Bab 1. Angga Wijaya
Angga Wijaya, panggil saja Angga. Dia adalah sosok pemuda yang baik dan ramah. Angga berasal dari keluarga sederhana. Dia tinggal bersama ayah, ibu dan ketiga adiknya di sebuah rumah kontrakan kecil di daerah pinggiran.
Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu. Ibunya berjualan gorengan seperti pisang goreng, bakwan, ubi goreng, singkong goreng, yang untungnya juga tidak seberapa.
Adik pertama Angga bernama Dimas Wijaya, dia anak yang suka kebebasan, jadi dia memilih merantau ke kota lain.
Adik kedua Angga, bernama Setyo Wijaya, dia baru lulus sekolah SMP, dan yang terakhir Mila Wijaya, yang baru berusia 1 tahun.
Perbedaan jarak usia Angga dengan Mila memang terpaut cukup jauh 20 tahun, karena orang tua mereka menikah di usia dini.
Angga sebagai anak tertua, tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan saudaranya yang lain. Dia bekerja keras guna mencukupi semua kebutuhan keluarganya.
Saat kelas XII, Angga tidak melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya. Akhirnya, dia sudah mulai bekerja membantu ibunya berjualan gorengan dengan berkeliling.
Dia pun berusaha mencari pekerjaan kesana kemari dan mendapat pekerjaan sebagai pegawai di sebuah pabrik roti. Pekerjaannya mengantar roti untuk di titip jual ke toko-toko kecil. Angga bekerja dengan rajin, dia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit lalu membeli motor bekas setelah bekerja selama 3 tahun.
Saat Angga berusia 21 tahun, Angga bertemu dengan seorang gadis remaja bernama Lusiana Dewi. Lusi saat ini masih duduk di kelas XI, usianya baru 17 tahun. Mereka bertemu saat Angga sedang mengantar roti untuk di titip ke sebuah toko kecil. Pemilik toko tersebut adalah Pak Harris, beliau adalah ayah dari Lusi. Angga sudah beberapa kali mengantar roti ke toko Pak Harris, tapi baru kali ini berpapasan dengan Lusi.
"Permisi, Pak Harris, saya mau tukar roti yang kemarin ini, masih ada sisa kah, Pak?"
"Nak Angga, rotinya habis total, 2 hari sudah ludes, mulai hari ini kamu titip 2 keranjang saja, bonusnya jangan lupa, Nak Angga".
"Bagus lah Pak bisa laris manis. Siap Pak, ini bonusnya saya kasih 2 bungkus", sambil meletakkan 2 keranjang roti di etalase.
"Pelanggan saya bilang rotinya enak, empuk dan harganya pun merakyat".
"Iya, Pak. Bos saya selalu mengutamakan kualitas, tak mengambil untung banyak".
"Nak Angga sudah lama bekerja di sana? Saya lihat Nak Angga ini rajin dan punya tampang yang lumayan, kenapa hanya jadi pengantar roti?"
"Saya sudah 3 tahun jadi pengantar roti. Iya, saya tidak tamat SMA, tidak punya ijazah, sudah cari kerja kesana kemari dan akhirnya dapat kerja di pabrik roti".
"Sayang sekali ya Nak Angga".
"Iya mau bagaimana Pak, yang penting sekarang saya rajin dan jujur. Saya yakin saya bisa maju kelak".
"Bapak suka semangat Nak Angga, anak muda memang harus rajin biar bisa maju. Dan yang terpenting jujur. Soal rejeki pasti Tuhan atur yang terbaik buat kita".
"Amin Pak. Saya permisi Pak, mau mengantar lagi".
"Iya, iya, silahkan".
"Terimakasih ya Pak"
Saat hendak melangkah keluar toko, Angga berpapasan dengan anak perempuan Pak Harris. Mata bertemu mata saat itu. Mereka saling bertatapan dan ada getaran di antara keduanya. Mereka masih bertatapan sampai Pak Harris memanggil putrinya.
"Lus, sudah pulang kamu?", yang membuat mereka salah tingkah.
"Nak Angga, belum balik".
"Iya Pak, ini saya balik, mari Pak".
"Abah, itu tadi siapa? Lusi belum pernah lihat. Bukan warga kampung kita ya".
"Itu, Nak Angga, dia itu yang mengantar roti-roti ini untuk di titip jual di toko kita".
"Namanya Angga, Bah. Cakep kayak orangnya".
"Ehhh, si Lusi, ingat ya kamu itu masih sekolah. Abah belum izinkan punya pacar".
"Iya, Bah. Lusi cuma bilang cakap, salahnya dimana si Abah".
"Udah sana masuk, ganti pakaian lalu makan. Abah sudah masakin ikan kuah kuning kesukaan kamu".
"Siap, Abah".
Pak Harris adalah seorang duda. Istrinya sudah meninggal 5 tahun lalu saat Lusi baru berusia 12 tahun. Beliau menjaga Lusi seorang diri, sehingga beliau sangat melindungi putri satu-satunya itu.
Sementara itu, Angga masih kepikiran dengan gadis yang baru saja dia temui. Ini pertama kali, Angga merasa hatinya bergetar saat melihat perempuan. Dia mempunyai mata yang indah dan bibir yang merah.
"Siapa gadis tadi ya? Mengapa jantungku berdetak secepat ini? Apa mungkin ini yang namanya cinta pandangan pertama? Tapi, aku mah apa atuh, berharap bisa kenalan sama dia?"
Selama ini, Angga belum memiliki pacar. Karena selalu bekerja dan bekerja, pikirannya hanya untuk mencari uang. Kalau tidak ada uang, mana ada yang mau sama dia. Sudah tidak lulus sekolah, tidak ada uang, selalu membuat dirinya minder untuk mendekati perempuan.
"Jika emang jodoh, Tuhan pasti pertemukan lagi aku dengan gadis itu", gumamnya dalam hati.
Angga pun melanjutkan pekerjaannya mengantar roti.
Keesokkan harinya, Angga mengantar roti ke toko baru, dan di sana Angga bertemu kembali dengan Lusi. Saat itu Lusi baru pulang sekolah dan membeli air mineral di toko tersebut. Mereka berpapasan kembali.
"Kamu, kakak yang kemarin di toko Abah kan, yang antar roti?"
Angga merasa jantungnya berdebar cepat, "Iya, kamu yang di toko Pak Haris kemarin, kan"
"Wah, kebetulan sekali kita ketemu lagi. Kemarin ini aku belum kenalan sama kamu. Aku Lusiana Dewi, kakak bisa panggil aku Lusi", Lusi sangat senang bertemu dengan Angga.
"Saya Angga Wijaya, kamu bisa panggil saya Angga".
"Ka Angga", sambil tersenyum lebar.
Senyum Lusi membuat Angga semakin berdebar. Tapi Angga berusaha tenang. Dan Lusi mulai mengajak Angga mengobrol sambil duduk di depan toko itu. Lusi sedang menunggu ojek untuk mengantarnya pulang.
"Ka Angga, tinggal dimana?"
"Saya tinggal di daerah pondok kelapa".
"Ka Angga, Lusi boleh minta nomor hp kakak?"
"Boleh", dan mereka saling bertukar nomor telepon.
"Ka, Lusi boleh kan hubungi kakak kapan-kapan?"
"Iya, boleh".
"Kakak, kapan datang ke toko Abah lagi? "
"Biasa 3 hari sekali, berarti lusa baru ke sana. Toko Abah berarti Pak Harris itu abah kamu?".
"Iya, ka. Abah saya. Kenapa ka?"
"Saya sering antar ke sana tapi baru pertama kali ketemu sama kamu kemarin ini".
"Iya juga ya ka, mungkin ini yang namanya jodoh, ka".
"Kamu orangnya ceria ya, saya suka dengan gadis yang periang".
"Yang benar, ka. Jadi malu Lusi", pipi Lusi pun memerah.
Dan tukang ojek yang menjemput Lusi datang. Lusi pamit kepada Angga.
"Ka Angga, Lusi pulang dulu ya".
"Iya, hati-hati di jalan".
Keduanya saling melambaikan tangan dengan agak malu-malu dan saling memberi senyum.