Chapter 11

1206 Words
Aku berlari dari cinta. Aku masih takut menghadapi cinta. Lukanya masih membekas. *** Keheningan sesaat setelah Felix masuk ke ruangannya. Kecepatannya berpindah dan begitu saja menutup pintu hingga seolah membanting, membuat Adia, Janu, dan Doni terkejut juga kasihan. Sangat terlihat jelas jika Felix begitu merindukan sosok Sasikirana. Semua akses ditutup, membuat bos mereka semakin terpuruk pada rindu. "Kasihan, Bos," ucap lirih Doni. "Jalan mundur, nabrak tukang nasi. Bos gak bisa tidur, keinget terus sama Teh Sasi." Janu dan Adia bersama-sama menoleh ke Doni yang masih menatap ruangan Felix. Dengan sengaja Janu menoyor kepala teman lamanya itu. "Halah, masih sempat-sempatnya mantun." Doni menatap tajam Janu dan kemudian melirik Adia. "Halah, masih sempat-sempatnya pepetin anak gadis orang." Janu dan Adia menjadi malu tanpa sebab. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba tidak saling berserobok tatap. Sebenarnya tidak ada yang salah, Janu hanya menghalangi Adia pergi sebelum memberikan informasi. Tapi, posisinya yang membungkuk dengan kedua tangan sebagai penghalang mati, dan jarak kepala yang begitu dekat dengan Adia, membuat siapa saja yang melihat, akan merasakan sesuatu yang romantis. Janu cepat menguasai diri. Ada satu lagi pertanyaan butuh jawaban. Karenanya ia belum mau melepaskan diri dari Adia. "Saya antar kamu pulang, ya." "Uhuk...uhuk..., kesempatan," goda Doni yang tidak digubril baik Janu maupun Adia. Adia harus sedikit mendongak untuk bisa menatap Janu dan Janu sedikit menunduk untuk bisa menangkap mata Adia. Siapa yang tidak kebat-kebit hati ketika kedua mata beradu dan saling menjajaki sampai ke dasar hati. Bagitu penasarannya akan apa yang ada di dalam mata, membuat naluri menggerakkan kepala Janu semakin mendekat ke wajah Adia. Begitu dekatnya, membuat hasrat lain timbul menjadi harap. Hangatnya embusan napas dari masing-masing, seolah menuntut untuk dinikmati bersama. "Hoe! Dasar kalian gak punya hati, ya!" bentak Doni sembari memukul meja kasir. Sontak Janu menegakkan tubuhnya, menggaruk tengkuknya, kembali menatap ke arah lain. Sedang Adia, pura-pura memeriksa isi tas, mengambil ponsel, dan memeriksa pesan. "Kira-kira, dong. Yang di dalam lagi dijerat rindu. Yang di sini malah sibuk menciptakan rindu. Saya sama siapa?" Doni meraup wajah dengan kedua tangan, membuat kulit wajahnya tertarik ke bawah. "Bicara apa, sih?" Janu kembali menoyor kepala Doni. "Saya antar kamu pulang." Gawat! batin Adia. Ini ojol mana, sih? "Saya sudah pesan ojek online," ujar Adia yang segera berdiri dan berniat menunggu ojeknya di luar. Semakin lama dekat dengan Janu, maka petaka dari dirinya sendiri yang sudah terpikat akan Janu. "Batalkan aja." "Gak enak. Juga kan kasihan ojolnya." "Lagian kalau memang niat ngantar Adia, kenapa gak omong dari tadi? Ya, gak, Adia?" ucap Doni. "Hehehe...." Adia meringis saja. Tak mau banyak menanggapi. Atau dia akan tersungkur malu karena Doni jago membuat siapa saja menjadi salah tingkah jika terkait perasaan. "Pokoknya saya antar," tegas Janu, menatap tajam Adia. "Ya, gak bisa." Adia harus mengalahkan hasratnya untuk berkata mau. "Nanti ojolnya bagaimana?" "Cancel aja. Ganti uang." "Gak mau!" "Kamu gak mau karena kamu gak mau kita tahu di mana kamu dan Teh Sasi tinggal. Ya, 'kan?" Tebakan jitu dari Janu membuat Adia diam sesaat. "Kalau iya, kenapa? Lagian, saya gak mau diantar pulang sama orang yang punya maksud dan tujuan lain. Licik!" Adu mata terjadi dengan sengit. Dalam hati Janu, ada rasa malu karena ditohok kata-kata oleh Adia. Apalagi Adia berkata licik untuknya. Pun begitu, Janu tidak bisa terima. Sedangkan Adia, tiba-tiba meradang karena sikap memaksa Janu adalah untuk tujuan lain. Ia berharap dirinya menjadi prioritas bagi Janu. Ting! Denting bel pintu yang berbunyi saat dibuka, membuyarkan semua. Seorang pengendara ojek online masuk dengan senyum manis. "Maaf, mau jemput Mbak Adia." "Iya, sebentar," sahut Adia. Ia memberikan tatapan sengit sekali ke arah Janu dan mendorong d**a Janu. Telapak tangan Adia terasa hangat, menggoyang imajinasi liar dalam diri Adia. Janu pun begitu. Jika ia sekarang sedang bertahan, adalah untuk menikmati jemari kecil itu menyentuh dadanya. "Minggir, Bro. Kasihan itu ojol nungguin," tegur Doni dengan senyum jail. Dengan terpaksa, Janu minggir, memberi kebebasan pada Adia. "Pulang dulu, ya, semua." Adia bergegas keluar bersama ojol. Ia tak bisa terlalu lama lagi di dalam. Akan ada dua hal terjadi. Satu adalah paksaan Janu untuk mengantarnya pulang. Dua adalah paksaan dari diri untuk kembali menikmati dibonceng Janu di atas sepeda motornya. Tepat pintu tertutup. Janu pun bergegas membuka pintu ruangan Felix. Ternyata Felix masih menelepon. Beruntung posisi duduk Felix menghadap pintu. Segera Janu memberi kode kalau ia akan pulang dan Felix membalas dengan anggukan kepala. "Ayo, Don." Janu melangkah cepat menuju keluar. "Ayo ke mana?" tanya Doni bingung tapi tak urung mengikuti juga langkah Janu. "Menemui Teh Sasi." *** Bukan Adia namanya jika dirinya tidak sadar dibuntuti. Dari belakang, melalui kaca spion, Adia bisa mengenali motor Janu dan Doni yang sedang mencoba menjaga jarak. Adia harus berpikir cepat. Ia masih belum hapal lingkungan wilayah rumah tinggal mereka saat ini. Tapi Adia yakin pasti ada jalan tikus. Ia cukup berbekal GPS. Di lampu merah, Adia minta diturunkan di lokasi berbeda dari tujuan. Ia juga langsung memberi bayaran ke driver ojol. Jika sampai pada tujuan yang di maksud, Adia tak mau berlama-lama selain turun dan kemudian melangkah cepat. Tak semudah yang dikira. Janu tidak gentar. Ia tetap membuntuti Adia. Bahkan ketika memasuki gang sempit, Janu memarkirkan motor, dan meminta Doni menjaga. Terpaksa Adia berlari-lari. Berhasil. Kegesitannya dan kelihaiannya tak terkalahkan. Sampai di rumah, sempat ia celingukan, dan kembali berlari masuk. Tiga orang penjaga rumah dan Mang Yana sampai bertanya apa yang membuat Adia berlari. Mereka khawatir orang yang ingin mencelakai Sasi datang. "Neng, aya naon?" teriak Mang Yana. "Ada demit!" teriak Adia yang sudah masuk ke dalam rumah. Mang Yana dan tiga pria besar-besar yang ditugaskan menjaga rumah saling menoleh kebingungan dan kemudian celingak-celinguk menatap sekitar. "Ini malam apa?" tanya seorang penjaga yang wajahnya mulai meringis. "Ini Kamis," jawab temannya. "Malam Jumat," sahut yang lain. "Malamnya demit turun," ujar Mang Yana yang kemudian bergidik dan ikut melangkah masuk. Membiarkan tiga orang bertubuh besar itu merasakan horornya malam Jumat. Di dalam, Adia bergegas ke kamar Sasi. Dibukanya kasar pintu kamar Sasi, membuat si pemilik kamar terlonjak kaget dan menganga melihat tampilan Adia yang sedikit berantakan dan napas tersegal. "Kamu kenapa?" tanya Sasi bingung. Ia kemudian bangun dan mencoba bangkit dari tempat tidur. Adia menggoyangkan telapak tangannya, meminta Sasi kembali duduk saja. Adia sendiri segera melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Melepas penat seasaat. Ia kemudian menoleh ke arah Sasi. "Felix nelpon?" Sasi mengangguk. "Trus?" "Dia minta ketemu," jawab Sasi. "Kamu iyain? Sudah tanya Kak Mahesa? Elard bagaimana?" Adia bangkit dari rebahnya. "Belum saya iyain. Tapi tadi sudah bicara sama Elard." "Trus, trus?" "Elard bilang, untuk menunggunya kembali ke sini." "Huwa.... Sweet sekali." Adia menggoda, membuat Sasi malu. "Tunggu saya pulang, ya, Sayang. Begitu, ya?" "Apa, sih!" Sasi melengos, membuat Adia tertawa lebar. "Kamu kenapa tadi?" Adia menghela napas. "Janu sama Doni mengikuti." Sasi membelalak. "Serius?" "Iya. Saya tadi lewat jalan tikus. Berpatokan sama GPS." "Jangan sampai mereka tahu. Kasihan Kak Mahesa dan Elard. Ini kan tempat persembunyian. Bukankah semakin banyak yang tahu, mereka akan kewalahan menjaga saya, karena akan semakin berbahaya posisi saya." "Iya, Sayang. Saya tahu. Saya paham. Makanya saya kucing-kucingan tadi sama Janu." "Terima kasih." Sasi tersenyum bahagia dan bersyukur memiliki seorang sahabat perempuan yang sudah seperti saudara kandung. "Kamu sendiri bagaimana perasaannya?" "Maksudnya?" tanya Sasi bingung. "Elard dan Felix. Keduanya menyukaimu bahkan mencintaimu. Bagaimana perasaanmu? Pada siapa kali ini kamu melabuh?" Sasi diam. Hatinya bimbang. Sakitnya perlakuan Elard masih suka membayang sesekali. Tetapi kehadiran Elard juga masih dirintukannya. Itu kenapa ia dulu tak membuang ponsel pemberian Elard. Terhadap Felix. Dirinya tidak tahu bagaimana. Felix memberikan kenyamanan yang sempurna. Tiada pernah ada kesah dari Sasi untuk Felix. Lelaki itu juga siaga untuk Sasi. Tapi, hatinya belum berdesir saat bersama Felix. Kebimbangan. Yang satu membuatnya rindu tapi berbahaya. Yang satunya membuatnya nyaman tapi tiada kesan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD