Boneka Pemuas

1146 Words
“I— iya aku mengerti,” jawab Alana yang merasa gugup ketika berada di posisi yang membuat dirinya merasa tidak nyaman. Apalagi posisinya kali ini tergeletak di atas kasur. Selain itu, Nathan menatapnya secara intens lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arahnya. “A— aku mohon jangan lakukan hal apapun kepadaku karena aku belum si....” Alana memejamkan matanya saat tubuh pria itu sudah berada dekat dengannya, lebih tepatnya berada di atas tubuhnya. “Sialan, kenapa wanita ini menggunakan sabun mandi yang biasa dipakai oleh Clarissa? Lancang sekali dia!” Awalnya Nathan hanya ingin membersihkan busa yang masih menempel di puncak kepala Alana karena ia merasa sangat risih saat melihatnya. Tapi ketika berada dekat dengan Alana, pria itu malah mencium aroma sabun mandi yang biasa digunakan mendiang istrinya hingga Nathan mengurungkan niatnya dan pergi. Rasa sesak di hatinya akan kehilangan Clarissa membuat Nathan semakin membenci Alana apalagi setelah wanita itu tanpa izin menggunakan sabun milik mendiang istrinya yang sengaja tidak ia pindahkan. Hal itu tentu mengingatkan Nathan dengan semua kenangan Clarissa dan seharusnya saat ini mereka sedang menantikan kelahiran buah cinta mereka tersebut. Sebenarnya Nathan sendiri tidak ingin benar-benar menikahi wanita yang sudah melenyapkan nyawa istri beserta calon anaknya tapi karena rasa dendam yang seperti sudah mendarah daging membuat Nathan lebih bersemangat untuk membalaskan dendamnya tersebut. Apalagi mengingat Alana yang dibebaskan begitu saja dengan semua bukti yang terdengar seperti omong kosong baginya. “Arrggghhttt....” teriak Nathan setelah sempat membanting pintu kamarnya yang terdengar cukup keras hingga mengagetkan semua orang yang ada di paviliun tersebut. Nathan menjambak rambutnya sendiri sambil duduk di atas tempat tidurnya. Wajahnya tampak memerah di susul dengan cairan bening yang mulai membasahi pipinya. Walau tidak deras tapi itu cukup untuk mewakili hatinya yang saat ini seperti tercabik-cabik. “Sayang, kenapa kau meninggalkanku begitu cepat?” lirihnya yang tidak rela ditinggal pergi oleh istrinya tersebut. Andai waktu dapat diputar kembali mungkin ia akan selalu berada di sisi sang istri. Tapi apalah daya nasi sudah menjadi bubur yang tak akan bisa kembali seperti semula. Nathan kembali bangkit lalu mengacak-acak semua barang yang ada di kamarnya sambil berteriak keras untuk menyalurkan rasa sedih yang bercampur dengan emosi. Sekitar kurang lebih tiga puluh menit, Nathan yang sudah rapi dengan setelan pakaian kantornya keluar dari kamar untuk berangkat bekerja. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di kantor walau sebentar lagi jam makan siang akan tiba. Nathan sempat meminta para pelayan untuk merapikan kembali kamarnya yang sudah terlihat berantakan lagi seperti kapal pecah. Ia juga sempat berpapasan dengan Alana tapi Nathan hanya melengos dengan tatapan sinisnya. Alana membuang napas kasar ketika pria itu sudah pergi dari paviliun. “Tidak bisakah ia tersenyum walau hanya sebentar?” gumamnya. Tak lama Alana melihat beberapa pelayan membawa beberapa peralatan kebersihan menuju lantai atas. Awalnya ia hendak bertanya tapi ia mengurungkan niatnya lalu mengikuti para pelayan tersebut. “Ya ampun, kenapa kamar ini berantakan lagi? Padahal tadi pagi kita baru saja merapikannya,” keluh salah satu pelayan yang membuat Alana semakin penasaran dan mengintip kamar Nathan yang sempat ia masuki tadi. “Astaga, bukankah kamar itu tadi terlihat sangat rapi dan bersih tapi sekarang kenapa seperti itu? Apa yang pria kejam itu lakukan tadi?” Kedua mata Alana hampir saja loncat dari tempatnya setelah melihat kamar Nathan yang sudah tidak beraturan dengan bantal dan bed cover yang sudah berada di lantai bersama beberapa barang lainnya. Apakah baru saja ada angin topan yang sempat mampir di kamar Nathan? “Sudahlah ayo kita rapikan saja karena ini sudah menjadi tugas kita,” balas pelayan yang lain. “Ini memang pekerjaan kita tapi apakah kau tidak lelah melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak lagi kita kerjakan dua kali dalam sehari? Sudah satu bulan setelah kepergian Bu Clarissa, Pak Nathan benar-benar terlihat berubah,” lanjut pelayan yang sempat mengeluh tadi. “Wajar saja karena Pak Nathan baru saja kehilangan Ibu Clarissa serta calon anaknya tapi yang lebih membingungkan adalah kenapa secepat itu beliau sudah menikah kembali?” “Apa kau tidak tahu? Wanita yang sekarang dinikahi Pak Nathan adalah wanita yang sudah menghilangkan nyawa Ibu Clarissa dan juga anaknya?” Alana yang mendengar percakapan tersebut merasa semakin bersalah serta malu karena di rumah ini berita buruk tentang dirinya sudah tersebar sampai para pelayan mengetahuinya. Haruskah ia membela dirinya di depan mereka kalau hakim sudah menyatakan dirinya tidak bersalah? “Heh, sampai kapan kalian akan menggosipkan urusan rumah tangga Pak Nathan? Apa kalian tidak takut jika istri baru Pak Nathan sampai mendengarnya?” kata pelayang lainnya yang memperingati kedua pelayan tadi yang sedang mengobrol. Alana memutuskan untuk kembali ke kamarnya karena ia merasa sangat sedih hingga air matanya saja tumpah membasahi kedua pipinya. Wanita itu merasa sudah tidak punya muka di depan para pelayan Nathan. *** Sekitar pukul sepuluh malam Alana yang sejak tadi menunggu Nathan di ruang tamu terbangun karena Radit sempat berteriak memanggil pelayan agar bisa membantunya membawa Nathan yang sedang mabuk. “Pak Radit, apa yang terjadi dengan Nathan?” tanya Alana. “Pak Nathan saat ini sedang mabuk karena banyak minum di klub tadi, Bu,” jawab Radit. “Kalau begitu saya bantu untuk membawa Pak Nathan ke kamarnya karena sepertinya para pelayan sudah tertidur pulas,” tawar Alana yang dijawab anggukan kepala oleh Radit. Setelah merebahkan tubuh Nathan di kamarnya, Alana menyuruh Radit untuk pulang ke rumahnya karena hari sudah malam. Sebelum kembali ke kamarnya Alana menyempatkan diri untuk mengganti pakaian Nathan yang terlihat basah karena sepertinya pria itu sempat muntah. “Dasar kau pembunuh,” kata Nathan sambil mencekik leher Alana hingga wanita itu merasa tercekik dan memukul tubuhnya. “Kau seharusnya mati saja— Ah jangan kau belum mempertanggung jawabkan semuanya. Nathan mendorong tubuh Alana hingga kini wanita itu yang berada di bawah kungkungannya. Di saat itu juga, Alana benar-benar merasa sangat takut apalagi melihat kedua mata Nathan yang terasa lebih menyeramkan dari biasanya. Dan rasa takut itu semakin bertambah saat pria itu merobek piyamanya. “Aku mohon jangan lakukan itu, aku be—“ Nathan sudah lebih dulu menyambar mulut Alana dengan kasar hingga wanita itu tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Tangisnya pecah ketika mahkota yang selama ini dijaganya direggut secara paksa dan kasar oleh Nathan. Ia memang ingin mempertanggung jawabkan kesalahannya tapi tidak dengan cara seperti ini, setidaknya biarkan ia mempersiapkan diri lebih dulu. Sungguh rasanya sangat sakit sekali karena Nathan terlihat seperti orang yang sedang kesetanan saat melakukannya. Apakah ini salah satu balas dendam yang dilakukan oleh pria itu kepadanya? Tubuh Nathan ambruk tepat diatas tubuh Alana setelah mencapai puncak klimaksnya. Tapi ketika kembali mencium aroma parfum mendiang istrinya, Nathan sempat memeluk tubuh serta mencium pipi Alana yang masih basah dengan air mata. “Clarissa, aku sangat merindukanmu, terima kasih untuk malam ini,” lirih Nathan sebelum menutup kedua matanya yang terasa sudah sangat berat sekali. “Clarissa? Apa ia tidak sadar sudah menggunakan tubuhku untuk memuaskan nafsunya barusan? Apa dia pikir aku ini hanyalah boneka pemuas nafsunya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD