Chapter 8

1020 Words
Cinta yang terpisah. Lukanya bisa menjadi borok. Bisa sembuh jika menemukan cinta baru yang benar-benar dicintai dan mencintai. *** Susan tidak punya mimpi. Ia terlalu lelah untuk banyak hal. Sehari-hari ia menangis sendirian. Menutup wajah dengan bantal hanya agar tangisannya tak terdengar keluar. Hanya agar makiannya tak sampai ke telinga sang ayah. Hanya agar tidak ada seorang pun yang tahu kalau ia sedang lemah. Sehari-hari juga ia mengenakan topengnya. Di hadapan semua termasuk di hadapan kekasihnya, ia adalah Susan yang sama. Gadis ceria yang angkuh karena ia memiliki segalanya, kepintaran, kecantikan, dan kekayaan. Pun begitu keangkuhannya adalah bagian dari daya tariknya. Tapi keadaan berbalik, setelah di rumah apalagi di dalam kamarnya sendiri. Ia menjadi Susan yang sangat berbeda. Pemarah, mudah tersinggung, penyendiri, pemurung, dan suka menangis. Melakoni ragam emosi dan perilaku berbeda, membuat tak hanya fisik, batinnya juga sangat lelah. Ia merasa sendiri dan tak punya siapa-siapa. Bahkan kekasihnya pun, tak bisa menjadi sesuatu baginya. Setelah acara pertunanngan selesai dan semua orang pulang. Susan meluapkan semua emosinya di kamar. Ayah, ibu, juga dua saudaranya tak peduli. Dibiarkannya Susan berteriak juga menangis. Yang penting hajatan sudah selesai. Ayahnya, Tom, dengan sengaja berteriak di depan kamar Susan. "Biar! Biarkan anak manja ini melakukan apa saja. Nanti, saat ia menjadi ratu, anak ini akan sujud dungkur di kaki kita dan bilang terima kasih." Susan melempar vas di nakas ke arah pintu kamarnya dan kembali meraung. Sesudahnya ia jatuh tertidur tanpa mimpi apa-apa. Sampai kemudian ia merasakan tubuhnya diduduki dan lehernya dicekik kuat. Tak ada udara masuk, tenggorakannya bahkan terasa panas. Cepat Susan membuka mata lebar. Dalam kegelapan, diterangi sinaran bulan dari luar, ia bisa melihat wajah Daniel. Daniel masuk melalui jendela yang memang selalu terbuka. Susan memang suka tidur dengan jendela terbuka. Wajah kekasihnya itu begitu mengerikan. Beringas dengan gigi-gigi yang mengatup rapat. Matanya liar menatap Susan. Susan kemudian memegang kedua pergelangan tangan Daniel yang berada di lehernya. Kedua mata Susan tak lagi panik. Tak ada ketakutan. Ia sangat mencintai Daniel melebihi apa pun. Ia sudah melukai hati kekasihnya itu dan ia ikhlas mati di tangan kekasihnya. "La...laku...kan. La...kukan.... Da...niel," pinta Susan dengan napas terputus-putus. Digenggamnya erat tangan Daniel agar tak melepaskan cekikannya di leher Susan. Daniel tidak bisa. Ia tak sanggup. Susan adalah cinta terbesarnya. Kematian Susan adalah kematiannya. Ia tak mau. Dengan tangan gemetar, Daniel melepaskan cekikannya. Seketika air mata mengalir dari pelupuk mata Susan. "Ke...napa? Kenapa Daniel?" Daniel tak menjawab, ia justru menyentak tangan Susan yang masih memegang erat pergelangan tangannya. Kemudian ia duduk di tepi tempat tidur, kedua tangannya menutupi wajah, dan punggungnya bergetar. Susan masih mengatur napas. Dengan tangan gemetar, dibelainya pinggang sang kekasih hati. Kemudian perlahan ia bangkit, bergeser mendekati Daniel. Dipeluknya Daniel dari belakang dan bersamanya, Susan menangis. "Maaf. Maafkan saya." "Kenapa kamu tidak cerita?" tanya Daniel dengan suara lirih. "Saya tidak bisa. Saya tidak sanggup." "Kamu tahu kalau saya sangat mencintaimu, 'kan?" Daniel memutar tubuhnya dan mengubah posisi Susan menjadi memeluk dadanya. "Saya pun begitu, Daniel. Milik saya sudah saya berikan padamu. Tanda bahwa saya sangat mencintaimu. Tapi..., saya tidak bisa melakukan apa-apa." "Karena orang tuamu atau karena lelaki itu lebih kaya?" Pertanyaan yang menyakitkan dan Susan melepaskan pelukannya. Ditatanya tajam mata daniel dengan air mata yang masih mengalir. Jika tadi ia menangis karena sedih. Kali ini ia menangis karena kecewa. Kekasihnya memiliki pikiran yang sebegitu rendah. "Kenapa kamu memberikan saya pilihan yang harusnya kamu tahu apa jawabannya? Apa kamu menilai saya serendah itu? Bunuh saja saya jika begitu. Bunuh!" pekik Susan sembari meraih tangan Daniel dan meletakkannya di lehernya yang jenjang. Daniel mengibaskan tangannya. Memalingkan wajahnya. "Maaf." "Jahat kamu. Jahat kamu." Susan menekuk kedua kakinya, melipat kedua tangan, dan ia menangis telungkup pada tangannya. Hati Daniel pedih. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Dia sendiri tak berdaya. Dari segi usia, ia kalah, bahkan ia masih tercatat sebagai siswa SMA. Dari segi harta, ia memang kaya-raya, tetapi lelaki itu jauh lebih kaya. Pun begitu, andai nekat, maka hidupnya dan Susan akan menderita. Kedua orang tua mereka akan mengusir keduanya. Tangisan Susan yang lirih, membuat Daniel makin terpuruk. Ia menoleh ke arah Susan yang menangis duduk dengan kaki dilipat. Didekatinya Susan dan dipeluknya kekasih hatinya itu. Susan semakin menderita. Belum berpisah ia sudah rindu. "Jangan menangis," bisik Daniel di telinga Susan. Dikecupnya telinga itu dan kemudian dikecupnya kedua mata Susan yang berair. "Sudah cukup menangisnya, Sayang." Daniel menangkup wajah Susan dengan kedua tangannya. "Apa pun yang terjadi padamu, atau pada saya, jauh di dalam hati saya, sudah ada kamu. Hati lebih abadi dari semuanya, Sayang." Daniel membelai lembut wajah Susan. Ditelusurinya bibir ranum Susan yang sampai kemarin ia mengira akan menjadi miliknya seumur hidup. Perlahan ia mendekatkan wajah. Menempelkan bibirnya ke bibir Susan. "Jadikan ini kenangan kita selamanya." Daniel melumat dunia Susan. Dibelainya lembut wajah, leher, dan d**a Susan. Diingatnya dalam kepala juga hati bagaimana lekuk tubuh dan kelembutan Susan. Diingatnya juga desahan Susan yang mengharap lebih. Juga pekikan suara kepuasan Susan yang menyebut namanya. Susan tertidur dalam pelukan Daniel. Tak ada air mata, bahkan senyum mengembang di dalam wajah teduhnya yang tertidur tenang. Daniel sendiri tidak tidur. Ia terus membelai Susan. Memastikan kekasihnya itu bahagia meski itu dalam mimpi. Menjelang subuh, Daniel melepaskan diri. Mulai berpakaian. Perlahan, ia kembali tidur miring menghadap Susan. Dibelainya kepala susan dengan sangat hati-hati. "Kamu harus bahagia, Sayang. Kamu harus bisa bahagia tanpa saya. Kelak, jika kita bertemu lagi, tak akan ada mawar hitam untukmu. Karena saya sendiri yang akan mengubah cintamu menjadi cinta yang paling membahagiakanmu. Saat kamu bangun. Bacalah pesan dari saya dan mawar hitam terakhir dari saya." Daniel mencium bibir Susan lama dan kemudian segera pergi keluar dari kamar Susan melalui jendela. Yang Daniel tidak tahu. Susan menangis. *** Elard menutup buku harian bersampul kulit sapi. Di bagian itu, ada mawar hitam yang sudah kering. Mawar hitam terakhir dari Daniel. Dibukanya lagi kertas putih yang sudah sedikit cokelat dengan garis lipat yang sangat jelas. Di kertas itu ada gambar sketsa Susan, dengan puisi sebait di pojok kanan bawah. Persis dengan lukisan besar yang ada di kamar Susan. Rupanya itu pesan terakhir Daniel untuk Susan. Elard tak bisa memikirkan sosok ibunya dan Daniel yang dulu dengan sekarang, begitu berbeda jauh. Perubahan yang sangat drastis. Sebegitu sakit cinta yang dipisah paksa, membuat keduanya menjadi pribadi yang keji. Meski Susan kemudian mencoba memperbaiki semua. Kini Elard menjadi iba dan kasihan terhadap Susan, karena jika dugaannya benar, maka sang kekasihlah yang menghantarkan Susan ke alam baka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD