Terlanjur

1016 Words
Malam pun tiba. Elvina sudah terlelap di kamar Clara. Rafael tidak mungkin membiarkannya tertidur dalam posisi setengah tubuh Elvina berada di atas kasur Clara, sedangkan kakinya di lantai. Dengan sangat hati-hati ia menggendong Elvina untuk ia pindahkan ke kamarnya, khawatir jika wanita itu terbangun saat merasakan pergerakan tangan Rafael yang menyentuhnya. Tampaknya Elvina sudah benar-benar terlelap sehingga ia tak merespon apapun. Rafael kembali ke kamar Clara, lalu menggendong gadis kecilnya itu dan merebahkan tubuhnya tepat di samping Elvina, di kamarnya. Setelah menyelimuti mereka berdua, Rafael memutuskan untuk tidur di sofa di kamarnya. Kasur Clara sangat kecil, hanya pas untuk dirinya saja. Itu sebabnya, Rafael membawa anak dan ibu angkat Clara ke kamarnya. Apakah Rafael tidur dengan nyenyak? Tidak! Ia tak henti memandangi pemandangan yang tak biasa. Anak dan wanita yang ia cintai, kini mereka ada di kamarnya. Saat terlelap pun Rafael sering terbangun, sesekali memeriksa keadaan Elvina. Ia sengaja mengunci pintu, tak ingin Elvina pergi tanpa sepengetahuannya. Di tempat lain “Lo kenapa, hah?” tanya Dafa yang melihat William terlihat sangat kacau. Sahabatnya itu sudah terlihat bermasalah sejak beberapa hari yang lalu, tetapi William tak pernah mau menceritakan masalahnya hingga Dafa hanya menyimpan beberapa pertanyaan yang sulit ia tanyakan langsung kepada William. “Entah.” William mengangkat bahunya sekilas membuat Dafa mendecih kesal. Selalu seperti itu, selalu menyembunyikan permasalahannya. “Jangan banyak-banyak, entar diomelin bini lo.” Dafa mengambil alih botol yang akan William buka, lalu menjauhkan botol minuman tersebut. “Bini gue yang mana?” William menatap Dafa dan memincingkan satu alisnya, senyum sinisnya tak enak dipandang oleh siapapun. “Emang bini lo ada berapa? Yang lo anggap 'kan cuma si Ranty,” jawab Dafa ketus, ia tak tahu masalah apa yang sedang terjadi pada William. Namun, mengucapkan nama Ranty, mendadak ia kesal sendiri. “Menurut lo, salah gak kalo gue cuma anggap satu bini?” tanya William meminta nasehat, ia mabuk cukup berat sehingga tidak bisa mengontrol kata-katanya. “Jelas lah. Walaupun lo gak ada perasaan sama bini pertama lo, setidaknya dia dapat haknya sebagai bini lo. Lo bahkan gak peduli dia dapat masalah atas nama lo. Lo juga gak tau 'kan keseharian dia? Gue curiga lo bahkan gak pernah nyentuh dia.” Dafa hanya menebak, tapi memang itulah yang terjadi. William tidak menceritakan persyaratan menikahi Elvina, akan tetapi perkataan Dafa membuat William semakin tertekan. “Gue mau pulang,” pinta William dan Dafa segera meminta pengawal William untuk membawa majikannya itu pulang sebelum pria itu membubarkan semua pengunjung club tesebut. Sepanjang perjalanan, William tak mengatakan apapun sehingga sopir pribadinya membawa pria itu ke apartemennya. Sialnya, ia baru menyadari tepat setelah sampai di parkiran apartemen. Padahal, tadinya ia ingin bermalam di kamar hotelnya saja. Bukan tanpa sebab William malas pulang ke apartemen elitnya. Ranty baru saja pulang dari liburannya di Taiwan dan sudah ia pastikan bahwa istri keduanya itu akan mencecari pertanyaan perihal dirinya yang mabuk. Dengan langkah sempoyongan, William berjalan menyusuri lorong apartemen seorang diri, ia tak ingin dibantu oleh para pengawalnya untuk berjalan sehingga mereka pulang ke kediaman masing-masing atas permintaan William. “Will? Kamu sejak kapan jadi pemabuk gini?” oceh Ranty saat William baru saja masuk ke dalam apartemen. Ranty segera menutup pintu dan meraih lengan William untuk ia bopong karena pria itu berjalan terseok-seok. “Sejak kamu berubah,” jawab William sekenanya sambil melepaskan tangannya yang Ranty raih. “Kamu yang berubah, Will! Kamu gak pernah mabuk separah ini!” bentak Ranty tak mengerti dengan apa yang terjadi kepada suaminya itu. Ia berjalan mengekori William yang akan memasuki kamarnya. “Berisik.” William tak ingin mendengar omelan Ranty. “Kamu ada masalah apa sebenarnya? Masalah kantor?” tanya Ranty penasaran, menekankan ucapannya. William menghentikan langkah kakinya setelah masuk ke dalam kamar, ia lalu menatap Ranty heran. “Sejak kapan kamu perhatian sama aku? Bukannya gak peduli? Mau aku seperti apa juga,” sindir William sangat menusuk tapi dengan nada rendah. “Will ... kamu marah karna aku sering liburan ke luar Negeri? Bukannya kamu sendiri yang saranin aku buat berlibur?!” Tampaknya Ranty tak ingin disalahkan dan malah balik menyudutkan William. “Kamu udah dewasa, udah gak perlu aku kasih tau mana yang salah dan mana yang benar.” William segera melanjutkan langkahnya dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi telungkup. “Will!” panggil Ranty yang masih ingin melanjutkan pembicaraan. “Jangan ganggu! Aku mau tidur,” pinta William sungguh-sungguh, ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun apalagi berdebat. Ranty menghela napas dan membuangnya ke sembarangan arah untuk menenangkan dirinya, ia lalu ikut berbaring di samping William dan memeluknya. “Aku kangen Will,” ucap Ranty lembut. Ia hanya ingin meredakan amarah William. Bukan hal baik membuat pria itu marah dan mungkin akan berpaling darinya. Untuk membayangkannya saja, Ranty tak sanggup. Siapa yang akan membiayai hidupnya jika ia berpisah dengan William? “Aku lagi gak mau diganggu, Ra.” William menepiskan tangan Ranty merasa risih. Namun, kali ini Ranty mencak-mencak, dirinya sangat tak suka dengan perilaku William yang sangat berbeda. “Will! Jangan bilang kamu punya cewek lain! Apa maksudnya kamu gak mau aku peluk?!” bentaknya setelah bangkit dan duduk di tepi ranjang. “Kalau aku punya cewek lain, gak mungkin pulang ke sini!” jawab William tak tenang, ia sangat risih karena Ranty terus mengganggunya sedangkan ia sedang ingin menyendiri. Tanpa berpikir lagi, William berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya. “Kamu mau ke mana?!” Ranty semakin bingung. “Nyari cewek lain! Puas?!” kilah William membentak tanpa menatap Ranty dan terus melangkahkan kakinya menuju pintu utama. “Willi! Gak bisa! Kamu jangan keluar lagi!” cegah Ranty yang segera mendahului William dan berdiri tepat di jalan yang akan dilalui suaminya itu sehingga William menghentikan langkahnya. “Fine, jangan ganggu aku! Paham?!” tegas William tak ingin dibantah. Ia lalu berbaring di sofa dan segera memejamkan matanya, tanda ingin mengakhiri pembicaraannya dengan Ranty. Ranty hanya dapat mengumpat di dalam hatinya, tak pernah ia melihat William seperti itu. William yang sangat menyayanginya, penuh sabar dan tak pernah mengomentari apapun yang dilakukannya. Tapi apa sekarang? Ada apa dengannya? Batin Ranty mulai tak tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD