Chapter 6

960 Words
Pembicaraan yang panjang. Perjalanan yang panjang. Dua generasi berbeda mengurai cerita. Untuk saling tahu karena jeda yang berbeda. *** Acara kirim doa untuk almarhum Susan sudah selesai. Para tamu yang datang untuk menyampaikan duka dan bela sungkawa, satu per satu pulang. Tersisa keluarga inti dan keluarga Blenda. Pembicaraan mengalir seputar Susan dan kehidupannya. Secara khusus, Robert, kakak tertua Susan, menyampaikan maaf pada Aaron Blenda. Saat badai itu datang dan kemudian berakhir pada perceraian, Robert tidak berbuat apa-apa. Tak ada seorang pun yang bisa menggoyahkan kekuatan Susan, bahkan ayah mereka sendiri. Hanya sekali Susan bisa dipatahkan, yaitu saat sang ayah sudah bertitah perihal perjodohannya dengan Aaron Blenda. Tak ada luka. Aaron sendiri sudah tak memelihara sakit hati karena sudah menikah dengan Vero. Pun Vero, meski kedatangan Susan yang tiba-tiba malam itu dan mencaci-makinya sedemikian rupa, tapi dia tak sakit hati. Sebagai wanita, ia paham sakit hati Susan. Meski tak membenarkan, Vero juga tak bisa menyalahkan. Adik perempuan Susan, muncul dari belakang. Ia meminta Elard untuk menemui Opa Tom atau kakek Elard, yang tak lain adalah ayah almarhum Susan. Opa Tom menanti Elard di dekat kolam. Elard berjalan perlahan menuju ke belakang rumah. Pandangannya diedarkan ke setiap sisi rumah. Benar-benar rumah yang putih. Hampir semua dikuasai watna putih. Warna kedua emas dan kemudian gelap yang menjadi latar foto Susan. Ada banyak foto Susan, berpigura besar, aneka pose, aneka baju, dengan jenjang usia dari Susan muda sampai tua, dan semua foto itu menggunakan latar belakang wrana-warna snagat gelap. Menonjolkan Susan secara keseluruhan. Benar-benar rumah khas Susan yang narsistik. Elard sudah sampai di dekat kolam renang. Dilihatnya seorang pria dengan rambut putih lebat, duduk diam dengan tatapan terarah pada birunya air kolam. Elard tidak yakin apakah lelaki tua itu sedang melamun atukah sedang berpikir, yang jelas wajahnya begitu serius. Ini hari adalah pertemuan pertamanya dengan keluarga Susan Aleiyah. Elard baru tahu sosok om dan tantenya, juga sosok kaken dan neneknya. Kecuali Opa Tom yang begitu dingin juga kaku, lainnya justru ramah bahkan terbuka terhadap kemunculan Elard. Kini, menghadapi kakeknya berdua saja, ada perasaan gamang. Ia hanya mengenal kerabat dari ayahnya dan kerabat dari ibu tirinya. Sedari kanak-kanak, ia tak pernah tahu sosok kakek neneknya. Apakah mereka lembut? Apakah mereka galak? Elard tak punya bayangan, saat itu. "Malam, Opa Tom," sapa Elard sopan. Opa Tom bergeming. Ia seakan sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Tak mendengar apa-apa. "Opa Tom...." Elard mencoba menyapa kembali. Ia bingung harus bagaimana. Tidak adanya kedekatan membuat dirinya segan. Tapi, karena sang kakek sudah mengamanatkan ingin bertemu dengannya, Elard tak bisa begitu saja beranjak pergi meski Opa Tom tak acuh. Ia kemudian memilih duduk di kursi satunya. Ikut menatap birunya kolam. Sebuah ingatan berkelebat. Dulu, Elard akan merasa sangat menderita jika ingatan itu datang. Menangis semalaman dan esok harinya menjadi pribadi yang amat sangat tertutup. Elard pernah tenggelam dan hampir mati dalam kolam karena kelalaian ibunya. Tiba-tiba Elard tersentak. Desain kolam renang Susan, sama dengan desain kolam renang tempat dulu Elard tenggelam. Berbentuk seperti hurf 'L', dengan di bagian horizontal, lebih pendek. Ada pancuran di bagian ujungnya, itu juga sama persis. Mama.... Kenapa Mama membangun kolam yang serupa? Apakah.... Apakah Mama juga menyesal akan kejadian di masa lalu? tanya Elard dalam hati. Penyesalan menyeruak di hati Elard. Andai dia paham bahwa ibunya sangat menyesali perbuatannya, mungkin dia akan lebih cepat terbuka menerima maaf wanita yang melahirkannya. "Sebagai anak perempuan, Susan terlahir terlalu tangguh." Tiba-tiba Opa Tom bicara. Nadanya serak dan sedikit tersengal. Khas seseorang yang terbiasa merokok dan masih merekok. Elard diam. Rasanya ini akan jadi nostalgia perkenalan akan sosok Susan Aleiyah. "Tangisannya sangat nyaring, terdengar sampai keluar. Begitu nyaringnya, saya mengira dia lelaki." Opa Tom melepaskan napas panjang. "Saat itu saya sempat kecewa. Meski Robert adalah anak lelaki, tapi demi mendengar tangisannya, saya masih berharap itu lelaki. "Dibanding kedua saudaranya. Dia benar-benar anak yang sempurna. Tak pernah belajar tapi selalu rangking. Wajahnya begitu putih seperti s**u dan rambutnya begitu hitam. Maha karya, begitu saya menyebutnya diam-diam." Opa Tom tertawa kecil. Dibukanya kotak cerutu dan dikeluarkannya sebatang cerutu dengan kemasan yang sangat mewah. Sama mewahnya dengan kotaknya. "Gurkha His Majesty’s Reserve. Cerutu yang mahal dan eksklusif. Hadiah darinya setelah bercerai dari ayahmu. Belum satu pun cerutu saya bakar. Bukan tidak suka. Dia tahu saya suka cerutu. Tapi tulisan yang diukir khusus di kotaknya. Bacalah," pinta Opa Tom yang masih memandangi cerutu di tangannya. Elard memutar posisi kotak cerutu. Membuka penutupnya dan membaca. 'Hisap cepat dan mati cepat.' Elard tertegun membaca tulisan itu. Dipandangainya Opa Tom yang mulai memotong ujung cerutu dan kemudian membakarnya. Elard mengira-ngira seberapa bencinya Susan terhadap ayahnya sendiri. "Saat itu saya begitu murka padanya. Dia sudah mendoakan saya mati. Saya tahu dia sangat membenci saya. Saya tak mengira anak itu akan mengirimi saya kado dengan doa kematian." Opa Tom menghisap dalam cerutunya. Melepaskan asapnya perlahan. "Licik. Anak itu terlalu pintar hingga terlalu licik. Dia sengaja mengirimi cerutu ini agar saya berhenti mengisap cerutu. Dia tahu saya mudah marah. Saya tidak akan melakukan yang orang lain pinta. Anak itu minta saya menghabiskan semua cerutu ini, maka saya tidak menghisapnya. Saya hidup dan dia mati." Opa Tom menerawang menatap gelapnya langit tanpa bintang. Hanya ada bulan yang bersinar sebagian. "Andai dulu saya tak memaksanya menikah dan membiarkan kepintarannya melesat. Mungkin.... Bintang di langit sudah digenggamnya." Seperti lelah yang ingin dilepas, Opa Tom menghela napas, memperbaiki posisi duduk, dan menatap tajam Elard. "Apakah kamu masih membenci ibumu?" tanya Opa Tom. Elard tak langsung menjawab. Ia masih membelai lembut kotak cerutu. "Kami sudah berbaikan. Tidak ada hak saya untuk membencinya. Dia melahirkan saya. Dan untuk jangka waktu yang pendek, dia sudah menjadi ibu yang sebenar-benarnya ibu." Elard tidak lupa bagaimana ibunya berniat mempertemukan dirinya dengan Sasi. Ibunya tak tahu jika Sasi dalam perlindungannya. Niat ibunya begitu tulus demi kebahagiaannya. Hapus sudah dosa masa lalu. "Terima kasih. Sebagai ayahnya, saya berterima kasih padamu yang tidak menyimpan dendam." "Itu tidak perlu terima kasih, Opa. Itu memang keharusan yang ikhlas." Opa Tom menatap tajam Elard dan tersenyum. "Kamu memang dia." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD