16. Ilusi

1325 Words
Aina perlahan membuka matanya ketika merasa ingin buang air kecil. Namun, dia sama sekali tidak bisa bergerak. Lengan besar Julian melingkar di pinggangnya dengan telapak tangan yang meraba perut telanjangnya. Nafas teratur Julian bahkan terasa sangat dekat di ceruk leher Aina. Menggelitik sesuatu dalam dirinya. Ya, mereka melakukan 'nya'. Aina pikir karena pernikahan yang dipaksakan diantara mereka, hubungan layaknya suami-istri itu tak akan terjadi. Pernikahan yang terjadi hanya karena tanggung jawab Julian yang tidak sengaja meniduri Aina di saat mereka sama-sama tidak sadar. Namun, semalam mereka baru saja melewati malam yang panjang bersama. Mereguk nikmatnya surga dunia sebagai sepasang suami istri. Mengeja satu persatu bahasa dari tubuh masing-masing. Menghirup aroma yang memabukkan hingga membawa mereka terbang bersama menuju surgawi. "Iya sayang, ini tangan Papa kamu", batin Aina membelai perutnya yang waktu itu tengah hamil tiga bulan. Selama ini Julian tidak peduli dengan kehamilannya bahkan seolah menjaga jarak. Namun yang terjadi semalam menerbitkan harapan baru bagi rumah tangga mereka di hati Aina. Julian bersikap sangat lembut, seolah Aina adalah kristal yang mudah rapuh. Dia seolah sudah mulai bisa menerima mereka. Pelan-pelan Aina mengalihkan tangan suaminya menyingkir dari pinggangnya dan berlari ke kamar mandi masih dalam keadaan polos. Setelah mandi dan memakai handuk yang hanya menutupi d**a hingga pahanya, Aina keluar kamar mandi. Tatapan mata Aina dan Julian kembali bertemu. Semburat merah muncul seketika di wajah Aina hingga telinga melihat Julian sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Menampakkan d**a berototnya yang semalam sempat disentuhnya. "Sudah bangun mas?" tanyanya kikuk. "Sejak setengah jam yang lalu", jawab Julian santai. Aina membola, berarti Julian lebih dahulu bangun dari dirinya dan melihat tingkahnya tadi. Apalagi tadi Aina sempat menyentuh bibir Julian dengan jarinya. Aina kini semakin malu. Dia bergegas masuk walk in closet, menutup pintunya dan menarik nafas mengatur ritme jantungnya. Baru selesai memakai terusan putih bermotif hati kecil, tiba-tiba tangan besar Julian memeluk erat perutnya dari belakang. Julian nampaknya baru selesai mandi. Hanya memakai handuk di pinggang dengan air yang masih menetes dari rambutnya. "Kamu wangi banget" ucap Julian tepat di telinga Aina. "Kan habis mandi," Aina berbalik menampakkan senyum manisnya. Julian menuduk mengecup singkat bibir merah muda alami Aina. "Hmm, rasanya nggak mau ke kantor", Julian membawa Aina dalam pelukannya, membelai punggung istrinya lembut. Namun perlahan turun ke b****g dan meremasnya seduktif. Aina tahu kemana akhir semua ini jika dia hanya pasrah. Dia mengurai pelukan suaminya, berjingkit mengecup pipinya singkat. "Katanya hari ini mau ketemu klien, jangan mangkir mas! Nanti orang-orang mempertanyakan kinerja kamu yang baru di angkat jadi direktur utama," bujuk Aina lembut sambil menangkup pipi Julian. "Aku bantu kamu pakai baju ya," ucap Aina lagi, kemudian memasangkan Julian kemeja putih yang sudah disiapkannya. Mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil dan mengikat dasi di lehernya. Julian hanya diam menikmati dan memperhatikan setiap gerakan Aina mengurus dirinya. Sambil mengikat simpul dasi di leher Julian. Aina nampak ingin menyampaikan sesuatu terlihat dari caranya menatap mata Julian kemudian kembali melihat ke arah dasi yang di tangannya. Begitu terus berulang-ulang. "Kenapa?" peka Julian. "Mmmm boleh kah siang nanti aku pergi?" Alis Julian terangkat sebelah. "Sama Dita adik aku, aku kangen dia," akhirnya Aina bicara dengan jelas. "Oke, diantar Pak Budi kan?" Kini Aina tersenyum simpul. "Saya cuma nggak mau kamu ngerepotin kalau nyasar lagi," sambung Julian buru-buru. Dia tidak ingin Aina berpikir kalau dia mengkhawatirkan nya. Egonya masih terlalu tinggi untuk mengakui kalau sebenarnya dia memang khawatir. "Oke oke", Aina manggut-manggut mengulum senyum. "Mmmm..." "Anything else?" "Minta duit..." rengek Aina manja. Sungguh Julian gemas sendiri melihat tingkah istrinya ini. Sisi manja dari seorang Aina. "Apa gunanya saya kasih kamu unlimited card selama ini?" "Ihh malu tau cuma buat beli bakso ini, nggak pantas buat aku. Mau yang cash aja mass..." rengek Aina. Julian mencubit gemas hidung mancung istrinya kemudian mencium pipinya berkali-kali. Ingin rasanya mengungkungnya kembali di tempat tidur. Julian mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya. "Segini cukup?" "Ihh kebanyakan mas..." sahut Aina sembari merebut uang itu dari tangan Julian dan tertawa girang. Julian tak mampu menyembunyikan senyum melihat sifat manja Aina yang baru dilihatnya ini. Sejenak dia melupakan janjinya agar menjaga hatinya hanya untuk Bella, cinta pertamanya. Ternyata dekat dengan Aina juga tidak buruk pikirnya. Aina ingin keluar dari ruangan itu bermaksud ingin menelepon Dita. "Eits, kamu kayaknya lupa sesuatu," cegah Julian. Aina berbalik dan mengerutkan alis bingung. Julian melihat ke bawah tubuhnya dan diikuti oleh Aina. Tetiba wajah Aina kembali merona. Julian masih memakai handuknya belum memakai celana. "Ck pakai sendiri aja lah mas," ucap Aina seraya tergesa menjauh dari Julian. Tawa Julian kini pecah. Menggoda Aina semenyenangkan itu rupanya. *** "Mba Aina!" Dita berlari menuju arah Aina yang telah menunggu di area food court di sebuah mall. Aina sontak berdiri membentangkan tangan memeluk adik tersayangnya itu. Meskipun mereka berbeda ibu, namun mereka tidak pernah dibedakan oleh ibu kandung Dita yang kini mendampingi ayah mereka. "Kamu apa kabar dek, kok nggak pernah nelpon mba sih?" "Bentar-bentar," bukannya menjawab pertanyaan Aina, Dita malah berjongkok menghadap perut sang kakak, mengelusnya lembut, kemudian berkata. "Hai bayi, kamu ngapain di dalam? Sehat sehat ya, jangan nakal, jangan terlalu comel juga, nanti aku ada saingan hihii". Aina tertawa melihat tingkah Dita dan menariknya duduk di kursi dekat mereka. "Kamu ada-ada aja, ya lebih comel dia lah secara emaknya imut gini, bapaknya ganteng lagi," Aina berkelakar. Entah mengapa dia sudah tidak canggung membanggakan Julian di depan orang-orang. "Ciee yang lagi bucin..." "What?" Aina tidak terima dengan pernyataan Dita namun pipinya memerah malu. "Gimana kabar bapak sama ibu?" Aina mengalihkan topik. "Ya gitu deh mba, tensi bapak kayaknya nggak turun-turun kalau ngungkit nama mba Aina di rumah". Wajah Aina kembali datar. Ada rasa kecewa di hatinya ketika ayahnya belum bisa memaafkannya. "Tapi mba tenang aja, mereka sehat kok. Tambah mesra malah," seloroh Dita selanjutnya. Aina kini mencubit pipi adiknya gemas. "Ihh anak kecil tau mesra mesra'an, belajar dimana?" Aina tertawa jahil. "Mba, sakit aauu iihh," Dita menjauhkan tubuhnya. Namun sesaat kemudian wajahnya berubah serius menatap sosok yang dikenalinya di arah eskalator. "Mba Ai, itu bukannya Mas Julian ya?" Aina berbalik melihat ke arah yang ditunjuk Dita dengan dagunya. 'Deg' Sejenak Aina masih memproses apa yang dilihatnya. Matanya tiba-tiba saja terasa panas menahan gemuruh di dadanya. Jantung Aina mulai memompa tidak karuan. "Bukan kali, cuma mirip, dia katanya ada meeting sama klien?" Aina berkilah. "Ih masa sih mba? itu mas Julian, yang gandeng pinggang cewek seksi!" sekali lagi Dita meyakinkan. "Ih, kayanya aku kenal sama ceweknya, itu bukannya Anabella Laura ya? artis baru yang main di FTV". Gemuruh di hati Aina akhirnya kini tak tertahankan naik ke matanya dengan buliran air yang sekuat tenaga di tahannya. "Tidak mungkin!" gumamnya dalam hati meyakinkan. Namun, ketika mata lelaki yang di pandanginya itu bertemu dengan mata bulat Aina, luruhlah sudah harapan yang baru saja dibangunnya. Julian bahkan hanya menatap datar ke arah Aina dan terus melangkah masih dengan merangkul mesra Bella yang juga tanpa malu bergelayut manja di lengannya. "Kamu salah lihat dek, Mba ke toilet dulu," ucap Aina sembari melangkah terburu-buru ke toilet. Dita tidak boleh melihatnya menangis. Sesampainya di toilet, dia mengunci pintu, membuka kran air dan menangis sejadinya. "Apa yang kamu harapkan Aina, bodoh! Dia tidak mungkin cinta sama kamu. Dari awal dia memang milik Bella. Kamu justru cuma penghalang kebahagiaan mereka." Aina berbicara sendiri. "Sabar sayang, mama nggak apa-apa kok. Kamu kekuatan mama, jadi kita harus bertahan ya," Aina mengelus lembut perutnya. *** Nafas Aina memburu dengan bulir air mata di pipinya. Dilihatnya ke arah jam di dinding kamar yang menunjuk angka lima. Julian yang menggodanya semalam memancingnya memimpikan hal yang tidak sewajarnya. Mimpinya barusan bukanlah mimpi biasa. Melainkan pengingat Aina untuk tidak lagi terlena dengan cinta. Agar dia tidak jatuh dua kali dalam jebakan orang yang sama. Cinta Julian itu tidak ada, hanya ilusi fatamorgana di padang sahara. Aina menarik nafas panjang. Membelai rambut Arik yang masih terlelap di sebelahnya. Cukup sudah baginya masa lalu yang mengajarkan pahit jika terlalu berharap. Cukup Arik pengobat dan pelipur laranya di dunia ini. Dia tidak butuh yang lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD