Chapter 7

936 Words
Kemana pun kau pergi. Kirim pesan untukku dari surga. *** Begitu dingin. Kamar yang begitu besar tetapi minim perabotan dan minim perabotan. Hampir seperti kosong. Sangat jauh berbeda dengan diluar yang mana furnitur lengkap juga dengan segala ornamen yang unik dan mewah, menjadi penanda bahwa ada kehidupan di rumah juga sebagai penunjuk bagaimana karakter si pemilik rumah. Kamar Susan begitu sepi. Hanya ada satu tempat tidur ukuran king, nakas di kedua sisinya, satu lukisan diri yang sangat besar yang langsung menghadap pada tempat tidur. Di sisi lain ada satu televisi layar lebar dan satu sofa dengan satu meja kecil. Tak ada lagi lainnya. Elard duduk di ujung tempat tidur. Kembali menatap sekitar dan merasa semakin iba pada ibunya. Ternyata di tengah hingar-bingar hidup ibunya, sebenarnya tak pernah ada kebahagiaan. Kesepian menjadi satu-satunya teman saat ibunya beristirahat. Kembali rasa sesal sebagai anak menyelimuti hatinya. Andai saja dirinya bisa memaafkan Susan lebih cepat. Andai saja dirinya bisa menerima ketulusan Susan lebih cepat. Dan semua andai-andai yang bisa menyelamatkan hidup Susan lebih cepat. Teringat kata selamat, teringat juga akan kematian Susan, ibunya. Ada sesuatu yang janggal yang belum ia ceritakan ke Mahesa. Ia mengambil ponsel dalam saku, saat melihat waktu yang tertera di layar ponsel, Elard memutuskan mengirim pesan pada Sasi terlebih dahulu. Elard: 'Sudah tidur?' Sasi: 'Kamu baik-baik saja?' Elard: 'Saya baik-baik saja. Istirahatlah.' Sasi: 'Kamu di mana?' Elard: 'Rumah Mama.' Untuk pertama kalinya Elard menyebut panggilan 'Mama' untuk Susan di hadapan orang lain. Biasanya ia akan menyebut nama saja. Meski terlambat, sudah sepatutnya Elard tidak kurang ajar dalam memanggil ibu kandungnya. Sasi: 'Kamu baik-baik saja di sana?' Elard tersenyum. Pesan Sasi yang menanyakan apakah ia baik-baik saja, dikirim berulang, menandakan betapa pedulinya gadis itu. Elard senang. Ia merasa masih ada harapan untuk hubungan dirinya dan Sasi. Elard: 'Istirahatlah, Sas. Jangan terlalu banyak berpikir. Saya baik-baik saja. Saya akan mengabari kamu selalu. Agar kamu tenang.' Semenit, dua menit, tiga menit berlalu. Elard gelisah. Ia berniat untuk menelepon. Baru saja akan menghubungi Sasi, sebuah pesan, masuk. Sasi: 'Jika kamu butuh teman bicara. Teleponlah saya.' Elard kecewa saat membaca kata 'teman'. Sasi belum bisa menerimanya. Pun begitu, Elard tidak akan mengabaikan Sasi. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Masih ada kesempatan. Elard: 'Terima kasih. Istirahatlah.' Elard menghela napas dan mulai menghubungi Mahesa. Tak lama telepon tersambung. "Bagaimana?" tanya Mahesa. Nadanya terdengar penasaran. "Ada yang ganjil." "Ganjil bagaimana?" "Mama memang dari klub malam. Tapi dia tidak mabuk. Dia memang meminum minuman beralkohol. Tapi kadarnya masih kecil. Kecelakaan itu juga aneh." "Anehnya bagaimana?" "Itu memang kecelakaan tunggal. Tapi saya melihat baretan samar cat warna hijau. Mobil Mama berwarna merah." "Ada yang menyenggol." Elard tidak yakin apakah Mahesa sedang bertanya ataukah sedang memberikan analisa. "Sepertinya begitu. Senggolan disengaja. Saya masih bingung dengan kronologinya. Katanya saksi mata melihat ada mobil  melaju berlawanan arah, tepat di jalur Mama, dan tak lama muncul mobil lain di sisi kanan Mama." "Apa warnanya?" Elard menghela napa panjang. "Saksi mata tidak yakin. Katanya mobil di sisi kanan seperti tiba-tiba muncul. Warnanya antara gelap dan hijau," "Hijau tentara." "Maksudnya?" "Mobil yang dicat dengan warna hijau khas di ketentaraan, memang akan memberikan kamuflase saat kurangnya sinar." Elard terdiam sejenak. "Kesengajaan." "Apakah kamu punya dugaan? Apakah orang itu adalah orang yang sama yang sedang kita buru?" "Iya. Dia adalah orang terakhir yang ditemui Mama." "Tapi alasannya apa, Elard? Bertemu terakhir, cinta pertama, dan niatan mempertemukan kamu dengan Sasi, itu semua tidak bisa menjadi arahan ke Daniel." "Mama mengetahui sesuatu. Mama pasti mengetahui sesuatu yang membuat Daniel terusik. Yang jelas, Mama mengetahui perihal Albert dan Saraswatir, orang tua Sasi. Mama bahkan sempat menemani Saraswati melahirkan Sasi." "Serius? Kamu serius?" "Iya. Tapi, Mama tidak tahu itu Sasikirana. Ia masih menduga-duga. Saya khawatir dugaannya disampaikan ke Daniel. Dan...." "Dan Daniel benar-benar terusik karena da orang lain yang tahu masa lalu Sasi. Meskipun ibumu masih menebak-nebak," potong Mahesa. "Ya." Terdengar helaan napas dari Mahesa. "Jika ini benar, maka dosa Daniel semakin bertambah." "Jika ini benar, kematian Daniel ada di tangan saya." Elard mengepalkan tangan. "Apa yang akan kamu lakukan." "Ada seorang polisi yang memberikan saya kartu nama. Sikapnya aneh. Dia minta saya menghubunginya." "Kamu sudah menghubunginya?" "Belum. Bisakah kamu minta tolong temanmu untuk melihat seberapa bersih dia. Kamu sendiri yang bilang jika Daniel punya cengkeram di kepolisian. Jika dia memang bersih, saya akan minta tolong dia memastikan penyebab kematian Mama." "Siapa namanya?" "Alim. Detailnya, nanti saya foto dari kartu nama yang dia berikan." "Baik." "Sementara itu dulu. Tolong jaga Sasi." Mahesa tertawa geli. "Pikirkan dirimu dulu. Sasi aman bersama saya." "Terima kasih," ujar Elard pelan karena malu. Sikapnya terkesan berlebihan. Padahal status hubungannya dengan Sasi tidak jelas. Setelahnya, telepon ditutup. Elard berdiri diam di depan lukisan Susan. Lukisan itu sedikit erotis dengan usia Susan yang sepertinya masih sangat muda. Terlihat Susan tidak berpakain. Memunggungi si pelukis. Salah satu tangannya memegang kain seprei yang digunakan untuk menutupi d**a. Sedangkan tangan satunya memegang setangkai mawar hitam yang didekatkan di bibirnya. Rambut berantakan, bibir merah, ia bersikap seolah baru saja bangun tidur. Atau, baru saja selesai berhubungan badan. "Dengan siapa?" gumam Elard lirih. Ada semacam puisi satu bait di pojok kanan bawah. Ditulis kecil dengan cat warna hitam. 'Cinta kita adalah bahagia yang juga sedih dan sedih yang juga bahagia. Keduanya bukan pilihan melainkan takdir. Percayalah abadi. Dariku untukmu. Sepenuh hati.' Di bawah puisi tertera inisial 'DG'. Daniel Geofrey? Dia yang melukis ataukah dia yang berpuisi? Tanya Elard dalam hati. Apa pun jawabannya, apa pun kemungkinannya, sangat mustahil Daniel memiliki kemampuan seni melukis dan apalagi berpuisi. Masih diingatnya kata-kata Susan. "Elard. Dengarkan, Mama. Dan jangan berprasangka akan apa pun terhadap Mama. Hanya saja, Daniel sebenarnya adalah orang yang keji." Tiba-tiba angin dingin berembus dalam ruangan yang jelas sangat tertutup. Elard mengernyit bingung dan mengedarkan pandangan pada sekeliling ruangan. Sampai matanya menangkap sesuatu di tempat tidur, tepatnya di bawah bantal. Warnanya yang putih serupa seprei, membuatnya kurang perhatian di awal. Elard mendekat. Kernyitannya semakin dalam. Itu selembar kertas. Saat dibukanya bantal, Elard terkejut. Matanya membelalak. Ia tak menduga akan apa yang ia dapati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD