Chapter 10

1092 Words
Pada titik ini aku cemburu. Aku cemburu karena ternyata aku begitu mencintaimu dan aku tak mau kehilanganmu. Lagi. *** Tergesa Elard masuk ke rumah. Langkahnya lebar untuk mempercepat jarak dan waktu menuju kamarnya di lantai atas. Dirinya harus segera menelepon Sasi. Ia sangat penasaran dengan siapa Sasi sebelumnya. Bunyi pesan singkat Sasi hanya mengatakan, 'Ya, saya belum tidur'. Sampai di kamar, Elard justru terdiam menatap ponselnya. Tiba-tiba ia bingung sendiri dan kemudian mondar-mandir seperti setrikaan rusak. Ia bingung harus bicara dengan nada bagaimana, marahkah, kesalkah, atau dingin saja? Elard juga bingung kata-kaata apa yang tepat untuk bertanya. Siapa yang dia telepon? Tidak, tapi siapa yang nelpon Sasi jam segini? Kenapa Sasi gak langsung bilang saja? Arghhh..., barin Elard kesal. Dalam kebingunganya, ponsel Elard berdering, membuat pria tampan itu tersentak kaget. Ketika membaca nama tertera di layar, Elard makin tak menentu. Itu dari Sasi. Tak mungkin membiarkan lama. Akhirnya Elard mengangkat teleponnya dengan duduk di ujung tempat tidur. "Elard." "Kenapa belum tidur?" tanya Elard. Hatinya berdebar-debar tidak karuan. "Saya menunggu Adia dulu." "Tadi nelpon siapa?" Akhirnya Elard bertanya. Ia tidak peduli lagi jika Sasi nanti menganggap dirinya pingin tahu. "Saya ditelpon." "Oleh?" Hening. Sasi tidak segera menjawab dan itu membuat Elard semakin gelisah. Ia memilih berdiri agar bisa tenang dengan mondar-mandir. "Felix." Tak ada suara yang keluar dari Elard selain ekspresi terkejut dan langkah yang terhenti. Hatinya bergemuruh cemburu. Ini yang paling tidak ia suka saat Mahesa mengatakan Sasi bersikeras menggunakan nomer yang sudah dipakainya selama di Bandung. Kemungkinan tentang Felix yang akan menghubungi. Felix memang sudah ditemui Mahesa secara pribadi agar Felix tidak mencari Sasikirana. Tapi, itu permintaan untuk sementara waktu. Mungkin mengetahui nomer Sasi sudah aktif, bagi Felix ini kesempatannya masuk lagi. Sialan! umpat hati Elard "Apa?" tanya Sasi yang membuat Elard keheranan. Sasi dengar suara batin? "Enggak. Enggak kenapa-kenapa. Ada apa dia telpon?" Kembali Elard malu. Ini pertanyaan interogasi, sedang Sasi sudah bukan tunangannya. "Tidak ada. Tidak banyak. Dia minta untuk bertemu." "Jangan!" pekik Elard spontan. "Hah?" Elard merapatkan mata. Ia sudah kacau dengan dirinya sendiri. Belum juga urusan hatinya dengan Sasi selesai, sudah ada orang lain mau masuk. "Maksud saya. Sebaiknya jangan dulu." Diam. Tak ada jawaban. Elard kesal kenapa Sasi harus menelepon jika ada pilihan video call. Kalau seperti ini, dia tidak bisa menilai reaksi Sasi. "Kenapa?" Pertanyaan yang polos dengan nada yang lugu, membuat Elard menggigit bibir bawah menahan emosi. Ia tidak sedang marah ke Sasi. Ia marah pada diri sendiri yang tidak bisa menjawab atau kalau pun terjawab, itu hanya karangan belaka. "Ya..., karena..., belum saatnya." "Maksudnya?" "Kamu sudah tanya Mahesa." Cepat Elard mengalihkan. Ia sudah tak punya jawaban. "Belum. Saya menelponmu dulu." "Kamu tanya dulu sama Mahesa." Senyap. "Sas?" "Saya ingin bertemu teman-teman saya. Mereka yang menemani dan melindungi saya selama ini. Menghilang dengan cara seperti ini, saya merasa tidak enak hati. Kak Mahesa pasti tidak mengijinkan." Meski tak melihat, tapi dari nada suara Sasi, Elard tahu Sasi pasti sedang sedih. Terkukung, bersembunyi, berlari, bukan hal ringan dilakukan seorang gadis sendirian. Teman adalah penguat selain sebagai penghiburan. "Kalau Kak Mahesa tidak mengijinkan. Apakah kamu mau ijinkan?" Elard tercenung mendapat pertanyaan itu. Satu, kenapa Sasi musti bertanya padanya, seolah dirinya masih punya otorisasi terhadap hubungan mereka berdua. Kedua, Elard benar-benar tidak tahu harus menjawab bagaimana. Haruskah ia jujur kalau dirinya tidak suka Sasi bertemu Felix, laki-laki yang sangat jelas menyukai Sasi? Ataukah bersikap pura-pura dewasa dan mengijinkan Sasi bertemu Felix? "Tunggulah. Tunggulah sampai setidaknya saya pulang. Tidak apa-apa, 'kan?" *** Sasi tersenyum sendiri setelah mengakhiri hubungan teleponnya dengan Elard. Teringat percakapan terakhirnya dengan Elard sebelum telepon berakhir.   "Kenapa? Kenapa saya harus menunggumu?" tanya Sasi penasaran. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang Elard mau atas kehidupan pribadinya. "Ya..., nggg..., kamu belum bisa pergi sendiri." Jawaban yang dibuat-buat, Sasi cukup tahu Elard sedang mencari-cari alasan. "Saya bisa pergi bersama Kak Mahesa." Diam. Sasi menunggu gelisah. Ia penasaran akan apa yang sedang Elard lakukan dan bagaimana ekspresi lelaki itu. Tapi, ia tidak mau ekspresinya akan terlihat oleh Elard. Itu kenapa ia urung untuk video call. "Besok, semalam-malamnya, saya akan pulang ke Bandung. Tunggu saya. Nanti saya temani menemui Felix." "Tidak. Tidak mau. Nanti kamu marah-marah tidak jelas dan membuat keributan seperti saat di rumah sakit." Sasi bisa mendengar helaan napas Elard. "Tidak. Saya janji tidak akan mengganggu kalian." "Sungguh?" "Iya. Saya hanya akan mengantarmu, menjagamu. Saya tidak akan mengusikmu." Pernyataan yang terdengar sangat serius tapi juga terdengar memaksakan diri. Sepertinya Elard sedang berusaha keras untuk memperbaiki keadaan. "Sas." "Iya." "Saya tidak akan biarkan kamu sendiri lagi. Meski kamu mengusir. Saya tidak akan pergi." "Kenapa?" Sasi sendiri kemudian bingung kenapa ia harus bertanya 'kenapa'. Seolah dirinya menuntut ketegasan akan sikap Elard dan ini memalukan. Bukankah Elard sudah membuang dirinya? "Karena...." "Karena apa?" tuntut Sasi. "Karena.... Kamu...." "Saya kenapa?" Jantung Sasi berdebar-debar. Ia kesal dengan cara Elard bicara yang sekata-sekata. Membuat rasa penasarannya emmbuncah. "Nyona Adelard Blenda." Andai tidak ingat akan kakinya yang masih diberi gips, Sasi pasti sudah loncat-loncat dan beguling-guling. Dalam hatinya meledak rasa. Tak bisa melakukan lebih, Sasi hanya mendekap ponsel di d**a, memejamkan mata, menggigit bibir bawah, dan tertawa kecil. Ia pun hanya menggelengkan kepala kuat-kuat, menepis rasa malu. Sampai kemudian ia teringat bahwa dirinya sudah melakukan hal bodoh. Sasi mematikan sambungan telepon tanpa memberi salam perpisahan. Ada perasaan bersalah menyelip dan Sasi tidak tahu harus berbuat apa. Elard marah gak, ya? Bodoh! Kenapa tadi langsung dimatikan? Kenapa Elard tidak menelepon balik? Dia pasti marah. Dia pasti kecewa. Arghhh.... Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sasi ngedumel dalam hati. Menyalahkan diri sendiri. Tak lama pesan masuk dan itu dari Elard. Berdebar-debar Sasi membuka isi pesan dan membaca. Elard: 'Maafkan saya. Kamu jangan marah, ya. Kamu mau kan menunggu sampai saya datang?' Sasi terkejut. Ternyata Elard tidak marah. Lelaki yang dulunya arogan, kini justru merendah dan meminta maaf untuk salah yang tak diperbuatnya. Sasi: 'Saya yang minta maaf. Tidak sengaja saya memencet tombol akhiri panggilan.' Elard: 'Kamu mau, 'kan nunggu saya? Saya yang akan menemanimu menemui Felix.' Tak bisa menolak. Sasi luluh. Sasi: 'Iya.' Elard: 'Setelah Adia di rumah. Segeralah tidur, ya. Jangan terlalu malam istirahatnya.' Sasi: 'Kamu juga. Kamu harus istirahat cepat. Janji?' Pesan sudah terkirim dan Sasi memukul lembut keningnya. Ia kembali malu karena menuntut Elard berjanji. Elard: 'Setelah menyelesaikan sedikit urusan, saya janji untuk tidur cepat.' Sasi tersenyum. Merebahkan tubuhnya yang tadi duduk bersandar. Dinyalakannya layar ponsel dan dia menatap foto utama yang mana ada foto Elard mencium keningnya. Foto yang diambil saat pernikahan Aileen di Bandung dua tahun lalu. Foto yang sengaja disematkan Elard untuknya. Mahesa mengijinkan ia menggunakan ponsel pemberian Elard, setelah nomer lama dibuang. Dulu ia mempertahankan ponsel itu karena satu, ada banyak foto kenangan yang entah bagaimana sudah disalin Elard dari ponsel lamanya ke ponsel baru pemberiannya. Dua, karena ada beberapa foto kebersamaan antara dirinya dan Elard. Tiga, karena Elard hanya tahu satu nomer itu. Saat pelariannya, beberapa kali berharap Elard akan mengiriminya pesan ke nomer lama itu. Saat Sasi mengenang masa-masa di Bandung melalui foto di layar ponsel, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Sasi membelalak mendapati Adia di ambang pintu dengan napas tersengal-sengal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD