Bab 15. Pertemuan Billy dan Lusi

979 Words
Keesokkan harinya, Lusi berencana ke rumah Angga tanpa memberitahu Angga. Lusi ingin memberi kejutan pada Angga. Lusi berpakaian dengan rapih, berias tipis dan membawa sekantong buah-buahan. Lusi minta izin kepada Pak Harris. Pak Harris juga menitip salam ke Angga. "Abah, Lusi ingin menjenguk Ka Angga". "Hati-hati di jalan. Abah titip salam ya buat Nak Angga". "Iya, nanti Lusi sampaikan. Lusi pamit, Bah". Lusi memanggil taksi dan menuju ke rumah Angga. Taksi sampai di depan gang rumah Angga dan di sana Lusi bertemu seorang lelaki berpakaian rapih dan terlihat berwibawa sedang bertanya tentang alamat rumah Angga kepada seorang bapak yang sedang duduk di depan warung kopi. Lusi yang tak sengaja mendengar langsung menyela. "Permisi Pak, Bapak mencari alamat rumah Angga. Bisa saya bantu lihat alamatnya?" Lusi melihat secarik kertas bertuliskan alamat dan benar itu alamat rumah angga. "Maaf, bapak ini siapa ya? Ada perlu apa mencari Ka Angga?" Billy yang melihat penampilan Lusi untuk pertama kalinya tampak terpesona. Seorang gadis muda yang tinggi, cantik, berkulit bersih, tipe wanita idaman Billy yang selama ini dia cari. Billy sangat pemilih dalam hal wanita sehingga dia memilih melajang di usianya yang sudah mapan untuk berumah tangga. "Apa kamu kenal dengan Angga yang saya maksud? Saya ini atasan di tempat kerjanya". "Iya, saya kenal dekat dengan Ka Angga. Jadi bapak ini yang namanya Pak Billy". "Benar, saya Billy, Billy Firdaus, atasan sekaligus pemilik pabrik tempat Angga bekerja", sambil menyodorkan tangan kanannya. "Lusiana", Lusi menjabat tangan Billy. Billy mengenggam tangan Lusi dan melakukan kontak mata. Mereka saling menatap cukup lama. "Cantik, muda dan terlihat supel", gumam Billy dalam hati. "Pria yang berwibawa tapi sepertinya arogan",gumam Lusi dalam hati. Lalu Lusi pun mulai melepaskan tangannya dari genggaman Billy. "O, maaf, saya baru pertama ini bertemu gadis muda semenarik kamu. Kamu ini masih sekolah atau kuliah?" "Saya mahasiswi". "Benar kalau begitu tebakan saya. Dan saya itu jelih kalau menilai seseorang". "Terimakasih Pak. Tapi bukannya bapak ke sini mau ke tempat Angga". "Saya sampai lupa. Kamu bisa antar saya". "Tentu, saya memang mau ke rumah Ka Angga". "Mari, kamu jalan duluan". Lusi pun berjalan di ikuti Billy di sampingnya. Lusi berjalan cukup cepat agar cepat sampai dan tidak menoleh ke Billy. Billy pun diam dan hanya mengikutinya. Mereka sampai di halaman rumah Angga dan sedang ada ibu Angga yang menyapu halaman. Lusi lalu menyapanya. "Tante". "Nak Lusi, mau tengokin Angga ya. Masuk aja Angga lagi di ruang tamu". "Iya, Tan". Lalu ibu Angga melihat pria yang bersama Lusi. "Ini siapa Nak Lusi?" "Saya atasan nya Angga. Saya mau ketemu dengan Angga". "Iya, Tante tadi Lusi ketemu beliau di depan gang jadi sekalian bareng kemari". "Silahkan masuk Pak", ajak ibu Angga sambil meletakkan sapunya. "Silahkan duduk Pak, sebentar saya panggilkan Angga nya". Lalu Lusi dan ibu Angga menuju ruang tamu. "Ka Angga". "De, kamu kemari. Kenapa gak kabarin dulu? Ka Angga kan bisa berpakaian rapih dulu kalau kamu mau kemari". "Nak, di luar juga ada atasan kamu, cari kamu", sela ibu Angga. "Atasan Angga". "Iya, Ka, Pak Billy, tadi Lusi ketemu di depan gang. Jadi Lusi ajak bareng ke sini". "Kalau gitu Ka Angga ganti pakaian dulu agar lebih sopan". "Iya, Nak. Beliau sedang duduk di teras". Angga pun bergegas ke kamarnya dan mengganti pakaiannya lalu segera keluar menemui Billy di temani Lusi. "Pak Billy, ada perlu apa Bapak sampe ke rumah saya?" "Saya dengar kamu kena lemparan batu kemarin. Jadi saya ingin lihat keadaan kamu. Sekaligus saya ingin kamu cari solusi dengan para buruh agar masalah ini bisa cepat selesai. Mereka minta pesangon yang terlalu tinggi 3 bulan gaji juga tunjangan pensiun. Saya hanya bisa memberikan paling tinggi 2 bulan gaji tanpa tunjangan apapun itu. Mereka itu hanya buruh tanpa kontrak kerja. Jadi saya rasa nilai tersebut sudah wajar". "Bagaimana kalau Bapak meminta pendapat Pak Daus? Saya rasa beliau bisa memberi solusi yang terbaik. Karena para pekerja di pabrik sudah ikut dengan Pak Daus dari nol sampai Pak Daus bisa merintis usahanya sampai seperti ini. Jadi mereka bekerja bukan berdasarkan kontrak tapi dedikasi, waktu, tenaga dan usaha mereka tanpa batasan sebuah kertas". "Pak Billy ini seharusnya tidak merugikan banyak pihak untuk kepentingan Bapak sendiri. Bapak seharusnya memenuhi tuntutan mereka. Jangan menindas pegawai rendah meskipun mereka hanya buruh tapi tanpa mereka pabrik anda tidak akan bisa beroperasi", sela Lusi yang merasa geram dengan ucapan Billy. "Ini zaman modernisasi, mesin sudah banyak canggih. Tenaga buruh sudah tidak diperlukan lagi. Saya sudah sangat bijak ingin memberi pesangon 2 bulan gaji mereka". "Setidaknya Bapak penuhi tuntutan mereka. Mereka semua pasti merasa putus asa tanpa ada pekerjaan di usia mereka yang sudah hampir tidak produktif. Setidaknya dengan tuntutan mereka dipenuhi, mereka bisa memulai usaha kecil-kecilan guna memenuhi kebutuhan. Apa Bapak tidak berpikir sejauh itu?" "De, sudah", Angga berusaha menenangkan Lusi yang tampak emosi. Billy tertegun mendengar perkataan Lusi dan tidak berbicara lagi. "Maaf Pak Billy, atas perkataan Lusi, dia tidak bermaksud...". Lusi tampak membuang mukanya ke arah lain. "Tidak apa, saya justru suka orang yang terbuka. Saya mungkin akan mempertimbangkan tuntutan mereka setelah ini". "Terimakasih Pak, saya berharap Bapak bisa lebih memperhatikan nasib para buruh ke depannya". "Kalau begitu saya pamit, banyak yang harus saya urus. Kamu istirahat sampai lukamu sembuh". "Baik Pak, hati-hati di jalan". Lalu Billy pergi meninggalkan Angga dan Lusi yang masih duduk di teras. "De, kamu harus bisa menjaga perkataan, jangan seperti tadi". "Ka, yang Lusi bilang tadi memang benar jadi Lusi rasa orang kayak Pak Billy yang arogan seperti itu, kita harus bicara tegas". "Iya, iya, sudahlah, kamu ke sini bukannya mau ketemu Kakak". "Lusi mau beri kejutan ke Ka Angga tapi jadi emosi seperti ini. Maaf ya Ka". "Nah, gitu dong senyum. Ka Angga aja takut lihat kamu segarang itu". "Ihhh, Ka Angga, nanti Lusi terkam nih. Auuummmm", sambil menggerakkan jarinya seolah mencakar. "Nih, terkam aja", Angga malah memajukan bibirnya ke arah Lusi. Lusi lalu tersenyum, "Apaan sih Ka Angga?" Mereka pun saling tersenyum dan tertawa bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD