Dua

2143 Words
Aku terpekur di depan meja riasku. Memandang wajahku sendiri di cermin itu. Wajahku sudah selesai dirias, gaun indah berwarna putih tulang terkesan mewah telah melekat indah dan cantik di tubuhku, dengan kerudung yang sama warnanya dengan gaun yang aku pakai. Sampai di sini, aku masih belum mengerti akan keikhlasan yang dimiliki oleh mba Ningrum, istri pertama calon suamiku. Begitu cintanya kah dia, hingga bersusah payah mengantarkan sang suami di depan penghulu untuk wanita lainnya? Berkali-kali aku menghembuskan nafas berat. Hatiku merasakan belum terima, harus menikah dengan pria yang berstatus suami orang. Jujur, aku takut dicap buruk oleh orang di luaran sana. Haruskah hari ini adalah hari pernikahanku? Dengan suami orang? "Kenapa mba membiarkan pernikahan ini terjadi? Apakah tidak ada yang mba takutkan setelah ini? " aku mengajukan protes ini lebih dari satu kali, dan lebih satu kali juga mba Ningrum memberikan penjelasan dan penolakannya untuk menyelamatkan aku lepas dari pernikahan ini. "Takut? Setiap insan pasti ada rasa takut Ra. Aku tidak menampik ataupun munafik. Tapi... Bagiku kebahagiaan mas Aksa adalah impianku, Bersamaku belum pernah aku melihat bahagia yang sebenar-benarnya bahagia. Namun, hanya dengan menyebut namamu pun itu bisa membuat matanya berbinar bahagia, apakah aku harus tega untuk tidak mengabulkan permohonannya..? " jelas mba Ningrum dengan mata yang bahagia, bahkan tidak ada kesan dan nada bimbang saat dia berbicara. Apakah tidak ada cemburu di dalam hatinya? Pertanyaan itu yang terus berdengung di hatiku. Yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya. Tidak semudah itu bukan? Merelakan suami sendiri untuk wanita lain? Aku pikir berkali-kali pun itu tak akan mungkin. Bulshit, jika ada yang bisa ikhlas dan menerima kenyataan itu. "Di mana cemburu mu mba? Bahkan, aku yang kalian inginkan ini, tak pernah bermimpi masuk dalam pernikahan kalian, apalagi menjadi yang ke-dua? Itu tak pernah ada dalam bayanganku... " aku mencoba merayu mba Ningrum agar mau membatalkan pernikahanku dan suaminya. Jika istri pertama melarang dan tidak memberi ijin, maka otomatis pernikahan ini akan batal. Dan aku akan lepas dan bebas. "Kita bisa belajar bersama Ra... Kamu adalah harapan kami. " jawab mba Ningrum dengan penuh keyakinan. "Mba, masih ada waktu, untuk mba, masih bisa menghentikan ini semua, aku tidak mau salah satu dari kita akan terluka nantinya. " aku masih keuh-keuh dengan pendapatku. "Tolong jangan mundur Ra, aku janji akan adil padamu demi suami kita. " kata mba Ningrum sambil menggenggam ke-dua telapak tanganku. Mengapa mba? Mengapa kamu harus memohon seperti ini? Apa sebenarnya yang sudah kalian sembunyikan dariku? Sekali lagi aku menghembuskan nafas yang menyesak di dadaku. Aku alihkan tatapan mataku ke arah mba Ningrum, aku pindai kedua matanya, aku mencoba menyelami arti dari sorot matanya. Namun, hanya senyum bahagia dan harapan yang aku lihat darinya. Harapan agar aku berkenan menjadi adik madunya. "Mba..." "Aku sudah menerima syarat darimu Ra... Apakah kamu tega membatalkannya. Tamu udangan bahkan sudah berdatangan... Mas Aksa juga sudah menunggumu di depan. Tolong Ra... Bantu aku bantu mas Aksa, aku janji kita akan melalui ini semua dengan bahagia... " "Kalian tidak keberatan denganku yang masih muda ini. Seusia aku ini, usia yang penuh dengan kecemburuan, penuh dengan keegoisan... Apakah mba siap? jika aku berubah menjadi rubah yang menjengkelkan yang mengambil perhatian mas Aksa sentuhnya. Apakah mba sudah pikirkan, suatu saat aku akan merebut mas Aksa seutuhnya? " mungkin ini kata-kata yang sangat kurang-ajar, namun aku berusaha membuka mata mba Ningrum, bahwa poligami itu tidak segampang dan sesimple yang ia pikirkan. Lagi-lagi, wanita di depanku ini tersenyum lembut. "Aku yakin kamu tak akan seperti itu Ra... Kalaupun suatu saat hal itu terjadi, berarti semua itu memang harus terjadi... Aku hidup bersama dengan mas Aksa sudah lima tahun lebih, jika pada akhirnya dia hanya memilihmu, itu sudah takdirku... Aku hanya berusaha menjalani takdir yang dipilihkan untukku. Jika omongan orang luar yang kamu takutkan, percayalah, aku yang akan menjadi orang pertama yang akan membelamu... " Jika sudah begini aku bisa apa? Baiklah mungkin ini sudah jalanku, masuk ke dalam mahligai rumah tangga mba Ningrum dan bang Aksa. Yang terpenting aku menikahi suami orang dengan restu istrinya dan keluarganya serta keluargaku. *** Pernikahan ini, kami hanya mengundang saudara, kerabat, tetangga dan teman. Dalam pernikahan inipun aku mendapat hak yang sama seperti mba Ningrum, aku sah menjadi istri bang Aksa di mata Agama dan Negara, seperti yang mereka janjikan. Seperti layaknya pengantin lain, tradisi cium tangan, cium kening dan tukar cincin juga kami lakukan. Karena bang Aksa sudah memakai cincin nikah duluan bersama mba Ningrum, cincin itupun aku sematkan juga di jari manisnya yang kiri. Kata bang Aksa biar adil, dijadikan satu saja. Sungguh sangat serakah, bahkan satu jari ada dua cincin kawin yang menghiasinya. Aku sedikit melirik ke arah kakak maduku, aku amati wajah lembut dan teduhnya, sama sekali tak ada gurat sedih ataupun kecewa di sana. Terbuat dari apa hatinya itu? "Assalamualaikum istri kecilku... "bisik bang Aksa lembut, setelah mencium keningku. Karena ini yang pertama bagiku, aku hanya bisa mengangguk perlahan, ada rasa canggung yang aku rasakan, apalagi dilihat oleh puluhan pasang mata yang menyaksikan pernikahan kami. "Waalaikum salam. " balasku lirih. "Apa tak ada kata sapaan buatku dek? " mendengarnya bertanya, aku segera mengangkat kepalaku. Dan di sana aku melihat senyum manis itu di bibir bang Aksa. "Tak perlu dijawab sekarang, " sambungnya kembali "Eh, iya bang. " jawabku setengah gugup. Suamiku ternyata manis sekali saat dekat begini. "Aku suka panggilan itu, jangan dirubah ya. " jelasnya dengan wajah yang semringah. Aku kembali menganggukkan kepalaku. Selanjutnya kami meminta restu pada ke-dua orangtuaku dan orangtua-nya. Saat sampai di hadapan mba Ningrum, mereka langsung berpelukan mesra, aku hanya mampu menundukkan pandanganku. Aku layaknya seperti selir saja. "Selamat ya mas... Semoga kita bertiga selalu samawa... Adillah pada kami berdua. " sempat aku mendengar ucapan dari mba Ningrum. Salah satu tangannya nampak mengelus-elus punggung bang Aksa. "Makasih ya Rum... Aku akan berusaha mewujudkan kebahagiaan untuk kalian berdua. " ucap bang Aksa setelah melepaskan pelukan itu. Dan dibalas senyuman manis dari mba Ningrum. Sekejap giliran tubuhku yang dipeluk mba Ningrum, kakak maduku ini. "Terimakasih ya Ra... Kamu sudah mau dan ikhlas menerima kami... Kita akan baik-baik saja. " mendengar ucapannya aku hanya bisa menganggukkan kepala kembali, bahkan bibirku sulit untuk berucap. Karena sejatinya, aku masih tidak percaya, bahwa aku sekarang adalah istri ke-dua bang Aksa. "Maaf, jika kami membuatmu sedih Ra... Maaf. " Duh, ada apa dengan wanita ini, mengapa dia yang meminta maaf padaku. "Ssstt... Udah, kalian jangan bersedih, nggak enak dilihat para tamu. Apakah aku terlihat jahat pada kalian? " suara bang Aksa kembali terdengar. Aku segera melepas pelukan mba Ningrum. Dengan sabar, kakak maduku ini menghapus sisa-sisa airmataku. "Kami tak akan membuatmu menderita Ra. Jangan khawatirkan apapun... " sambung mba Ningrum. "Iya. Aku sekarang bagian dari kalian... Semoga di antara kita bertiga tak ada yang menyesal di kemudian hari. " ucapku setelah berhasil menetralkan detak kekalutanku. "Kita usahakan, bersama. " jawab bang Aksa penuh dengan keyakinan. Iya, aku sudah tidak bisa mundur. Inilah jalanku, bila mereka yakin, aku akan berusaha mengikuti mereka. Akan aku ikuti ke mana alur cerita ini melangkah. *** Pesta kecil pernikahan kami telah usai. Para tamu dan kerabatpun sudah berpamitan pulang. "Ayo Ra, mba bantu ke kamar. " Mba Ningrum menggandeng tanganku, sedangkan bang Aksa masih terlihat mengobrol dengan teman-teman semasa kuliahnya. Yang terlihat masih akrab hingga sekarang. Mungkin mereka adalah sahabat bang Aksa. Sepertinya suami kami itu sedang menerima ledekkan dari teman-temannya. "Hebat kamu Sa. Bisa nikah dua kali bahkan bisa rukunin para istrimu... " celetuk teman bang Aksa yang berbaju batik itu. Bang Aksa hanya menyunggingkan senyum. "Cocok Aksa nih jadi ketua RT, ketua Rumah Tangga... " entah apa yang lucu bagi mereka, hingga kata-kata itu membuat mereka tertawa lepas. "Udah Ra. Jangan didengar. Teman mas Aksa emang begitu... Suka losss aja kalau ngomong. Kita ke kamarmu ya, ada yang mau aku kasih ke kamu. " Sekali lagi aku hanya bisa menganggukkan kepala mengikuti langkah kakinya. "Kami ke kamar dulu ya mas, kalau udah selesai, susul aja. " pamit mba Ningrum, dan dapat dipastikan suara ledekkan terdengar lagi. "Iya. " jawab bang Aksa lembut. Mba Ningrum membantuku melepas hiasan mahkota yang ada di kerudungku. Lumayan rumit aku lihat. Kakak maduku ini begitu sabar sekali. "Dulu mba waktu menikah, harus berganti pakaian berkali-kali Ra... "cerita mba Ningrum nampak ceria. "Aku nggak suka mba. Ribet. " sahutku cepat. "Iya. Sampai kamu pun tak mau duduk di pelaminan. " "Malu mba. " "Kenapa malu? " "Istri ke-dua duduk di pelaminan? Rasa nggak nyaman aja bagiku. Lagian bang Aksa kan udah pernah rasain duduk di pelaminan, " jawabku diplomatis. "Terus? Ada masalah dengan istri kedua? Aku udah setuju kan? " "Tetap aja mba. Nggak nyaman. Bukankah, yang penting udah halal? " "Iya. Cuma aku merasa tak adil padamu Ra... Pernikahan kalian nampak biasa-biasa saja. " "Aku yang mau... Bu___" ucapanku terpotong, saat pintu kamarku dibuka dari luar. "Assalamualaikum... " nampak bang Aksa muncul di ambang pintu. "Waalaikum salam. " jawab kami kompak. Bang Aksa berjalan mendekat ke arah kami berdua, tidak lupa senyum manisnya ia nampakkan. Kata orang-orang bang Aksa lebih cenderung cool bila di depan orang lain selain keluarganya. Terlihat bahagia sekali dia ber-istri dua. "Aku suka lihat kalian rukun begini. Adem lihatnya. " Sampai di depan kami mba Ningrum segera mengambil telapak tangan kanan abang lalu menciumnya, mau tak mau aku mengikuti apa yang dilakukan oleh kakak maduku itu. Dan bergantian bang Aksa memberi usapan lembut di kepala kami masing-masing. "Kan tidak ada yang perlu dipertengkarkan mas, " "Iya. Aku bahagia, wajar kan? " "Iya mas. Oh ya mas, habis ini kalian pulang ke rumah kita kan? " tanya mba Ningrum sambil duduk di tepi ranjangku, tak jauh dari kursi rias yang aku duduki, sedangkan bang Aksa berdiri tegap di depan kami. Aku akui, pancaran tatapan matanya lumayan tajam tapi teduh, tegas tapi seperti menghanyutkan. Apakah aku mulai terpesona padanya? "Apa Tiara sudah mengubah keputusannya? " Aku yang dipandang mereka seketika menjadi sedikit gugup. "Aku ingin tinggal di rumah papa dan mama. Bukankah mba juga sudah setuju waktu itu? " jawabku kemudian, "Kenapa kita tidak serumah saja Ra... Rumah kita cukup luas untuk kita bertiga. " Duh, mba Ningrum selalu ingin merayuku kembali. "Enggak mba. Kita tinggal terpisah saja. Lebih baik. Biarkan abang yang membagi waktunya untuk kita. Mungkin mba tidak keberatan kalau kita serumah, tapi aku yang nggak bisa. Aku belum bisa berbagi secara terang-terangan. Mba di rumah kalian, aku biar di rumah mertua kita. Kita tak akan saling cemburu secara langsung. " jawabku panjang lebar. "Baiklah kalau gitu Ra... Kalau kamu berubah pikiran, aku akan lebih senang. " "Kita ikuti saja apa kata Tiara Rum... Mungkin dia perlu menyesuaikan dirinya. " Nampak mba Ningrum melihat jam tangannya. "Mas, udah jam segini. Aku pamit pulang ya? Aku pulang bareng papa dan mama. " "Sekarang? " tanya bang Aksa kemudian, "Iya. Aku pengin istirahat di rumah aja. Nggak mungkin kan aku ganggu malam pertama kalian... " godaan mba Ningrum membuatku salah tingkah. Duh, kenapa mba Ningrum nampak biasa-biasa saja membahas malam pertama suaminya dengan istri yang lainnya. "Kamu memang pengertian Rum. " balas bang Aksa seperti tanpa beban. "Terimakasih sanjungannya mas. " aku heran, mereka begitu mesra dan manis, lalu untuk apa mereka merekrutku menjadi anggota keluarganya? Nampak bang Aksa mengusap lembut pucuk kepala mba Ningrum yang tertutup kerudung berwarna pastel. Cantik dan cocok dengan wajahnya. Ketika mba Ningrum berdiri, akupun ikut berdiri, sepertinya dia akan pamit. Bang Aksa tiba-tiba menggenggam telapak tangan kananku dengan telapak tangan kirinya. "Aku pamit ya mas, Ra... Baik-baik kalian ya... " pamit mba Ningrum lalu mencium telapak tangan kanan bang Aksa. Ketika mba Ningrum akan membuka pintu kamarku, "Rum. " bang Aksa memanggilnya, seketika kakak maduku itu menoleh. "apa mas? " "Sini... " dengan patuh mba Ningrum mengikuti perintah suami kami. Setelah dekat, tangan kanan abang meraih kepala mba Ningrum dengan mesra lalu mencium keningnya, ada rasa aneh di dadaku saat melihat itu semua. Apakah aku cemburu? Saat aku ingin melepas genggaman tangan kiri bang Aksa, abang semakin meng-eratkan genggamannya, seolah sebagai tanda, dilarang dilepas. Mungkin itu cara dia berbuat adil pada kami. Di antara kami tak akan ada yang dia lepaskan. "Hati-hati ya di jalan, jangan lupa makan, jangan lupa salat, dan jangan sembarangan menerima tamu selagi tak ada aku... Oh ya, jangan begadang Rum... Jaga kesehatanmu. " Dengan patuh dan wajah ceria mba Ningrum menganggukkan kepalanya, "Iya mas, jangan khawatir, aku akan ingat pesan mas. " dan dibalas senyuman manis bang Aksa dan mengelus pipi kiri mba Ningrum dengan lembut. "Aku pamit,,, baik-baik ya kalian. " "Iya mba. Maaf kami tak bisa mengantar... " "No problem Ra... " jawabnya tulus. Ketika pintu kembali ditutup, kecanggungan semakin aku rasakan. Aku bingung bagaimana bersikap di depan suami baruku ini. Seumur-umur baru kali ini aku berada dalam satu kamar dengan laki-laki lain, selain ayahku dan adik kandung laki-lakiku. "Dek... " Satu kata panggilan lembut dan mesra itu, berhasil membuatku ingin pingsan saja. Ibu... Siapkah anakmu ini menjalani sebagai istri dari suami orang lain? . Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD