Chapter 13

487 Words
Mulai bersekutu. *** Belum tengah hari, tetapi cuaca sudah sangat panas. Rlard berjalan di antara gang-gang sempit dengan langkah tenang. Postur tubuhnya yang bak bintang film, pakaian sandat yang menunjukkan kelasnya, dan kaca mata hitam, membuat para ibu-ibu dan gadis belia menganga takjub. Mereka kemudian bergosip tentang siapa Elard. Elard sendiri tak peduli. Fokusnya pada GPS di HP. Ia akan menemui polisi bernama Alim yang kebetulan sedang tidak dinas. Semalam Mahesa segera memberitahukan siapa Alim yang ternyata adalah junior dua tingkat di bawah Gusti dan kebetulan lagi Gusti mengenalinya dengan baik. Alim adalah polisi yang kritis dalam pemikiran, tegas, dan punya idelalis tinggi perihal keadilan. Tak heran ia bisa menjadi penyidik. Gusti menjamin, Alim tidak terkontaminasi, dan jika Alim berinisiatif mendekati Elard, maka ada kemungkinan Alim mengetahui sesuatu dan sudah membaca respon Elard. Akhirnya Elard berhenti di rumah yang ciri-cirinya sudah disebutkan Alim dan juga nomer rumah yang sesuai. Rumah sederhana berwarna hijau dengan pagar hitam. Pelatarannya sempit, cukup untuk memarkirkan motor dan menaruh penyangga jemuran pakaian. Elard menelepon Alim, menyampaikan keberadaannya yang sudah berdiri di luar pagar. Tak lama pintu terbuka, Alim tersenyum lebar. Dibukanya pagar dan dipersilakannya Elard masuk. "Maaf, rumah saya kecil. Rumah warisan." Alim menjelaskan dengan masih tetap tersenyum. "Tidak apa-apa. Kecil atau besar, yang penting ada tempat berteduh." "Hahaha..., benar juga. Kopi atau teh?" tawar Alim. "Sudah. Tidak perlu repot-repot. Saya juga tidak bisa lama." Alim tidak tersinggung. Ia paham mobilitas Elard sebagai pebisnis yang mana waktu adalah uang. "Waktu itu, Anda mengejar saya bukan hanya perihal timpaan cat di mobil ibu saya, 'kan?" "Panggil nama saja, Pak Elard," pinta Alim ramah. "Kita sedang tidak di kantor." "Kalau begitu panggil saya Elard saja." Elard tersenyum. Alim menyandarkan tubuhnya. "Iya. Saya sendiri sebenarnya baru menyadari cat itu ya di pagi hari itu." "Hal lainnya?" "Saat kami di lokasi, senior mendapat telpon dari atasan. Saya tidak yakin apa yang dibicarakan, hanya saja kemudian proses investigasi lapangan dipercepat, terkesan buru-buru. Kami bahkan hanya menanyai satu saksi mata." "Itu yang membuat kamu mencurigai sesuatu atau bagaimana?" "Iya. Saya mencurigai sesuatu. Bahkan sekarang perihal kecelakaan itu dianggap kecelakaan tunggal biasa karena korban. Maksud saya, almarhum ibumu dianggap mengendarai mobil dengan teledor. Hingga mobil itu tidak di investigasi lagi." "Kamu tidak menyampaikan timpaan cat itu?" "Sudah. Tapi atasan berkata, bisa saja itu timpaan cat sebelumnya. Dia dengan tegas mengatakan bahwa ini tak perlu diperpanjang. Toh, saksi mata sudah mengatakan bahwa tidak ada kendaraan lain. Rokok?" tawar Alim. "Tidak. Saya tidak merokok." Alim tersenyum. "Lelaki idaman, ya." "Berarti penyelidikan ini selesai? Kamu tidak mencari tahu sesuatu?" Alim mengembuskan asap rokok. "Saya menemukan dua saksi mata yang malam itu tidak ada saat kami datang." "Lalu?" tanya Elard antusias. Alim tak menjawab. Ia justru menatap tajam Elard. "Saya sudah bicara banyak. Kamu sampai menelepon saya dan mengajak bertemu, pasti kamu mencurigai sesuatu, bukan? Tidak mau berbagi?" Elard terdiam sesaat. Ini bukan tentang untung rugi, melainkan tentang kepercayaan. Alim sudah menceritakan sebagian, maka dia berhak untuk mengetahui kebenarannya. "Saya curiga ibu saya dibunuh." Alim terkejut meski sebenarnya dia sudah menduga Elard mengetahui sesuatu. "Ini akan jadi cerita yang panjang." "Saya siap mendengarkan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD