PERTANYAAN

958 Words
Semakin ditutup rapat, semakin penasaran, itu definisi sebuah rahasia. Baru pukul sepuluh pagi, tetapi Kiara sudah dibuat gemas dengan munculnya Gilang di kantin dan mengajaknya pergi meninggalkan kedua temannya begitu saja. Sepertinya Gilang belum mau menyerah juga. Tetapi tenang, Kiara juga belum mau menyerah. Hubungannya dengan Daffa memang menjadi awal pergerakannya untuk mengalahkan Gilang. Tetapi Kiara tidak tahu kalau ternyata Angkasa begitu memusuhi Daffa. Yang ia tahu hanyalah, antara Gilang dan Daffa memang tidak pernah ada hubungan baik, tidak lebih dari itu. "Ih!" Kiara gemas. Ia melepaskan cekalan tangan Gilang pada pergelangan tangannya, dan melotot pada cowok berseragam itu. "Kita udah gak di rumah, jadi gue bebas dong!" Kiara berdecak. Bahkan Gilang memakai kata 'gue' dalam kalimatnya. Sepertinya Gilang sangat mendalami perannya. Apa Kiara juga harus begitu? "Jauhin Daffa!" tegas Gilang masih dengan nada tenangnya. Kiara menggeleng. Ia menatap pada arah lain, menghindari tatapannya pada Gilang. "Aku mau, asal kamu jauhin Araya! Kamu enggak bisa kan? Aku juga!" Bahkan Kiara tidak memberi waktu bagi Gilang membalas. Karena, ia pun tahu, Abangnya itu tidak mungkin melepas Araya dengan mudahnya. Tetapi tenang, sekali lagi Kiara tegaskan, saat Gilang tidak menyerah, maka Kiara pun sama, ia tidak akan menyerah. "Aldo bisa maju cuma buat nyuruh lo jauhin Daffa!" Jujur, rasanya telinga Kiara gatal sekali karena mendengar kata 'lo' dalam kalimat yang diucapkan Gilang. Iya, Kiara tahu ia memang tidak berada di rumah, tetapi haruskah mereka melupakan kebiasaan mereka juga? "Majulah! Aku gak takut!" Gilang melotot. Kok Kiara jadi menantang dirinya? "Aldo orangnya kasar—" "Terus aku harus takut?" Kiara bertanya dengan nadanya yang lagi-lagi terdengar menantang bagi Gilang. "Mau kamu ngancem aku dengan bawa keluarga aku pun, aku gak akan mundur!" tajam Kiara. Ia mulai menatap Gilang, dan memberikan cowok itu tatapan tajamnya. "Aku gak segampang itu buat menyerah!" Gilang mendesah. "Aku ngizinin kamu bersaing sama aku. Bukan sama seantero sekolah, Rara!" Mendengarnya, Kiara jadi lega. Aku-kamu kembali lagi. Itu lebih baik untuk telinganya. "Yang senioritas bukan kamu doang! Masa aku saingannya sama kamu doang, mana seru!" Astaga! Rasanya Gilang ingin menjambak rambut seseorang. Ini kenapa adiknya bengal sekali? Susah sekali menuruti perintahnya! "Lagi pula aku udah kasih kamu penawaran, kamu jauhin Araya, aku juga pasti jauhin Daffa. Gampang 'kan?" Kiara bertanya dengan senyum miringnya. Gilang mengusap wajahnya kasar. Ini bukan kali pertamanya menghadapi Kiara yang bengal. Tetapi entah kenapa, kesabarannya kali ini seperti sudah di puncak paling tinggi. "Jauhin Daffa!" Itu bukan suara Gilang. Dan Gilang pun terkejut, Aldo bisa menemukannya di sini. Ia menoleh menatap pada Kiara yang sedang menatap pada kedatangan Aldo. Cowok dengan seragamnya yang berantakan itu mendekat pada Kiara tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Kiara. Untung saja Kiara sudah terbiasa dengan yang tajam-tajam, jadi segini masih kecil baginya. "Kalau lo gak mau jadi salah satu musuh Angkasa, jauhin Daffa!" Aldo kembali menegaskan. Wajah cowok itu terlihat begitu tegang, tetapi tetap tidak membuat nyali seorang Kiara turun. "Percaya sama kita. Kita ngelindungin lo!" Aldo kembali berujar dengan nada tenangnya. Kiara menggeleng. "Tapi gue gak percaya," balasnya dengan nada angkuh. "Udah ya tolong, gue terlalu lelah untuk membicarakan ini. Biarin aja sih, gue ini yang jalanin!" Aldo tersenyum sinis. "Lo gak tau apa-apa tentang Panca, cuy." "Dan gue gak mau tau itu!" Kiara menegaskan. Ia melangkah tanpa memedulikan kembali tatapan tajam Aldo dan membiarkan Gilang dalam kegelisahannya. ... Pelajaran Matematika yang dibawa oleh Bu Ajeng berhasil membuat Kiara kembali mengantuk. Catatan yang berlembar-lembar, tanpa satu pun rumus yang Kiara mengerti, membuatnya harus mendesah berkali-kali juga. Di sampingnya, masih Sami sampai saat ini. Cowok itu duduk dengan tenangnya. Pulpen yang dipegangnya belum juga beristirahat. Padahal setahu Kiara, Sami tidak begitu pintar. Sami memang rajin mencatat, tetapi ia tidak pernah rajin mengerjakan tugas. Karena waktu itu ia bilang pada Kiara, 'mencatat itu gak perlu mikir, kalau tugas itu perlu'. "Sam?" Kiara memanggil Sami dengan kedua matanya yang memperhatikan catatan cowok itu. "Hm?" Sami berdeham tanpa menolehkan kepalanya. "Ada apa dengan Daffa?" Sami menoleh, tidak ada balasan, hanya sebuah tatapan yang tidak berekspresi. Sedetik kemudian, cowok itu kembali pada posisi semulanya, mencatat tanpa memedulikan Kiara. "Daffa jahat?" Sami kembali berdeham. Kalau hanya dehaman, artinya bisa ambigu bagi Kiara. Bisa iya, bisa juga Sami tidak peduli. "Sam?" Kiara kembali meminta jawaban. Sami mendesah pelan. Kemudian cowok itu menoleh padanya. "Sebagai teman, gue bilang dia enggak baik buat lo." Kiara terdiam. Ia mencerna kembali kata-kata Sami yang hampir bermaksud sama dengan apa yang dikatakan Aldo dan Gilang. Tetapi entah kenapa, hati kecilnya jauh lebih memercayai Daffa, dibanding ketiga orang yang walaupun salah satunya adalah Abangnya sendiri. "Jangan ditanya alasannya, kita yang tahu juga gak akan mau ngejelasin. Itu rahasia untuk beberapa orang aja." Setelahnya, Sami kembali pada catatannya. Kiara berdecak. Apa Sami tidak ingin berkata-kata yang lain gitu? Masa iya Kiara harus memancing cowok itu agar berbicara lebih banyak? Kiara menopang kepalanya dengan satu tangan yang berada di atas meja, sedangkan satu tangan lainnya memainkan kukunya di atas roknya. Ia membiarkan catatannya kosong hari ini. Otaknya sudah penuh akan banyak pertanyaan, tetapi tidak ada yang bisa menjawabnya. Asya dan Madeline pun sama-sama mengangkat kedua bahunya saat Kiara tanya. Sedangkan Sami dan Gilang, keduanya sama-sama bungkam. Sebesar dan sepenting apapun rahasia yang dimiliki Daffa, Kiara sangat ingin tahu tentang itu. Lalu, harus bertanya pada siapa lagi dirinya. "Yang tahu si—" "Nyatet, Ra!" Kiara mencebik. Sami tidak asik! Baru saja ia ingin mencari tahu pada siapa dirinya harus bertanya lagi, tetapi Sami lebih dulu menghentikannya. "Sa—" "Nyatet, Ra!" Ya Tuhan. Kalau bisa Kiara marah, ingin rasanya. Apa Sami benar-benar sejahat itu, sampai tidak mengizinkannya tahu sedikit saja! Kiara mengambil pulpennya yang sedari tadi tergeletak manis di mejanya. Tidak, ia tidak berniat menulis. Kalau Kiara bilang ia malas, maka ia tidak akan melanjutkan catatannya lagi, bahkan untuk menambah satu kata saja rasanya berat sekali. Ia mengigiti ujung pulpennya, dan menatap pada papan tulis yang sudah penuh dengan tulisan itu. Meskipun, matanya mengarah pada papan tulis, kembali lagi, otaknya sedang tidak di tempat. "Nyatet, Ra!" Kiara berdecak gemas. "Berisik, Sami!" ucapnya gemas sendiri. "Kiara?" Kan, kena gue! Kiara merutuk dalam hati, ketika Bu Ajeng memanggil namanya. Bukannya merasa bersalah, Sami malah tertawa. Sami tertawa? Wah, pemandangan langka. Ah, tetapi tetap saja cowok itu menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD