Tiga

1956 Words
Mendengar panggilan lembut bang Aksa, membuatku seketika diam mematung. Aku sibuk meremas telapak tanganku yang mulai dingin dan gemetar. Jika ada yang bilang aku berlebihan, please, aku perempuan yang tidak pernah dekat dengan laki-laki, selain ayah atau saudara-saudaraku. Sekarang aku harus sekamar dengan bang Aksa mulai saat ini, terkecuali jika dia sedang berpindah tempat untuk membagi jatahnya ke kakak maduku. "Kenapa diem? hhmmm... " bang Aksa menyentuh bahuku dengan lembut. "gugup? " lanjut bang Aksa lagi. Aku sedikit menganggukkan kepalaku pelan. Belum ada sebulan aku mengenalnya, tidak mungkin aku merasa telah akrab dengannya. Walaupun begitu, hati dan tubuhku tidak berusaha memberontak akan sikap manisnya. Ah, aku bukan perempuan munafik, walaupun dijodohkan aku harus kooperatif kan? Lagian, suamiku ini tidak jelek, dia juga gagah, sekarang dia juga masih terlihat baik dan sopan, mana mungkin aku berlagak menolaknya. Itu bulshit, kawan! "Coba rileks... Abang cukup paham menghadapi wanita dengan baik. Abang juga bukan type lelaki kasar, kalau itu yang adek takutkan. " ucap bang Aksa kalem. Bang Aksa seperti mendominasi percakapan ini. Sedangkan tangannya sibuk melepas pengait-pengait kerudung yang aku pakai. Lalu menyisir surai-ku yang panjang sepunggung. Aku diam? Pasti. Aku paham, lelaki di depanku ini sudah halal untukku. Jadi sudah tidak ada batas abang untuk melihat auratku. Ini semua sudah menjadi hak paten-nya. Terserah apa yang akan dia perbuat, asal tidak menyakitiku, aku akan menurut saja. "Rambutmu bagus, dan wangi. Abang suka. " bisik abang lembut, dan seketika bulu tengkuk ini meremang geli. "Terima kasih. " balasku lirih. "Seperti bicara saat wawancara saja dek. Terlalu formal. " jawab bang Aksa dengan kekehannya. Aku akui tertawa-nya pun sangat menghanyutkan imajinasiku. Belum dimulai-pun, kamu sudah membuatku terpesona bang. Noraknya aku. Batinku bersorak. "Duduk dulu, sini... " bang Aksa kembali membimbing aku duduk di kursi rias, sedangkan dia duduk di tepi meja riasnya, setelah melepas jas pengantin yang dia pakai. Tangannya sangat terampil, mengumpulkan segala macam pembersih muka, dan perlengkapannya. Lalu mengambil kapas secukupnya, dia basahi dengan pembersih wajah. Tanpa bertanya, abang mengusap-usap lembut wajahku searah, dengan kapas tersebut. Begitu lembut, secara naluri aku memejamkan mata, menikmati segala sentuhannya di wajahku. "Kenapa masih diem... Heemmm... " usapan lembutnya membuatku semakin terlena. Ah, dia sangat pandai memanjakan wanita. "Enggak. Hanya masih canggung. " jawabku jujur. Iya, aku aku harus jujur agar hidupku tidak tertekan. Menutupi keadaan hati itu tak baik untuk kesehatannya. "Lama-lama juga akan terbiasa... " ujar bang Aksa menghiburku. "Apa, dengan mba Ningrum abang juga begini? Selalu membersihkan wajahnya? " bang Aksa menghentikan usapan kapas di wajahku. Menatapku dengan tatapan hipnotis-nya. "Apa adek ingin tahu? " tanya abang dengan santai dan sedikit menggoda. Senyumnya pun tak pergi dari wajahnya yang lumayan mendekati tampan namun berkharisma. " Kalau nggak boleh, ya nggak pa-pa... " jawabku merengut. Dan bang Aksa melebarkan senyumnya. Bang Aksa mencubit hidung bangir-ku dengan pelan. "Adek menggemaskan kalau sewot. " kata bang Aksa yang kubalas dengan helaan nafas. Setelah selesai membersihkan wajahku, abang merapikan kembali botol -botol khas perempuan itu ke tempatnya semula. Masih duduk di tepi meja rias yang ada di hadapanku membuat jarak kita sangat dekat, bang Aksa membelai surai-ku, lalu mengaitkan helaian rambut ke belakang telingaku. "Dengar istri kecilku... Bukan abang tidak mau cerita atau mengumbar apa pun yang sudah abang lakukan kepada Ningrum. Cuma abang ingin, kita fokus dengan hal tentang kita saja saat kita berdua begini. Begitupun saat abang harus bersama Ningrum, kami juga tak akan berbicara tentang hal yang sudah kita lakukan. Adek tahu? Wanita itu, sesabarnya dia, pasti akan ada sisi cemburu di hatinya, walau faktanya adalah kalian istri sah abang. Abang, yang sudah menjalani poligami ini bersama kalian berdua, masih harus terus belajar adil pada kalian, walaupun itu tak akan bisa, tapi paling tidak abang sudah berusaha. Agar kalian merasakan nyaman bersama abang... " Bang Aksa menjelaskan apa yang ingin aku ketahui dengan gamblang. Aku mencoba mengerti. Mungkin hal inilah yang membuat kakak madu-ku begitu patuh kepada suami kami. "Apa adek ridho dengan maksud abang tadi? " tanya bang Aksa sambil menatapku. "Iya bang. Aku usahakan paham... Jika itu memang yang terbaik, aku akan mengikuti. Bukankah surga istri ada pada suami salehnya. " Saat aku melihat bang Aksa, terbit senyum manis dan lebarnya. Mungkin dia tidak mengira akan memberikan jawaban seperti itu kepadanya. "Dek... Kalian adalah dua wanita yang sama-sama aku sayangi dan aku hormati. Walaupun begitu adek bisa mengajukan apapun keluhan adek... Menuntut adalah sifat mutlak seorang istri, suami akan berusaha mewujudkan dan memenuhinya, namun bila kami para suami tidak sanggup menyanggupi, semoga kalian sebagai istri mau mengerti dan memahami. Yang jelas jangan memendam apapun dari suamimu ini dek... Mari kita raih surga bersama-sama. Abang, adek, dan kakak madumu, dan suatu hari nanti dengan anak-anak kita, bisa sama-sama meraih ridho yang maha Kuasa... " "Iya. Maaf kalau aku lancang, sudah tanya macam-macam. " "Sssttt... Jangan bilang begitu, abang tidak menuduh adek lancang loh... Cuma menjelaskan saja. " "Iya. " "Jawabnya kok singkat...? " tanya bang Aksa sedikit menyelidik. "Iya bang. Aku akan belajar lagi. Aku akan berusaha agar apa yang abang pilih bisa menjadi lebih berarti. " "Abang dan Ningrum telah memilihmu, karena kami tahu kamu yang terbaik...." iya bang, aku juga tak mengerti, kalian ini pasangan yang seperti apa, membahas istri ke-dua dengan hati yang lapang. "Nah, sekarang adek mandi bersih-bersih dulu ya, abang akan mandi di kamar Sultan, setelah itu kita jamaah salat ashar bersama. Bentar lagi sudah masuk waktu ashar. " Aku menganggukkan kepalaku tanda setuju perintahnya. "Baiklah... Aku ambilkan handuk bersih dulu buat abang. " jawabku kemudian. "Sekalian baju koko dan sarung ya de. " "Iya. " *** Ketika aku selesai dan keluar dari kamar mandiku, di sana, suamiku sudah siap bersimpuh di atas sajadah. Bahkan sajadah dan mukenaku sudah dia siapkan juga. Saat mendengar langkah kakiku, bang Aksa langsung menengokkan kepala ke arahku. "Sudah? " "Iya bang. Aku pakai mukena dulu. " "Baik. Abang tungguin. " Terdengar takbiratul ikhram dari bibir bang Aksa. Aku di belakang sebagai makmum mulai fokus dan khusyuk mengikuti imam baruku ini. Setelah selesai semua rakaat salat kami kerjakan dan disambung dzikir bersama. Hatiku terasa tersentuh dan terharu, beginikah rasanya saat kita sudah sah memiliki seorang imam? Bang Aksa memutar tubuhnya ke arahku, aku tahu, telapak tangan kanannya siap untuk aku salam dan cium dengan takzim. Lalu tangannya mengelus pucuk kepalaku membacakan doa selamat dan doa kebaikan untuk kami berdua. Tidak lupa dia mengecup keningku dengan lembut dan dalam. Hingga terasa masuk ke relung hatiku. "Terima kasih sudah ridho menjadi bagian dari hidup abang dek. Terimakasih sudah mau ikut menjalani dan melengkapi sunnah buat abang. Kita belajar berjalan beriringan ya dek. Aku mohon keridhoan adek buat abang. " "Akan aku usahakan penuhi kewajiban aku bang... Tolong bimbing aku, dan bersikap adillah pada kami. Aku ridho. " ucapku pelan dan ada harapan yang aku gantungkan padanya. "Abang bahagia dengarnya. " Setelah berkata abang membantu membuka mukena yang aku pakai. Lalu melipat dengan rapi. Apakah dia memang terbiasa mengerjakan pekerjaan perempuan? Atau mungkin hal ini sudah terbiasa dia lakukan bersama istri pertamanya? Ingin aku tanyakan, tapi bukankah tadi dia berucap tak akan mau membahas hal-hal yang dia lakukan dengan kakak maduku itu. "Aku takut? " bang Aksa langsung menatapku, alis sebelah kirinya nampak meninggi. "Takut apa? " "Aku takut, jatuh cinta pada abang nantinya, " dari situ abang tertawa ringan. "Ya bagus dong. Adek memang harus jatuh cinta pada abang, bukankah abang suami adek juga? Jatuh cinta hal wajib bagi pasangan suami istri. " jelasnya. "Tapi aku takut jadi penuntut setelah jatuh cinta nanti. Aku takut jadi berusaha menguasai abang karena cinta ini. Aku bisa egois tentang hal kepemilikkan. " "Itu manusiawi dek. Kan sudah abang katakan, menuntut adalah hal mutlak bagi yang bernama istri... Lumrah itu dek... Tak apa, kalian bisa menguasai abang dengan cara kalian masing-masing... Abang yang akan berusaha adil mengoreksi tentang sikap kalian, jika nanti kalian mulai melewati batas maksimal aturan. Dan di sini lah, keadilan abang akan teruji. " Penjelasan bang Aksa membuatku terbang ke langit biru. Apakah bang Aksa memang sosok yang peduli, dan penyayang? Apakah memang begini sifat dan sikapnya. Jika memang benar, tidak salah jika mba Ningrum begitu mencintai dan menghormati bang Aksa. Lelaki yang ada di hadapanku ini begitu bijaksana dan menentramkan hati wanita. Ada doa yang aku titipkan saat selesai salat tadi. Semoga bang Aksa adalah imam kami yang akan selalu menjaga perasaan kami, para istrinya. "Dek? " "Iya bang? " jawabku setengah kaget. "Kenapa melamun? Ada yang membuat adek tertekan atau keberatan dengan ucapan abang tadi? " "Bukan? Tak ada apa-apa... Hanya setelah ini, kita___" aku menggantungkan ucapanku, pipiku pun mungkin sudah merona malu. "Kenapa tak dilanjutkan... Heemm? " tanya bang Aksa menggodaku. Aku tahu, dia pasti paham arah pertanyaanku, kami bukan anak kecil lagi, dan dia sudah masuk usia kepala tiga, pasti paham apa yang aku maksud. "Apakah harus aku jelaskan? " aku balik bertanya, dengan nada mengejeknya. "Sudah berani mengejek abang ya? " jawab abang dan ada intonasi gemas di dalamnya. "Menurut abang... Bukankah aku harus mulai terbuka pada abang." jawabku sedikit menantang. "Iya. Betul sekali. Jadi, langsung saja ya. Boleh abang ambil hak abang sekarang? " "Sekarang? Ini jam berapa bang? " tanyaku kaget dan lumayan panik. Suamiku mengangkat tangan kirinya, dan melihat jarum jam tangannya. "Masih ada waktu lumayan lama sebelum masuk magrib. " "Pintunya? " tanyaku semakin keder. "Sudah abang kunci dari abang selesai mandi tadi. " jelasnya santai. Namun pandangannya terfokus hanya padaku. "Tapi, orang-orang yang masih di rumah ini...? " tanyaku semakin panik. "Dek. Setiap pasangan pengantin baru yang sudah masuk ke kamar, tak akan ada yang berani mengganggu, mereka juga pasti paham, ritual apa yang dilakukan pengantin setelah akad nikah. " jawab bang Aksa tanpa difilter. "Abang. Terlalu vulgar. " jawabku sambil melotot malu. "Vulgar? Abang dengan istri abang loh sekarang. Apanya yang vulgar? " lihatlah, abang terus menggodaku. "Aku masih kecil bang. Masih polos ini. " "Makanya abang bantu buat buka polosnya. Gimana? Mau? " tanya abang pelan. Ada secercah keinginan yang sudah menggebu di manik matanya. "Tapi? " "Kenapa? Adek mengira abang menikahi adek hanya untuk urusan selakangan saja? " Di sini pasti mukaku sudah merona merah. Ini orang, jujur sangat kalau ngomong. Batinku gemas. "Enggak. Aku nggak mikir gitu ya. " sahutku cepat. "Dengar dek. Abang hanya berusaha membuka jalan pahala buat adek, untuk yang pertama kalinya sebagai istri baru abang. Abang janji tak akan menyakiti adek. " ucap abang pelan memberi pengertian padaku. Aku menghembuskan nafas paham. Ini memang harus terjadi dan dilakukan. Apa yang harus aku pertahankan? Sedangkan mahkota ini telah menemukan raja-nya "Iya bang. Terserah abang. Lagian aku nggak mau juga, para malaikat ikut mendoakan kejelekkan untukku karena sudah berani menolak perintah suami. Aku juga paham ilmu tentang hak dan kewajiban suami istri. " kataku yakin. "Jadi? " "Lakukanlah bang... Ini sudah jadi hak abang sejak janji akad abang ucapkan di depan ayahku." jawabku yakin dan pasti. "Terimakasih dek... Ini pasti yang pertama buat adek. Abang janji akan buat adek tidak menyesal setelah ini. " ucapnya mulai bergetar seperti menahan sesuatu. Dan aku pun hanya bisa mengangguk malu. Berusaha menerima dengan ikhlas semua perlakuan manisnya. Di sini, aku mengerti, bang Aksa adalah sosok lelaki yang perkasa dan jantan. Luruh semua ego dan jaim-ku, bersama kami dalam peleburan hasrat manis dan halal. Penyatuan yang membuatku bergelora. Pengalaman pertamaku yang mungkin akan tersimpan rapi dalam hatiku. Bahwa, aku telah menjadi wanita seutuhnya. Aku, Mengikuti ritme cinta halal yang ditawarkan oleh bang Aksa. Dan aku merasa tersanjung dan terbuai atas perlakuannya, seakan aku adalah ratu hatinya. Cintanya, membuatku lupa bahwa ia juga mempunyai ratu yang lain. Namun, Untuk saat ini biarkan aku nikmati semua perlakuannya. Karena aku juga berhak atas dirinya mulai saat ini. Aku, semakin terhanyut... Pada dia, suamiku, dia Imamku, walaupun aku menjadi yang ke-dua, tapi aku telah diambilnya dengan cara yang benar dan sah. Malam pertamaku diganti menjadi sore pertama. Dan aku paham. Aku mulai jatuh cinta padanya. Pada Aksa, suamiku. Surgaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD