Mama...Mimi...

1701 Words
“Kenapa? Apa aku salah bicara?” Hans menahan tawa, melihat Bella yang menekuk wajah kesal dan seperti singa yang bersiap mengaum. Bella menepis kedua tangan Hans, menghela nafas kesal dan berusaha sesantai mungkin walau sebenarnya ia ingin berteriak. Namun melihat wajah lelap Tristan membuat hatinya damai dan emosinya reda. Meskipun Hans sudah berusaha membuat darahnya mendidih kali ini. “Bapak Hans Wijaya yang terhormat.” Ia bicara dengan nada sopan karena  menganggap sedang berhadapan dengan seorang Manajer bukan pribadi Hans yang labil.  Mengapa labil? Bagi Bella Hans sering berubah. Terkadang Hans bisa menjadi pria yang bisa ia andalkan selayaknya hero namun disisi lain, Hans tak ubahnya seperti predator yang siap menerkamnya setiap saat walau sadar dirinya adalah seorang kakak ipar yang jatuh cinta pada adik ipar. “Ya, Sayang.” Sambung Hans cepat dan tersenyum lebar. Bella berdecak dan kembali menghela nafas kesal walau masih menahan amarahnya. “Aku adik iparmu.” “Aku tahu.” Sela Hans lagi tak mau kalah. Kali ini tangan Bella terkepal. “Ibu dari keponakanmu yang tampan, Tristan Wijaya. Dan kau--” “Hans Wijaya, anak tertua dari Albert Wijaya. Kakak dari suamimu sekaligus paman dari keponakanku yang paling tampan di dunia, Tristan Wijaya.” Sambung Hans, menjelaskan sedikit hubungannya dengan Daniel dan Tristan. Bella menyilangkan kedua tangan di depan d**a dan mengangguk. Mengiyakan ucapan Hans yang memang benar adanya. Tidak lebih dan kurang. “Ya. Kau benar, Hans. Statusmu adalah kakak iparku dan lagipula kau sudah mempunyai istri cantik seperti supermodel. So, berhentilah bermimpi untuk bisa meniduriku ataupun mencumbuku seperti dulu karena itu…” Ia mengangkat dagu menatap lekat kedua bola mata Hans yang kelabu. “Takkan terjadi lagi. Kau paham?” “Tidak.” Hans menggeleng. "Sesuatu yang terkadang kita pikir 'tidak akan terjadi' akan 'bisa terjadi', Bell. Tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Begitu juga dalam menjalin hubungan." Senyumnya melebar dengan kilau mata yang mengartikan banyak hal.  Bella setengah tertawa menanggapi omongan kosong Hans yang dinilai terlalu mengada-ada dan penuh percaya diri. Ia yakin itu hanya bualan Hans, bukan ucapan serius. “Maksudmu, aku dan kau tidak menutup kemungkinan seperti dulu? Kita berciuman, b******u lalu…” Ia mengangkat sebelah alisnya ke atas, terbayang kejadian beberapa waktu yang lalu saat dirinya tidak mempercayai cinta lalu terlena dengan cumbuan Hans. “Ya.” Sekali lagi Hans menyambung ucapan Bella. Ia kembali mengusap pipi Bella dengan punggung telapak tangannya sembari tersenyum. “Aku merindukan saat-saat itu, Bell.” Bella menepis lagi tangan Hans. “Berhenti bermimpi Hans. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang. Sebaiknya kau pikirkan kebahagiaanmu bersama Debie, bukan bersamaku.” Ia membalikkan tubuhnya cepat dan bermaksud meninggalkan Hans namun langkahnya tertahan ketika Hans menarik sikutnya hingga membuatnya berbalik dan menghadapnya lagi. “Tak perlu kau ajari aku tentang kebahagiaan, Bell. Tidak ada di dunia ini yang tidak aku rasakan. Jatuh cinta, berhubungan, menikah lalu disakiti, sudah aku rasakan. Tapi setelah melihatmu, aku--” “Kak Hans, Kak Debie...” Hans melepas pegangannya cepat, setelah melihat Meg menyembulkan kepala dari balik pintu kamar dan memanggil namanya. Meg membuka pintu lalu berdehem melihat mereka berdiri saling berdekatan dan gelagat mereka seperti pasangan kepergok Satpol PP yang tiba-tiba menjaga jarak setelah dirinya hadir di kamar itu lagi. “Ada apa dengan Debie?” Tanya Hans berjalan ke arah Meg yang berdiri sambil bersandar di dinding dengan kedua tangan bersilang di depan d**a. Meg melirik Hans bergantian dengan Bella lalu menghela nafas pelan. “Dia baru saja menelponku dan menyuruh Kak Hans menjemput dia di salon. Sejak tadi dia menelpon kakak tapi gak di angkat.” Hans merogoh saku celana lalu mengeluarkan ponsel. “Oh ya, aku mematikan nada deringku.” Dengan cepat Hans memencet nomor kontak Debie lalu keluar kamar dengan tangan menempelkan ponsel di telinga. Meg menggeleng melihat Hans yang memilih melakukan panggilan di luar kamar. Ia melirik Bella yang terdiam melihat Tristan. “Apa dia masih menggodaimu?” Tuduh Meg yang spontan membuat Bella terkejut. “Eh?” Dahi Bella berkerut tak mengerti. “Apa maksudmu, Meg?” “Kak Hans.” Meg menunjuk ke arah pintu yang terbuka lebar, ia melangkah mendekat ke arah Bella. “Apa dia masih merayumu?” Bella melihat tatapan Meg yang serius, setelah sekian lamanya menjadi kakak ipar, baru kali ini Meg mencurigai dengan tatapannya walau tahu Meg sudah lama mengetahui Hans juga pernah menyukainya. Bella menggeleng dan bersikap santai. “Tidak. Kami hanya membicarakan tentang Debie.” katanya sembari mengalihkan wajah melihat Tristan lagi lalu tersenyum. Mendengar jawaban Bella, Meg setengah tertawa dan tak percaya. “Come on, Bella. Kau tidak perlu menutupi jika Kak Hans masih merayumu.” Ia mendekatkan mulut ke telinga Bella lalu berbisik, “Saat hari pertunanganmu di Jogja, aku melihat kalian berciuman di kamar mandi lantai atas.” Lalu senyumnya mengembang, binar matanya seakan berkata 'Gotcha!' Kedua mata Bella membulat, seketika ia teringat kejadian  setahun yang lalu saat kedua kalinya ia berciuman dengan Hans. Namun mengakui affairnya pada Meg bukanlah solusi, ia takut Meg mengadukan hal itu pada Daniel walau saat itu benih-benih cinta diantara ia dan Daniel belumlah tumbuh. “Sepertinya kau salah lihat, Meg.” Bella berjalan menuju ranjang, duduk di tepinya dengan kedua tangan terjulur ke belakang sembari menatap Meg. "No." Meg menggeleng. "Aku melihat jelas kalian berciuman dan.. aku tidak sendiri." "Apa?!" Bella duduk tegak. Nafasnya seakan tercekat mendengar ucapan Meg, begitu juga jantungnya perlahan berdetak kencang. Ia salah menduga, Ternyata Meg mengetahui hubungannya bersama Hans lebih dari dugaannya. “Kau tidak sendiri? Maksudmu?” Berharap Meg hanya bergurau, setidaknya jika dia sudah mengetahui apa yang terjadi bersama saat itu bersama Hans, cukuplah Meg yang melihatnya tidak dengan orang lain, terlebih lagi orang itu adalah Daniel. Meg tertawa kecil. “Come on, Bella. Kau tidak perlu menampik hubunganmu bersama Kak Hans sebelum menikah. Kami sudah mengetahuinya dan--” “Kami?!” Bella spontan bangkit mendengar kata ‘Kami’. Ia berharap apa yang ia takutkan tidak terjadi. “Siapa yang mengetahui selain kau, Meg?” Dalam hati Bella mulai berdoa. Meg menghela nafas. “Aku dan Ayah.” "Apa?!" ❤️❤️❤️ “Ada apa?” Suara Daniel dan pelukannya dari belakang mengejutkan Bella yang sedang berdiri di balkon sambil memandangi pemandangan kota yang indah di malam hari yang cerah. Sebenarnya tidak seindah yang orang lain pikirkan. Asap polusi memenuhi udara hingga membuat langit berkabut, suara klakson yang bising dan cuaca yang akhir-akhir ini tidak menentu, membuat siapapun tinggal di kota itu harus bisa beradaptasi. Hanya kilau warna lampu-lampu gedung, iklan billboard, lampu kendaraan yang mewarnai kelamnya malam-malam di Jakarta adalah keindahan kota yang ada dalam pandangan Bella sekarang. Selain itu ada...Daniel. Senyum Bella memudar setelah ia berbalik dan menatap Daniel yang terkekeh sambil menggaruk kepalanya. "Ada apa, Bella sayang?" Daniel tersenyum selebar mungkin walau melihat Bella menekuk wajah dan menatapnya tajam seperti singa betina yang sedang PMS. Dan ia bersiap-siap ambil langkah seribu.  Bella menyilangkan kedua tangan di depan d**a, kepalanya menggeleng sambil berdecak. "Sampai kapan kau mengajari Tristan melakukan hal konyol? Kau tahu, gara-gara kau, aku hampir dibuat malu karena ulah anakmu itu." Itu adalah keluhan Bella yang pertama. Namun sayangnya Daniel memasang wajah naif. Mengerutkan dahi dan memasang wajah naif adalah senjata pertama yang biasa Daniel lakukan. Dan ia mengulanginya lagi. "Hal konyol? Apa yang dia lakukan, Bell?" Pertanyaan yang sering ia tanyakan ketika Bella mulai menagih jawaban tentang Tristan. Bella tersenyum lebar namun tatapannya seakan ingin melumat Daniel hidup-hidup. "Dengarkan baik-baik ceritaku, Dan." Pintanya walau dengan nada memaksa. Sebelum bercerita ia menghirup nafas pelan-pelan, berusaha menahan emosi setiap kali melihat akibat ulah kekonyolan Daniel. "Begini ceritanya…" Beberapa jam yang lalu, Mall - Jakarta "Come on, Bella. Turunlah.." kedua kalinya Hans membujuk Bella setelah setelah lima menit lamanya mereka tiba di lantai basement Mall di kawasan Jakarta pusat. Namun sekali lagi juga Hans melihat gelengan kepala Bella dan menatapnya kesal. "Uncle Hans, kau berjanji mengantarkan ku pulang ke apartemen, bukan mengajakku ke Mall untuk menjemput Debie di salon. Apa kau amnesia?" Jelas Bella memberi alasan. Selain ia malas mengunjungi Mall, hari sudah sore dan ia belum memandikan Tristan. Hans turun dari mobil sambil bergumam. "Kau selalu keras kepala, Bell." Ia melangkah ke belakang mobil lalu membuka bagasi. Bella yang masih duduk di samping kemudi dan memangku Tristan menoleh kebelakang. "Hei kau apakan Stroller Tristan?! Apa kau mau mengusir kami?" Melihat Hans mengambil dan menurunkan stroller itu lalu menutup bagasi. "No." Jawab Hans setengah teriak. Ia berjalan setengah lingkaran lalu menuju ke arah kursi Bella sambil mendorong stroller.  Hans membuka pintu mobil. "Turunlah." Ajaknya lagi. "Keponakanku butuh hiburan. Ia harus sering melihat indahnya Mall karena kelak akan menggantikan aku dan Daniel. Ayo."  Bella bergeming dan pandangannya kedepan namun tidak pada Tristan yang meliukkan tubuhnya di atas pangkuan Bella berusaha untuk lepas. Jika ia sudah pandai berjalan mungkin sudah melesat keluar setelah Hans membuka pintu. Hans mendengus kecewa. "Jika kau bersikeras di dalam mobil, biarlah aku pergi bersama Tristan. Jika kau melarang kami aku akan--" "Akan apa?" Sela Bella menoleh ke arah Hans yang spontan mendekatkan wajahnya lalu berbisik. "Menciummu lagi seperti dulu." Ancam Hans, tangannya meraih Tristan lalu mengambil dari pangkuan Bella lalu menaruh di atas stroller. Bella berdecak. "Kau memang pandai mengancamku, Hans." Dengan terpaksa ia pun turun dari mobil lalu berjalan mengikuti Hans dari belakang. Hans menoleh ke belakang. "Aku bukan mengancammu karena aku akan melakukannya lagi, Bell." Pandangan kembali ke depan dan mendorong stroller itu menuju pintu lift. Bella memutar bola matanya kesal. "Oh tentu saja itu bukan ancaman karena kau menginginkannya lagi." Gumamnya dan terdengar jelas oleh Hans namun pria itu tertawa dan terus melangkah masuk ke dalam lift yang didalamnya sudah di isi seorang wanita muda mengenakan blus dengan belahan d**a rendah hingga payudaranya menyembul indah di sana. "Hallo adek.." Sapa si wanita cantik seksi itu sedikit membungkukkan tubuhnya menyapa Tristan yang mengoceh dan tersenyum bahagia. Ia mengusap pipi Tristan lalu mendongak melihat Hans yang memasang raut wajah yang sama. "Lucu banget. Namanya siapa, Pak?" "Hans." Jawab Hans bangga. Bella menggeleng. "Dia bukan menanyakan namamu, Hans. Tapi keponakanmu." Jelas Bella sambil berbisik. Hans menoleh ke samping, menatap Bella yang memandangnya dengan tatapan datar. "Aku tahu, Bell. Tidak bisakah kau membiarkan aku interaksi dengannya?" Balasnya dengan bibir tidak sepenuhnya terbuka agar wanita itu tidak mendengar jelas ucapannya. Bella membuang wajah lalu bergumam lagi. "Dasar buaya." Ketusnya melihat kelakuan Hans yang tak jauh berbeda dengan Daniel. "Namanya Hans? Nama yang bagus." Puji wanita itu lagi. "Terima kasih." Balas Hans tersenyum lebar lalu melirik Bella lagi tapi sayangnya Bella menggeser dua langkah menjauh dari Hans. "Anggaplah aku tak mengenalmu." Gumam Bella lagi bersandar di dinding lift dan terus memperhatikan mereka. "Mimi.." Oceh Tristan sambil menunjuk d**a wanita cantik itu. "Mimi…" Ia tidak merengek seperti biasanya minta menyusui pada Bella melainkan tersenyum sambil tertawa layaknya bayi enam bulan. "Adek haus?" Goda wanita tadi. 'Ting' Wanita itu menoleh kebelakang melihat pintu lift terbuka dan ia harus keluar dari sana. "Sampai ketemu lagi, Adek." Ia mencium pipi Tristan namun bocah Itu melakukan kesalahan.  Tangan Tristan berada di belahan d**a wanita itu lalu berkata, "Mimi." Lagi.  Melihat Tristan meremas kecil d**a wanita itu, Bella berteriak. "Tristan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD