18. Bicara

690 Words
De Javu. Mungkin itu yang Aina rasakan ketika mendengar kalimat 'jangan pergi'. Kalimat biasa yang sayangnya selalu diucapkannya dalam situasi yang menguras perasaan. "Kenapa kamu nggak pergi tadi?" kini Julian merasa aneh sendiri dengan sikap Aina. Tadinya Aina marah bahkan mungkin murka karena perbuatannya yang menyakiti Rian. Dia mengira bahwa Aina tidak akan sudi lagi melihatnya. Tapi kini, istrinya itu sedang duduk di sampingnya di depan teras rumah mereka. Hanya meja kecil yang memisahkan jarak mereka. Dan Aina duduk tenang mendengarkannya bicara tidak lagi menghindar seperti biasa. "Bukannya kamu yang suruh?" Sejujurnya Aina juga merasa bersalah dengan Rian, karena sudah berjanji akan menemaninya membeli kado ulang tahun untuk mami Rena, ibunda dari dokter itu. Mami Rena dan Rian juga adalah orang yang berjasa dalam hidupnya. Yang mau menerimanya bekerja meskipun tanpa memiliki ijazah dan identitas diri, karena semua dokumen penting Aina tertinggal di rumah Julian. Mereka juga memperlakukan Aina dengan baik tanpa memandang statusnya sebagai ibu tunggal. Namun, hati kecilnya rasa teriris mendengar kalimat putus asa yang keluar dari mulut seorang Julian yang biasa bersikap angkuh itu. "Yaa aneh aja kamu mau menuruti kata-kata saya," akhirnya Julian jujur dengan isi hatinya seraya berbicara pelan namun masih bisa di dengar jelas Aina. Hening sejenak sampai kata-kata yang keluar dari mulut Aina mampu membungkam Julian dengan rasa bersalah. "Karena aku tau rasanya di posisi itu. Kalimat terakhir yang bisa diucapkan dengan rasa keputusasaan tetapi juga harapan adalah kata 'jangan pergi'!" "Maafkan saya Aina, I'm so so so sorry, " Julian kini bersimpuh di depan istrinya. Matanya bahkan kini merah. Tangannya mengenggam tangan Aina erat, memohon diberi pemaafan. "Saya tau, dengan kata maaf tidak akan cukup membayar rasa sakit yang pernah saya buat, tapi izinkan saya... izinkan saya Aina, untuk mengganti rasa sakit itu dengan kebahagiaan untuk kamu dan juga Arik anak kita." "Aku sudah maafin kamu Julian. Kamu boleh bertemu Arik kapanpun kamu mau. Karena kamu papanya, meskipun setengah hatiku masih tidak mengizinkan tapi aku nggak mau egois. Aku juga tau Arik butuh kamu Papanya." "Tapi aku mohon kamu pergi dari sini. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi Julian. Kamu bukan suami aku lagi! Aku sudah tanda tangani surat permohonan cerai yang kamu kasih, kamu mau apalagi dari aku?" Mata Aina kini sudah basah dengan air mata. Hatinya bagai teriris mengucap kalimat demi kalimat itu. Memutar kembali kenangan pahit yang ingin dia lupakan Kening Julian sedikit berkerut. "Kapan? Saya tidak pernah mengajukan gugatan cerai ke kamu Aina?" Julian kini merasa ada yang tidak beres. "Ck kamu jangan bercanda, surat itu kamu sendiri kan yang suruh sekretaris kamu Bu Kiki yang ngantar ke aku waktu aku masih di rumah sakit sehabis melahirkan." Aina kini mulai kesal dengan Julian yang seolah lupa ingatan. "Sumpah demi apapun Aina, demi eyang uti yang kamu tau paling saya sayang, saya tidak pernah mengirimkan surat cerai itu, bahkan keberadaan kamu saja saya tidak tau. Saya cari kamu kemana-mana seperti orang gangguan jiwa. Kalau kamu tidak percaya kamu boleh telepon eyang uti sekarang." Julian hendak berdiri mengambil handphone nya yang ada di ruang tengah. Namun, Aina mencegahnya. Matanya menelisik ke dalam mata Julian mencari kebohongan disana. Namun hanya tatapan ketulusan yang di dapatinya. Hati Aina sedikit menghangat, namun dia belum bisa menerima Julian sepenuhnya. Dia ingat saat masih bersama Julian dulu, hanya rasa sakit yang selalu dia terima. Padahal dia juga korban. Ditambah lagi sikap Mami Julian yang selalu memusuhinya. Rasanya Aina memang tidak pantas bersanding dengan seorang Julian yang sempurna. Sedangkan dirinya hanya gadis biasa. "Please Aina, beri saya kesempatan. Ayo kita mulai dari awal lagi rumah tangga ini," pinta Julian tulus. "Kamu lihat bekas luka di tangan aku ini." Mata Julian melihat ke arah bekas jahitan kecil di kedua telapak tangan Aina. Luka akibat perbuatannya dulu karena kebodohannya yang lebih mempercayai Bella ketimbang istrinya sendiri. Julian menyentuhnya dengan lembut. "Luka ditangan ini saja masih ada bekasnya, apalagi disini," tunjuk Aina di dadanya, kemudian berdiri masuk ke dalam rumah, meninggalkan Julian yang mematung sendiri dengan berjuta penyesalan yang ada dibenaknya. Andai Julian bisa memutar waktu. Ingin sekali Julian memperlakukan Aina layaknya istri waktu itu. Setidaknya sebagai teman bukan musuh. Pasti sikap Aina sekarang tidak akan sekeras ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD