17. Vitamin

1210 Words
Julian sedikit mengernyitkan keningnya mendengar kebisingan yang masuk di rungunya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri karena dia baru tertidur ketika kokok ayam sudah berdendang. Sesuatu yang dingin menusuk-nusuk pipinya. Sesekali terdengar suara tawa anak kecil yang tertidur di pangkuannya tadi malam. Ya, anak laki-laki tampan itu Arik putranya, sedang tersenyum jahil menampilkan gigi kelincinya. Julian segera bangkit dan mengangkat bocah lelaki itu ke pangkuannya. "Udah cakep begini, mau kemana boy?" Julian dengan suara seraknya khas orang bangun tidur. Diliriknya jam yang menempel di atas televisi ruang tamu, tepat pukul 7. "Mau main sama Papa," jawab Arik polos. "Oke, papa cuci muka dulu ya," balas Julian sambil menciumi rambut putra kecilnya. Namun sebelum dia bergerak, matanya menangkap sosok yang tadi malam membuatnya susah untuk memejamkan mata. Aina yang tengah mondar-mandir dari dapur ke ruang makan kemudian sesekali mengecek cuciannya di kamar mandi. Masih dengan terusan menggoda yang dipakainya tadi malam, namun dilapisi dengan cardigan berwarna abu tua. Rambutnya diikat asal tinggi ke atas. Gerakannya sungguh lincah mengerjakan tugas rumah tangga. Sangat jauh berbeda dengan Aina dulu saat masih bersama. Keringat yang mengalir dari pelipis Aina justru menambah pesona wanita manis itu dimata Julian. Dia baru menyadari bahwa istrinya itu sungguh cantik dan anggun. Bodohnya dulu dia malah menyiakannya. Julian mengalihkan tubuh Arik ke kursi sebelahnya dan bergegas menuju kamar mandi. Rumah ini hanya memiliki satu kamar mandi yang letaknya tepat di sebelah dapur. Selesai mencuci mukanya di depan pintu kamar mandi tanpa di duga berpapasan dengan Aina yang ingin masuk. Tatapan mereka bertemu. Namun, hitungan detik mata Aina beralih ke sisi lain seraya menggeser tubuhnya. Senyum jahil tercetak di wajah Julian. Dia juga ikut menggeser tubuhnya mengikuti gerakan Aina, menghalangi dengan tubuh tinggi atletisnya. Begitu terus hingga kesabaran Aina habis. "Stop!" hardiknya seraya menahan tubuh Julian, dan dia merangsek masuk ke kamar mandi di celah samping tubuh Julian. Wajah Aina dibuatnya sedatar mungkin, padahal darahnya sekarang terasa sangat panas. 'Cup' Satu ciuman mendarat tepat di pipi Aina. Seketika matanya membola. Lagi lagi pria ini bertindak seduktif. Dan tanpa merasa bersalah melenggang keluar kamar mandi menuju ruang tamu menyusul Arik. Senyum kemenangan tercetak sempurna di bibirnya. "Ajak Arik sarapan dulu, baru main." 'Braakkk' Suara bantingan pintu kamar mandi mengakhiri kalimat datar Aina yang menghangatkan hati Julian. Sedikit perhatian kecil dari orang yang dicintai, benar-benar vitamin mujarab untuk memulai hari bukan? *** "Papa tungguu..." Arik dengan begitu semangat mengayuh sepeda yang baru satu jam lalu dimilikinya. Tentu saja pemberian dari sang papa, disamping mainan-mainan anak lelaki lainnya yang entah akan ditaruh dimana. Ya, Julian sengaja menyuruh Burhan membeli semua mainan itu termasuk sepeda yang sekarang dinaikinya. Entah bagaimana cara Burhan memenuhi semua keinginan bosnya itu padahal dia sekarang sedang sibuk meninjau proyek bersama Maya. "Come on boy!" Julian sengaja memperlambat laju sepedanya. Namun ketika Arik hampir berhasil mengejarnya, dia kembali mengayuh sepeda kencang. Senyum bahagia selalu menghiasi bibir Julian. "Ih papa curang." Wajah Arik persis seperti Aina ketika sedang merajuk. Julian tertawa melihat tingkah bocah itu yang kini berhenti mengayuh sepeda dan malah hanya menuntunnya. "Ah, begini rasanya jadi papa, sangat menyenangkan", batin Julian. Setelah puas main sepeda di lahan kosong dekat rumahnya, Julian mengajak Arik untuk kembali ke rumah. Dilihatnya beberapa anak duduk berkumpul di bawah pohon dengan Aina di tengah-tengah mendengarkan salah seorang anak membaca sebuah buku. Akhir pekan, jadwal Aina berkumpul dengan anak-anak itu, membantu mereka yang kesulitan belajar. Lagi-lagi Julian jatuh cinta dengan sosok baik Aina. Sementara itu, di depan terlihat Bu Hana baru saja turun dari sebuah mobil sedan putih dengan membawa beberapa kantong belanja. Pantas saja sedari pagi tak terlihat, rupanya Bu Hana memang sedang ke pasar untuk membeli bahan untuk kuenya. Tapi, tunggu! Seseorang yang baru saja keluar dari pintu pengemudi membuat rahang Julian mengeras. Ya, dokter muda sekaligus katanya bos Aina di minimarket itu tampak luwes membantu Bu Hana membawa barang dan dengan santai ikut masuk ke dalam rumah. "Mau apa kamu di sini?" cegat Julian tanpa basa-basi ketika Rian sudah berada di depan rumah. "Bukan urusan kamu," jawabnya datar namun sedetik kemudian tersenyum sumringah dan melambai tangan ke arah Aina yang juga tersenyum padanya. Benar-benar pemandangan yang memuakkan Julian. "Ma ma lihat deh, Arik sudah bisa naik sepeda pakai roda bantu satu," suara Arik semangat mengarah pada Aina memecah ketegangan Julian dan Rian untuk sementara. "Papa yang ngajarin," sambungnya lagi. Smirk khas Julian tercerak sempurna di wajahnya. "Kamu dengerkan? saya 'PAPA' nya sudah di sini. Kamu nggak dibutuhkan disini, silakan pergi jangan ganggu!" Julian sengaja menepuk pundak Rian dengan sorot mata meremehkan. Rian menepis tangan Julian dipundaknya, dia sudah mengepalkan tangan menahan emosinya yang tergambar dari nafasnya yang naik turun. "Bos, kok kamu sudah disini? Bukannya janjinya nanti sore ya?" Kali ini Aina mendekat ke arah mereka dengan Arik di sisinya masih mengayuh-ngayuh sepeda. Sementara anak-anak yang tadi bersamanya satu per satu sudah pulang melambai ke arah mereka. "Tadi lihat Ibu pas lewat depan pasar ya sudah sekalian aja, yuk berangkat sekarang aja!" Mereka berbicara seolah tak ada Julian berdiri di dekat mereka dengan tatapan tajam penuh emosinya. "Yuk Arik ikut om sama mama ke mall! Main di game zone lagi. Sekalian kamu pilihin kado buat Oma," Rian benar-benar memancing amarah Julian. Namun perkataan Arik selanjutnya sedikit mengurangi amarahnya itu. "Nggak ah om, Arik mau main sama Papa aja. Lagian Arik sudah punya kado buat Oma," jawabnya polos kemudian berlari ke dalam rumah dan kembali dengan kotak mainan Ultraman yang baru dibelikan Julian untuknya. Sontak senyum di ujung bibir Julian tercipta lagi. "That's my boy..." batinnya sumringah. Aina pun ikut tertawa melihat tingkah anak laki-lakinya ini. "Kenapa Oma dikasih Ultraman?" tanyanya sambil mengelus pucuk kepala Arik. "Mainan Arik kebanyakan dibeliin Papa," sontak Aina melirik ke arah Julian yang meringis mendengar jawaban Arik. "Ya udah kalau gitu Om perginya sama Mama aja ya?" putus Rian kemudian. "Please jawab No Arik," batin Julian lagi "Oke" jawab Arik cepat tanpa berpikir. Sontak membuat wajah Julian pias seketika. "Eh, pada ngobrol di luar, hayu masuk dulu minum di dalam," sapa Bu Hana dari depan pintu. "Arik ada kue kesukaan kamu, sini..." sambungnya lagi disusuli Arik yang berlari cepat ke arahnya. "Nggak usah bu, mau langsung berangkat aja," itu Rian tanpa basa-basi. "Yuk, Na..." ucapnya lagi mengulurkan tangan ke arah Aina. Julian yang sudah menahan amarahnya sejak tadi kemudian menarik kerah kemeja yang dipakai Rian dari belakang hingga pemuda itu hampir jatuh tersungkur. "Jangan ganggu istri saya," ucap Julian penuh penekanan dengan sorot mata tajamnya. Tangannya sudah terkepal siap dia layangkan ke arah wajah Rian. "Apa-apaan kamu sih," Aina membantu Rian dan menghadang Julian, menatap matanya marah. "Saya tidak akan biarkan istri saya pergi dengan laki-laki lain di depan mata saya." Mata Julian memerah menahan amarah di dadanya. "Saya bukan istri kamu lagi, kamu yang pergi sana!" balas Aina tak kalah marahnya. "Aina!" bentak Julian. Aina terkesiap mendengar bentakan Julian, matanya seketika berair teringat dulu Julian juga sering membentaknya. "Apa?" tantang Aina. "I'm so sorry sayang, maaf, ayo kita bicara," bujuk Julian seketika. Dia benar-benar lepas kontrol, dia tidak bermaksud menyakiti Aina. "Udahlah, yuk kita pergi aja," Rian kemudian menengahi pertengkaran itu. Aina berbalik mengikuti langkah Rian sambil menghapus jejak air di sudut matanya. "Jangan pergi..." lirih Julian setelahnya yang masih bisa didengar Aina. Dia tertunduk putus asa dengan seluruh raga yang rasanya hancur. Bukan hanya hatinya tapi juga harapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD