Chapter 12

1008 Words
Hari yang baik. Langit yang biru. Masa lalu diperbaiki di masa kini. Mulai memaafkan yang sudah berlalu. *** Ruang makan yang lengkap di pagi hari setelah sekian lamanya kehilangan satu di antara berempat. Veronica bergitu bersemangat. Ia sendiri yang memasak nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi setengah matang kesukaan Elard. Sebenarnya ia agak lelah karena kemarin seharian membantu mengurusi kematian Susan. Tapi semua hilang demi Elard. Pembicaraan-pembicaraan ringan mengalir. Ditambah Azka yang tak henti menggoda. Semua normal, seolah kematian Susan bukanlah sesuatu yang akan merusak kebahagiaan di dalam rumah. Dan, memang begitu. Kedekatan yang tak pernah ada dengan Susan, justru lebih cepat memulihkan situasi suram di hari kemarin. "Kapan kamu kembali ke Jakarta lagi? Belum selesai itu project di Bandung?" tanya Aaron. "Belum, Pa. Sebentar lagilah. Hari ini saya kembali ke Bandung, ya, Pa, Ma." jawab Elard. "Secepat itu? Baru juga kemarin kamu di sini," keluh Veronica. "Biar cepat selesai urusannya, Ma." "Cepat selesai urusannya atau ada perempuan baru di sana?" Vero menyipitkan matanya. "Perempuan lama aja masih menetap bagaimana bisa datang yang baru," celetuk Azka dengan sengiran kudanya. "Kamu masih memikirkan Sasi?" tanya Vero cemas. "Sudahlah, Elard. Jangan siksa dirimu lagi. Kalau memang jodoh, pasti kalian akan rekat kembali." "Waaa..., berarti jodoh, dong," serua Azka semringah. "Kan sudah ketemu." Sontak semuanya terkejut. Aaron dan Vero menatap tajam Azka menuntut jawaban akan maksud dari kata-katanya. Sedangkan Elard yang duduk di seberang Azka, menatap tajam karena kesal. Belum waktunya semua orang tahu perihal Sasi. "Dalam mimpi. Kak Elard kan sering tidur mengingau panggil nama Sasi." Azka mengedipkan salah satu mata dengan jenaka. Meralat rahasia yang sempat teruap. "Kamu bikin kaget aja. Kalau omong yang benar gitu, lho." Vero sewot dan kembali mengunyah makanannya. "Tapi, mamamu benar Elard. Jangan menutup diri. Di Bandung kan banyak perempuan cantik," ucap Aaron dengan sedikit menggoda. "Kok, Papa tahu? Pernah genit, ya?" tanya Azka. "Tahulah dan pernah." Vero meletakkan sendoknya dan menatap dongkol Aaron. "Ooo... Sedang membuat pengakuan?" Azka dan Elard saling menatap. Bingung harus bagaimana. Ini bukan pertama kalinya Vero mengungkapkan kecemburuannya di meja makan, biasanya kecemburuan di bawa ke kamar. "Iya. Dan itu sangat jujur." Semua bisa merasakan diam Vero yang merupakan amarah. Azka sudah tidak bisa lagi bercanda sedang Elard tidak tahu harus bagaimana. Aaron meletakkan sendok garpunya, menatap Vero dengan senyum manis. "Dan dia sudah menjadi istri paling istimewa dan ibu paling hebat. Tidak tergantikan." Elard dan Azka seketika melepaskan napas panjang. Geli sendiri melihat kedua orang tua mereka berlaku romantis. Tapi tak urung tawa lepas memenuhi ruang makan. "Kapan kamu kembali ke Bandung?" tanya Aaron. "Setelah bertemu Opa Tom." Dan menemui seseorang. Sambung Elard dalam hati. "Cepat selesaikan urusan di Bandung." "Iya, Pa." Elard tidak asal meng-iya-kan. Urusannya di Bandung hanyalah tentang Sasi. Maka jika masalah Sasi selesai, maka urusannya di Bandung selesai. Tersisa urusan hatinya dan Sasi saja. *** Kembali Elard duduk di tepi kolam bersama Opa Tom. Sepertinya, opanya itu menyukai kolam atau mungkin karena jarak yang cukup jauh dari rumah, mengesankan kolam adalah satu-satunya tempat paling aman berbicara. Melihat Opa Tom di pagi hari yang benderang, sangat berbeda dengan Opa Tom saat malam. Begini Elard bisa melihat jelas ekspresi maupun bentuk wajah dan postur opanya. Sangat mirip dengan Susan. Ketampanan ayahnya menjadi kecantikan bagi putrinya. Mata Opa Tom, meski menerawang, tapi sangat tajam dan gelap. Untuk yang ini tak hanya emnurun ke Susan, tapi ke Elard juga. Begitu juga wjah yang keras saat berpikir. Elard merasa berkaca pada diri sendiri. "Susan tidak membuat surat warisan. Sepertinya ini ujian terakhir Susan untuk saya." Elard diam tak mengerti. "Dia tahu bagaimana saya begitu gila harta sampai menjodohkan dia dengan ayahmu. Kedua saudaranya juga melalui perjodohan yang saya tentukan. Harta Susan yang tersisa menjadi ujian buat saya." Diam. Mengambil napas dan Opa Tom melepaskannya perlahan. "Semalam dia datang dalam mimpi saya. Menggandeng anak kecil laki-laki yang terlihat basah kuyup. Dia tidak tersenyum, tetapi dia menyorongkan si bocah ke arah saya. Semakin dekat, saya bisa jelas melihat wajah bocah itu. Kedinginan." Opa Tom kemudian menatap Elard tajam. "Saya tahu kamu pernah tenggelam di kolam karena kelalaian Susan. Maafkan dia." "Saya sudah melupkan, Opa. Saya sudah memaafkan. Kami sudah mulai berkomunikasi meski belum lancar," jelas Elard. "Terima kasih. Mimpi itu memiliki dua makna untuk saya. Yang pertama, Susan seolah sengaja menyalahkan saya atas kamu. Andai saya tak memaksanya menikah, mungkin dia tidak akan menyakiti anak kandungnya sendiri." "Sudah, Opa. Tidak usah menyalahkan yang sudah terjadi. Mari kita berdamai dengan memaafkan masa lalu." Opa Tom kagum dengan cucunya yang ini. Benar-benar bibit unggul. Andai putrinya itu tidak menggila karena cinta, pasti ia akan hidup sangat bahagia, bersama suami kaya raya dan putra yang sangat sempurna. "Apa makna mimpi kedua, Opa?" tanya Elard. "Warisan. Susan seperti meminta saya untuk tidak melupakan kamu dan memang niat saya tidak akan mengabaikan kamu. Jika bertahun-tahun saya tak pernah ada buatmu, itu adalah permintaan Susan sebagai perjanjian. Sekarang Susan tiada. Perjanjian itu batal. Rumah ini menjadi milikmu. Susan punya saham di perusahaan keluarga, itu juga akan menjadi milikmu. Ada juga beberapa aset lain yang atas nama Susan, menjadi milikmu." Elard diam. Menerima atau menolak baginya sama saja. Karena pada dasarnya dia tidak hitang-hitung harta. Bahkan tidak terlintas sedikit pun perihal warisan. Apalagi Aaron juga tak membahas itu yang artinya apa pun milik Susan bukan tuntutan untuk dimiliki. "Kenapa diam?" tanya Opa Tom. "Tidak. Tidak kenapa-kenapa Opa. Hanya saja ini terlalu cepat untuk membicarakan warisan. Ditambah, saya pribadi tidak punya tuntutan." Opa Tom tertawa geli sekaligus senang mendapati ekspresi dan jawaban Elard yang jujur. Ada sesal di hati yang tak bisa ditepis. Dibanding cucu-cucunya yang lain, Elard memang jelas berbeda. Sikapnya yang merendah dan tidak gila harta adalah nilai lebih. Walaupun terbit sesal, tetapi dalam hati bersyukur putrinya pernah menikah dengan lelaki sangat baik dan melahirkan putra yang luar biasa. "Itu hakmu. Ambillah." "Terima kasih." Hanya itu yang bisa Elard jawab. "Ya, sudah. Saya tidak akan menahanmu lama-lama. Kamu akan kerja, bukan?" "Saya akan ke Bandung." "Untuk?" "Ada kerjaan, Opa." "Oh, ya, ya, kan ada hotel dan pusat perbelanjaan milik Blenda di sana. Temui saya kalau kamu di Bandung." "Iya, Opa. Pasti. Kalau begitu, saya permisi dulu, Opa." Elard mulai berdiri. Sedikit membungkuk sebagai penghormatan karena Opa Tom tidak berdiri. Opa Tom hanya mengangguk dan tersenyum. Saat Elard sudah menjauh, Opa Tom menggumam, "Sudah saatnya saya mengganti isi surat warisan untuk Susan." Opa Tom menatap langit yang cerah dengan warna birunya. "Kamu bahagia, Nak?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD