidak bisa menikmati hidup di masa remaja dengan baik. Mereka yang terlalu banyak berpikir untuk melakukan sesuatu yang baik-baik saja. Bagi anak tongkrongan, berkumpul adalah cara sosialisasi paling ampuh. Menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman, sebelum nantinya di masa depan mereka akan sibuk dengan kehidupan masing-masing.  Gilang sedang mendudukan tubuhnya di kursi kayu yang berada di tempat tongkrongannya itu. Panasnya Jakarta di malam hari, membuat Gilang membiarkan kancing kemejanya terbuka dan menampilkan kaos dalamannya saja. Tempat tongkrongannya tidak jauh dari sekolah, tetapi tidak banyak yang tahu tentang tempat itu. Tempat yang cukup besar, namun berada di belakang halaman rumah orang jelas mampu menyembunyikan orang-orang penting milik Angkasa. Bila kalian yang sempat berpikir setiap angkatan mempunyai tongkrongan yang berbeda, kalian salah. Karena setiap angkatan akan selalu menetap di sini. Bahkan tidak jarang alumni pun datang ke tempat ini hanya untuk temu kangen. Di saat teman-teman Gilang tertawa membicarakan hal lucu, kali ini hanya ia yang diam saja. Rasanya otaknya itu masih penuh karena terisi dengan berbagai pikiran tentang Kiara dan Daffa. Teman-temannya sudah mengjaknya untuk membicarakan masalh itu sedari tadi, tetapi Gilang belum juga menyanggupi. Otaknya terasa buntu seketika. "Oh ya, Lang. Si Kiara beneran sama Daffa?" Lagi.Gilang bisa gila karena pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah keluar lebih dari sebelas kali hari ini. Gilang hanya berdecak sebagai tanggapan. Ia pun tidak tahu kebenarannya. Apa Kiara itu serius atau malah sebaliknya? Gilang tidak bisa membedakannya. "Angkasa sama Panca gak boleh jalin hubungan, man!" Iya, Gilang tahu aturan itu. Ia pun tidak mau hal itu terjadi. Tetapi mana Gilang tahu, kalau yang melanggar aturan malah adiknya sendiri. Mungkin kalau siswi lain, Gilang masih sampai hati untuk menegurnya. Tetapi kalau si bengal Kiara itu... apa dia akan mendengarkan Gilang? "Mungkin Daffa lagi cari cara untuk masuk ke Angkasa lagi." "Atau mungkin Kiaranya juga gak bener. Secara dia berani ngelawan Gilang dan Araya. Mana ada aturan junior boleh ngelawan senior, man!" Gak bener? Wah s****n! Gilang memaki dalam batinnya. Berani sekali temannya itu mengatakan adiknya gak benar. Ya memang gak benar sih. Tetapi maksud Gilang, jangan terang-terangan juga bilangnya. "Menurut lo gimana, Lang?" Gilang menghela napasnya. Sepertinya ia harus melupakan sementara kalau Kiara itu adiknya. Ingat, kepentingan bersama harus selalu menjadi prioritas utama. Itulah semboyan Angkasa. "Nanti gue yang ngomong sama anaknya." Gilang berujar memutuskan. "Gue gak yakin dia bakal mau." Sekarang gantian Ben yang berdecak. Cowok itu memang ada di sana sedari tadi. Tetapi ia lebih memilih untuk diam saja. Ben takut salah langkah. "Dicoba dulu aja. Kalau masih gak bisa baru kita tegasin," ujarnya membantu Gilang. Ben yakin, kalau mereka semua di sana tahu siapa Kiara sebenarnya, pasti tidak akan ada yang berani menuduh Kiara macam-macam. Sayangnya, kesepakatan Kiara dan Gilang itu terlalu berlebihan. "Kalau dia tetap pada pendiriannya. Nanti gue yang maju." Aldo berujar dengan nada tegasnya. Mendengarnya, Gilang hanya melepar tatapan tajamnya pada Aldo. Biarpun, cowok itu tidak melihat tatapan sangarnya, setidaknya ia tetap bisa melampiaskan kekesalannya pada Aldo saat ini. Sahabatnya sendiri bukan membantu, malah akan menambah rumit masalah. ... Belum lewat dari jam sembilan malam, Kiara sudah duduk manis di atas tempat tidurnya. Biasanya jam segini ia masih berada di ruang keluarga, tetapi entah kenapa nyawanya itu menyuruhnya diam di kamar saja malam ini. Ditemani laptopnya, Kiara mencari banyak hal baru tentang Angkasa begitu pula tentang Panca. Tetapi sayangnya, sudah hampir satu jam berkutat di sana, tidak ada satu pun gosip mengenai permasalahan Angkasa dan Panca. Kenapa bisa begitu? Padahal dalam kenyataan, dua sekolah itu bagai anjing dan kucing. "Ra!" Suara panggilan diikuti suara ketukan membuat Kiara langsung menoleh pada pintu kamarnya. Ia tahu itu suara Gilang, tumben sekali Gilang mengganggunya di saat ia sudah berada di dalam kamar. Ia menaruh laptopnya di atas nakas samping tempat tidurnya, dan berjalan menuju pintu kamarnya. Sebenarnya tidak dikunci, Kiara juga tidak pernah menguncinya. Hanya saja Gilang masih menghormati privasi Kiara, begitu pula Kiara seharusnya. "Apa?" Kiara bertanya setelah pintu kamarnya terbuka lebar. "Temenin aku nonton yuk!" Kiara menautkan alisnya bingung. Pertama, tumben sekali Gilang sudah memakai pakaian rumah pada jam segini. Kedua, tumben sekali Gilang mengganggunya hanya untuk minta ditemenin nonton. "Tumben," balas Kiara terdengar santai. "Ayo!" Kiara mengangguk. "Sebentar." Ia kembali pada laptopnya, dan mematikan benda itu. Setelahnya ia menyusul Gilang yang sudah lebih dulu menuju ruang keluarga. Kalau boleh Kiara menduga, ia rasa Gilang akan membicarakan hubungannya dengan Daffa. Karena dari sikap laki-laki itu yang berbeda, membuat Kiara merasa yakin dengan dugaannya. "Ra." Gilang kembali memanggilnya, setelah ia duduk manis di sofa ruang keluarga. Kiara tidak melihat pada Gilang, ia lebih memfokuskan dirinya pada televisi, tetapi dehamannya cukup mewakilkannya untuk menjawab panggilan Gilang. "Kamu seriusan pacaran sama Daffa?" Kedua mata Kiara langsung menatap malas Gilang. Sudahlah, Kiara sudah terlalu hafal dengan segala sifat Gilang. Mana mungkin Gilang mengganggunya malam-malam, kalau tidak ada hal penting atau ada hal yang mengganggu pikiran laki-laki itu. Kiara berdecak. "Iya," jawabnya malas. "Sejak kapan?" "Baru." "Baru kapan?" "Ya mana aku itungin!" Kiara nge-gas. "Tanggal berapa jadiannya?" "Sembilan." Kiara ngarang. Yang penting kan ia jawab segala pertanyaan Gilang bukan? Tidak peduli mau benar atau tidak. "Sembilan bulan apa?" Kiara mendesah gemas. "Kepo banget sih!" Gilang melotot. "Aku Abang kamu! Masa gak boleh kepo sama adik sendiri!" balas Gilang tidak terima. "Iya tapi gak gitu juga dong!" "Tinggal jawab! Apa susahnya!?" Sebentar-sebentar, Kiara bingung. Ini kenapa Gilang jadi ikutan nge-gas? "Susah lah! Orang privasi, masa ditanya seenaknya!" Kiara masih juga membela diri. "Aku juga gak pernah mau tau tentang hubungan Abang sama pacar Abang!" lanjut Kiara galak. "Ya karena pacar aku anak baik-baik!" Baik pala lo! Kiara membatin tidak terima. "Daffa juga baik!" Kiara masih tidak mau kalah. "Kata siapa!?" "Kata aku barusan lah!" Kiara jadi gemas sendiri harus menghadapi Gilang. "Dia gak baik buat kamu. Jauhin!" Kiara melotot. Apa-apaan ini? Kenapa Gilang jadi mengatur urusan percintaannya? "Kamu bisa dijauhin sama anak-anak Angkasa." Suara Gilang mulai memelan. Ia tetap menatap pada Kiara yang sudah berkali-kali memutar bolanya malas. Kiara berdecak. "Yang pacaran itu aku sama Daffa. Bukan Daffa sama anak-anak Angkasa!" "Ya kamu pacaran sama musuh Angkasa, Ra! Gak ada yang suka sama Daffa!" Lagi. Kiara mendengar kata dimana Daffa dianggap musuh Angkasa lagi. Apa ada yang ia lewati tentang Angkasa sampai saat ini? Tetapi seingatnya, selama ini Asya ataupun Madeline tidak pernah memberi tahunya tentang masalah Angkasa dan SMA Panca. Bahkan kedua temannya itu mendukung-dukung saja hubungannya dengan Daffa. "Yang musuhan 'kan Angkasa, bukan aku!" Kiara masih membela diri. "Kamu bagian dari Angkasa, Ra!" Kiara mendesah. "Aku jauhin Daffa." Kiara menggantung ucapannya. "Nah.." "Tapi Abang jauhin Araya juga." Gilang melotot. Kenapa Araya jadi dibawa-bawa? "Kenapa jadi Araya?" tanyanya kesal. "Karena aku gak suka sama Araya!" Kiara menjawab dengan penuh penekanan. "Araya gak ada sangkut-pautnya sama masalah ini ya!" peringat Daffa tegas. "Kalau gitu, jangan sangkut-pautin juga hubungan aku dengan Angkasa!" Baru saja mulut Gilang ingin kembali mengelak. Tetapi Kiara sudah menatap tajam Gilang. "Kita udah sepakat gak bawa masalah sekolah ke rumah, tapi kalau Abang masih mau maksa aku untuk bicarain ini di rumah, jangan pernah salahin aku untuk ikutan membawa masalah sekolah ke rumah ini!" tajam Kiara. Baik, Gilang diam. Cukup untuk perdebatan malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD