The Naughty Uncle

1705 Words
"Fely?" Mata Janice membulat membaca nama yang tertera di layar handphone, langkahnya terhenti di depan teras dan terdiam menyaksikan handphonenya yang terus berdering. "Pourquoi m'a-t-il contacté? N'en ai-je pas dit assez avant? (Untuk apa dia menghubungiku? Apa ucapanku dulu belum cukup?)." Janice teringat pada kejadian setelah Fely berhasil ditahan karena sudah melakukan kejahatan terhadap Daniel, putra sulungnya. Ucapan kasar yang berupa sumpah serapah karena kesal saat itu ia lontarkan pada Fely karena tak menyangka wanita berambut panjang itu berani berbuat jahat pada mantan calon suaminya, anak laki-laki kebanggaan Janice. “Ada apa kau menelponku?” Tanpa sapaan Janice langsung bicara to the point. Tak lama terdengar suara tawa kecil dari balik seberang sana membalas ‘sapaan kasar’ Janice. Tawa yang seakan mengejek ucapan ketusnya. “Bon apres-midi, Ma tante (Selamat siang, Tante),” balas Fely ramah dalam panggilannya pada Janice. “Aku hanya menyapa Tante saja. Bagaimana kabarnya? Sehat?” Janice berdehem, melirik ke arah mobil Fortuner yang baru saja keluar dari garasi. “Kabarku baik dan makin baik jika kau tak mengganggu keluargaku lagi, Fely Felicia. Terutama pada Daniel, karena dia sudah berkeluarga jadi sebaiknya kau cari pria lain saja. Kau paham?!” Sebuah basa-basi tak ada dalam kamus Janice pada wanita jahat sekelas Fely, mantan calon menantunya yang sempat ia banggakan. Janice memastikan jika Fely takkan meneleponnya lagi baik untuk sekedar basa basi atau mengatakan hal yang tak penting. Fely tertawa mendengar ucapan Janice. “Tenang, Tante. Aku takkan mengganggu keluarga Tante kok. Aku hanya…” Melirik ke arah jendela mobilnya, melihat sebuah mobil Fortuner keluar dari sebuah rumah paling besar di perumahan kawasan elit lalu senyumnya mengembang. “Ingin menyelesaikan urusanku yang tertunda saja. Bye..,Tante.” Fely mengakhiri panggilan lalu melajukan mobil Teriosnya pelan, menjaga jarak dari mobil yang berada di depannya. Tak lama senyum Fely mengembang. “Bon Dieu. Ce petit diable m'a menacé!  Merde Fely! (Sialan! Iblis kecil itu sudah mengancamku! Dasar Fely sialan!).” Janice mengumpat kesal, melirik layar handphonenya yang kembali padam. "Naturellement, Daniel a choisi Bella, derrière ton joli visage, tu es comme un loup déguisé en mouton. (Wajar saja Daniel memilih Bella, dibalik wajah cantikmu, kau seperti serigala berbulu domba).” Ia meletakkan lagi handphone itu kedalam tas walau sambil menggerutu. Tiba-tiba tubuh Janice terhempas kedepan setelah Eko, supir pribadinya mengerem mendadak mobil yang membawa mereka sekarang. Untungnya Janice mengenakan seat belt walau duduk di kursi belakang sopir, jika tidak mungkin tubuhnya mengenai kursi di depannya atau sudah tiba di kaca depan mobil. “Ada apa, Eko? Kenapa kamu mengerem mendadak?!” Suara Janice bergetar, pikirnya ia sudah mati setelah tubuhnya terhempas ke depan dan seatbelt itu sudah menjadi penolongnya hari ini. Eko, supir bertubuh kurus dengan kulit sawo matang itu menoleh kebelakang dengan wajah pucat. “Mobil itu tiba-tiba menyalip. Bu. Padahal tadi dia ada dibelakang,” jelas Eko yang merasa beruntung tak ada mobil lain dibelakang mereka sekarang dan ia bisa menjaga jarak dengan mobil didepannya, mobil yang memang sengaja membuatnya terkejut. Pandangan Janice ke depan, ke arah mobil di depannya. Tak lama ia melihat sebuah tangan terjulur keluar dari jendela supir memberikan jari tengah tepat ke arah mereka. Dengan jelas orang yang meledek mereka adalah seorang wanita, itu terlihat dari tangan yang mulus begitu juga dengan kuteks yang berwarna merah cabe. “Sialan!” Janice meradang, tak terima. Baru saja ia melepaskan seat belt dan berniat untuk turun dari mobil, mobil di depannya melesat cepat meninggalkan mereka yang seakan tahu rencana Janice. Seketika Janice teringat pada Daniel yang pernah kecelakaan karena mobilnya ditabrak oleh Fely, dan supir mobil tadi adalah seorang wanita. Wajah Janice memucat lalu terluncur sebuah kalimat, "Apa yang tadi itu Fely?" ❤❤❤ "Kau sudah siap, Tristan?" Daniel menggoda Tristan yang berada dalam pangkuan Bella. Bocah kecil itu tersenyum lebar membalas Daniel dan pandangannya kembali melihat kaca mobil di depannya. "Baiklah kita berangkat sekarang." Daniel melajukan mobilnya pelan meninggalkan basement apartemen menuju sebuah tempat. Bella duduk bersandar di jok begitu juga dengan Tristan yang sejak tadi antusias tak sabar menanti ayahnya mengendarai mobil, ia juga berkali-kali mengoceh dengan bahasa bayi yang membuat Bella dan Daniel tertawa. "Nenekmu pasti senang kita kesana, Sayang," ucap Bella mengusap pipi Tristan. Daniel melirik Bella sebentar. "Aku lupa memberitahu kedatangan kita, Bell. Bisakah kau menghubunginya sekarang? Sekalian tanyakan mau dibawakan apa. Kue atau buah-buahan?" ucap Daniel yang masih fokus membawa mobil. Bella mengambil handphone dari dalam tas, menghubungi Janice yang tak lama mengangkat panggilan. "Hallo, Ma." Mengawali percakapan dengan Janice diikuti dengan suara Tristan yang meracau. "Mama dimana? Kami dalam perjalanan ke rumah Mama sekarang." Janice turun dari mobil, melangkah pelan menuju coffee shop. "Oh ya? Aku di luar, Bell. Aku harus menemui seseorang. Apa kalian bersama si tampan Tristan?" tanyanya antusias, memastikan suara bayi yang sedang mengoceh itu adalah cucu kesayangannya, Tristan. Bella mendekatkan handphone ke Tristan. "Sapa nenekmu, Sayang." Melihat Tristan yang menganggukan kepala dan tertawa lepas. Bella kembali melanjutkan pembicaraannya lagi bersama Janice, "Mama dengar? Sejak tadi dia mengoceh dan tertawa, apalagi Daniel tak berhenti menggodanya." Bella menghela nafas. "Dia tertawa sampai menangis." Janice tertawa renyah membayangkan Tristan yang lucu. Bocah itu memang tak ada bedanya dengan Daniel kecil dulu yang senang tertawa dan jahil. "Dia sama seperti Daniel, Bell. Kuharap kau banyak bersabar membesarkan Tristan, bagaimanapun juga membesarkan anak laki-laki tak semudah anak perempuan." Ia melihat dua wanita seumuran dengannya lalu mengangkat sebelah tangan ke arah mereka. "Maaf aku sudah tiba dan temanku sudah datang. Aku harus menutup panggilanmu, Bell. Jangan pulang sebelum aku tiba oke?!" pintanya yang tak lama menutup panggilan Bella lalu cipika cipiki bersama dua wanita tadi. Bella melirik Daniel. "Kita tidak boleh pulang sebelum dia tiba di rumah, Dan." Memberitahu Daniel yang mengemudikan mobil memasuki perumahan elit. Daniel mengangguk. "Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian disana, nanti sore aku harus menemui Austin," jawabnya, melambatkan laju mobil tepat di depan gerbang besar, mengklakson dua kali tak lama gerbang itu terbuka setelah seorang pria berseragam security membuka gerbang. "Austin? Untuk apa? Kenapa tak kau undang saja kesini?" saran Bella, walau tak tahu tujuan Daniel bertemu dengan polisi tampan itu. Daniel menggeleng tak setuju. "Tentang Meg. Aku belum bisa menceritakan detailnya, yang pasti ada hal yang harus aku bicarakan serius dengannya nanti." Ia menghentikan mobil tepat di garasi. "Oke, aku paham." Bella membalas, melihat Tristan yang mendongak terheran. "Kita sudah sampai, Tristan. Jangan nakal ya." Menggoda Tristan yang tak lama tersenyum lagi. Daniel turun dari mobil lebih dulu lalu membuka pintu untuk Bella. Ia juga mengambil stroller dari bagasi lalu meletakkan Tristan disana.  Daniel mendorong stroller menuju pintu utama. Tiba di sana Meg sudah menyambut dan bergegas mengangkat dan menggendong Tristan. "Kak Hans sudah menantimu sejak tadi, Daniel," ucap Meg, mencium pipi Tristan gemas sambil berjalan memasuki rumah.  Daniel mendorong stroller kosong mendahului mereka. "Aku sudah tahu." Berjalan tergesa-gesa menuju ruang tengah, meletakkan stroller disana lalu melanjutkan langkah menuju taman belakang. "Sejak kapan Mama pergi?" Tanyanya basa basi. "Beberapa menit yang lalu,"  jawab Meg, kembali menciumi Tristan tapi kali ini ia menjerit ketika mengangkat Tristan, bocah itu menjambak rambutnya sambil tertawa. "Kau nakal, Tristan." Rambutnya menjadi berantakan tapi tak jera menciumnya lagi. Meg menghentikan langkah memasuki kamar Tristan, kamar yang awalnya kamar Hans yang didekor menjadi kamar bayi untuk menyambut kedatangan Tristan. Ia meletakkan Tristan di tempat tidur persegi tapi bocah itu merengek menolak di letakkan disana. "Sepertinya ia haus." Bella mengambil Tristan lalu duduk di bibir ranjang besar. Ia mengeluarkan sebelah payudaranya dan mengarahkan p****g kedalam mulut Tristan yang terbuka lebar. Bocah itu menghisap ASI antusias dan perlahan memejamkan mata, merasakan kantuk berada dalam dekapan Bella. Meg yang melihat pemandangan Bella menyusui Tristan tersenyum tipis. Ada sebuah rasa ingin menikmati momen itu seperti Bella. Menikah lalu menjadi seorang ibu. Rasa itu semakin tak tertahan melihat wajah polos Tristan, membayangkan memiliki bayi lucu seperti keponakan kesayangannya, Tristan. "Kau masih merokok?" tanya Meg melihat Bella mengelus rambut coklat Tristan sambil menyusui. Bella mengangguk. "Tentu. Aku masih merokok tapi mengurangi jatah rokokku sekarang." Menjawab jujur dan mengakui dirinya yang sulit berhenti merokok begitu juga meneguk minuman itu. "Kenapa?" Meg mengangguk. "Tidak. Hanya bertanya saja. Kupikir mempunyai anak bisa membuatmu berubah seratus persen, ternyata.." Ia menghela nafas, tak melanjutkan ucapan. "Aku menjadi ibu bukan menjadi pasien yang mengidap penyakit Amnesia, Meg." Bella tertawa, melihat Meg merebahkan tubuh di ranjang. "Apa kau tertarik mempunyai anak? Bukankah kau berniat nikah muda dengan Austin?" tebaknya yang ingat betul keinginan Meg, apalagi ia mempunyai kekasih yang sudah cukup umur untuk menikah. Meg mengangguk. "Tentu. Aku tak sabar untuk menikah tapi dia belum juga melamarku." Menghela nafas kesal membayangkan Austin. "Sabar, Meg. Aku rasa dia sedang menyiapkan kejutan untukmu." Bella menyemangati Meg yang berwajah muram, ia tahu keinginan Meg yang tak sabar untuk menikah bersama Austin apalagi Janice selalu mengancamnya akan menjodohkan dengan pria lain, makin membuat Meg kesal. "Aku selalu sabar, Bella. Tapi Austin selalu saja--" ucapan Meg terhenti merasakan handphone nya bergetar di saku celana pendek yang bermotif floral itu. "Austin?" Ia spontan bangkit. "Aku harus mengangkatnya." Lalu bergegas turun dari ranjang meninggalkan Bella di kamar. Bella melihat Tristan yang sudah tertidur. Ia meletakkan Tristan di tempat tidur persegi itu sambil tersenyum. "Tidur yang nyenyak, Sayang." "Aku belum mengantuk," celetuk seseorang yang berdiri di pintu yang sudah terbuka lebar. Bella menoleh kebelakang, melihat senyum pria bermata kelabu itu berjalan mendekat. "Hans?" Melihat Hans bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana pendek sambil mengebaskan rambutnya yang basah. "Bukankah Daniel ingin bicara denganmu. Kemana dia?" Bella terheran Hans meninggalkan Daniel di taman, yang ia tahu Daniel ingin bicara penting bersama pria tampan yang pesonanya tidak pernah memudar itu. Tapi pria berambut hitam itu berada di kamar bersamanya sekarang. Tentu saja tanpa Daniel. Hans berdiri disamping Bella, melihat Tristan yang terlelap. "Dia baru saja pergi setelah menerima panggilan dari Papa, menyusul ke padang Golf." Ia tersenyum, melihat Tristan. "Dia mirip dengan Daniel sekali." Mencermati wajah tampan keponakannya yang tak beda dengan Daniel kecil. "Tentu karena dia ayahnya," sahut Bella cepat, "kalau dia mirip denganmu berarti kau sudah meniduriku." Membalik tubuh bermaksud menuju ranjang tapi langkah Bella tertahan setelah Hans mencengkram dan menarik lengan Bella membuat d**a Bella berbenturan dengan Hans. "Aww..Ada apa, Hans?!" Ia meringis merasakan dadanya sakit dan memaksa  mendongak menatap mata kelabu Hans. Hans menyeringai, menangkupkan kedua tangan di pipi Bella. "Aku ingin menidurimu sekarang." "s**t!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD