Chapter 9

936 Words
Aku ingin bertemu dengan dia yang terkasih. Beri aku jalan menuju padanya, hai, Takdir. *** Adia sudah merapikan mesin kas dan sudah selesai melakukan pencatatan pada laporan keuangan. Ia memandang sekitar dan memastikan semua jendela tertutup rapat dan lampu mati. Menyisakan lampu kuning di dekat meja kasir, tempatnya sekarang duduk. Gadis berkucir kuda itu mengarahkan tatapannya pada Felix yang memainkan vas bunga. Felix terlihat tidak ada di tempatnya. Ia berkelana  ke mana-mana. Adia tahu, apa yang sedang dipikirkan Felix. Tetapi sebisanya ia tidak bertanya meski untuk kesopanan. Sekali bertanya, maka akan ada pertanyaan lanjutan dari Felix dan itu pasti perihal Sasi. Tak lama Janu dan Doni keluar dari arah dapur. Seperti biasa, fokus perhatian Adia adalah pada Janu. Lelaki jangkung dengan rambut pendek dan agak bergelombang. "Sudah semua?" tanya Adia. Doni dan Janu mengangguk pada Adia. Sama seperti Adia, keduanya kemudian mengarahkan tatapan pada Felix yang memainkan vas bunga tetapi melamun. Keduanya kemudian berdiri di depan meja kasir. Adia kemudian menyelempangkan tasnya dan bersiap berdiri. "Tunggu. Tunggu dulu." Doni Menggerakan telapak tangan kanannya naik turun. Isyarat untuk mencegah Adia bangun dari duduknya dan Adia mengurungkan berdiri. "Apa? Ada apa?" Adia keheranan, menatap Janu dan Doni bergantian. "Kami mau tanya." "Tanya? Tanya apa?" Adia menatap Doni. "Kamu harus jawab." "Aduh, ada apa, sih? Mau tanya apa?" "Teh Sasi di mana?" Adia mengernyit. "Kan sudah pernah bilang, istirahat." "Ya, tapi di mana?" desak Doni. "Di suatu tempat." Adia mulai merasa tidak nyaman. Dilihatnya Felix yang kini sudah tak memainkan vas bunga dan justru menatapnya tajam. "Kenapa kami tidak boleh tahu? Kenapa dirahasiakan?" tuntut Doni. Ini seperti persidangan dan Adia adalah terdakwa. "Nanti juga Sasi bilang." Adia sudah akan berdiri ketika tiba-tiba Janu sudah ada di dekatnya. Adia terjepit. Janu jelas mennghalangi jalannya keluar. Dan Janu juga teramat dekat. Satu tangannya di meja dan satunya di sandaran kursi. Adia tidak tahan dengan posisi terjepit seperti ini. Aroma Janu menggodanya sampai pada bagian terdalam tubuhnya, membuat bibir dan tenggorokannya terasa kering. Dengan susah payah Adia menelan air ludahnya dan menjilat bibirnya. Tindakan Adia membuat Janu kepayahan. Ada yang berontak di dalam dirinya menuntut merasakan bibir Adia yang basah. Kedua tangannya sekuat tenaga di tahan pada meja dan sandaran kursi. "Bagaimana...." "Hah?" Buyar sudah  imaji eksotis Adia. Ia melongo karena tidak mengerti pertanyaan Janu. Janu cepat-cepat mengembalikan keadaan. "Bagaimana kami bisa menghubungi Teh Sasi. Nomernya yang lama dimatikan." Adia teringat perdebatan tadi pagi antara Mahesa dan Sasi. Sasi bersikeras untuk menggunakan nomer yang sudah hampir dua tahun ini dipakainya. Dia tidak mau membeli nomer baru. Sasi masih ingin berhubungan dengan orang-orang yang sudah berbaik hati dan mejadi temannya selama pelarian. Termasuk Felix, Janu, dan Doni. Mahesa yang tadinya ingin Sasi menututp akses, akhirnya tidak tega melihat linangan air mata Sasi yang merasa selalu dijauhkan dari banyak orang. "Sudah dihidupkan, kok." Srek.... Semua menatap ke arah Felix yang langsung berdiri. Tindakannya membuat bunyi nyaring pada kursi yang digeser keluar. Tanpa bicara sepatah kata pun, Felix masuk ke ruangannya yang dulunya adalah ruangan Sasi, dan menutup pintunya keras. Semua bisa menduga apa yang dilakukan Felix. *** Elard mematikan ponselnya. Sudah dua kali dicoba untuk menelepon Sasi, tetapi sambungan telepon gadis itu sedang dalam panggilan lain. Akhirnya Elard mengirim pesan WA ke Sasi. 'Kenapa belum tidur? Sedang berbicara dengan siapa? Telepon saya jika kamu sudah selesai.' Setelahnya Elard berdiri dan akan masuk ke dalam. Dilihatnya ayahnya yang baru keluar dari rumah. Ia tersenyum saat melihat Elard. Dengan gerakan kepala, ia meminta Elard menunggunya. Elard pun kembali duduk dan menunggu ayahnya ikut bergabung di bangku taman, depan kolam ikan mas koi. Tempat ini adalah tempat ternyaman. Selain sejuk, sudutnya juga agak tersembunyi. Cocok bagi siapa pun untuk menyendiri. Belum lagi bunyi gemericik air yang di desain seperti air terjun, membuat hati tenang. "Belum tidur?" tanya Aaron yang sudah duduk di dekat putranya. "Tadi tidur sudah terlalu banyak." Aaron mengangguk-angguk. "Bagaimana perasaanmu?" Elard terdiam sejenak. Banyak jawaban. Tapi ketimbang menjawab, ia justru ingin bertanya. "Bagaimana pernikahan Papa dan Mama Susan terjadi?" Aaron menghela napas. "Terjadi begitu saja." "Papa tidak melakukan pemaksaan?" "Mungkin.... Mungkin keluarga Susan yang memaksa." "Maksudnya, Pa?" "Susan pernah memaki Papa. Dia menyalahkan Papa yang secara gamblang menyampaikan rasa suka Papa ke ayahnya. Tapi..., sampai pada pernikahan, mamamu tidak memberi reaksi penolakan terhadap Papa. Dari situ Papa menduga, jika Susan dipaksa untuk mau menerima Papa, dan dibiarkan mengatakan atau melakukan apa saja setelah menikah." Elard menatap wajah ayahnya dari samping. Ayahnya terlihat sedih. Pastinya Aaron menyesali banyak hal termasuk menyampaikan perasaan sukanya pada pihak keluarga Susan. Tindakan Aaron mengingatkan dirinya terhadap Sasi. Meski ada perbedaan, tetapi dia yang menyampaikan ketertarikan terhadap Sasi pada keluarga besar Daniel. Dan Daniel memaksa Sasi untuk menerima dirinya, sama dengan keadaan Susan. Aaron melirik pada buku bersampul kulit yang rasanya pernah ia lihat, dulu. "Apa itu milik Susan?" "Papa tahu?" tanya Elard takjub. "Papa sepertinya pernah melihatnya dulu." "Ya. Ini milik Mama. Nggg.... Apa.... Apa Papa tahu kalau Mama punya kekasih sebelum Papa?" "Ya. Papa tahu. Papa tahu juga setelah menikah." "Dari mana Papa tahu?" tanya Elard penasaran. Ia berharap ibunya tidak lebih keji lagi dengan bersikap sengaja memberitahu Arron kalau dia mencintai orang lain. "Dari lukisan. Saat itu ada kurir mengantar lukisan teramat besar yang ternyata pesanan khusus dari Susan. Papa tahu siapa pelukisnya. Tetapi tidak ada inisial nama pelukisnya, yang ada justru nama inisial yang asing dengan puisi." Aaron menunduk dan tertawa sinis. "Hanya orang bodoh yang tidak bisa menerka jika lukisan itu punya makna khusus, apalagi ada inisial asing yang justru bukan inisial si pelukis, sudha bisa ditebak itu inisial nama siapa." Ayahnya juga menderita. Susan juga. Dirinya juga. "Maafkan Mama, Pa." Aaron tersenyum. "Papa sudah jauh lebih lama memaafkan mamamu." Keduanya tersenyum dan menatap kolam ikan. Tak lama ada pesan masuk untuk Elard dari Sasi. "Pa. Saya masuk dulu. Papa gak masuk?" Aaron mengangguk. "Papa masih ingin di sini dulu sebentar. Oh ya. Opamu tadi menelepon Papa. Ia memintamu datang sendiri besok." "Baik, Pa." Kemudian Elard melangkah meninggalkan Aaron sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD