Bagian 3

1580 Words
Mendengar suara tegas yang sarat akan kemarahan membuat Nesya menghentikan aksinya. Dia melepaskan cengkeraman pada rambut Adeeva dengan sedikit kasar hingga membuat tubuh sang adik terhuyung. Gadis itu membuang pandangan ke arah lain, tak berani melihat tatapan papanya yang penuh dengan kebencian. Gegas Aliyah menghampiri Adeeva yang telah berlinang air mata sambil memegang kepala yang terasa berdenyut akibat perbuatan kakak tirinya. "Deeva kamu baik-baik saja, 'kan, Nak?" tanya Aliyah khawatir sembari merapikan rambut sang putri yang kusut mesut. Adeeva mengangguk sembari menghapus sisa air matanya. "Kalian, ikut Papa sekarang!" Mau tak mau, Nesya mengikuti langkah sang papa menuju ruang kerjanya. Sebelum benar-benar pergi, dia menyempatkan diri untuk melirik Adeeva yang sedang menangis sesenggukan di dalam pelukan mamanya. Dasar, anak manja. Nesya merutuk dalam hati. *** Adnan duduk di sofa single di sudut ruang kerjanya, diikuti oleh Nesya dan Adeeva yang memilih duduk bersisian di sofa panjang. Adeeva masih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang mama. Sebenarnya, Nesya tidak sudi berdekatan dengan gadis itu. Namun, di ruang kerja sang papa hanya ada dua sofa. "Dasar, anak mama," ejeknya dalam hati sambil melirik sinis ke arah ibu dan anak itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Adnan dengan nada geram, memecah keheningan yang sempat mendominasi keadaan. Netra hitamnya menatap Nesya dan Adeeva secara bergantian, menunggu jawaban dari keduanya. "Nesya!" Karena tak kunjung ada yang membuka suara, akhirnya Adnan melimpahkan kekesalannya ke Nesya karena gadis itulah yang memulai pertengkaran. Nesya mendengkus pelan, kemudian menggulir bola matanya, kesal. "Kenapa, sih, Pa? Dari tadi Nesya terus yang dibentak. Memangnya, ini hanya kesalahan Nesya?!" Dia menatap sang papa dengan tatapan yang sarat akan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan. Selalu seperti ini. Dia selalu menjadi pelampiasan kemarahan papanya. Sang papa selalu melimpahkan semua kesalahan padanya, padahal belum tentu dia bersalah. "Diam kamu!" "Pa, tenangkan diri kamu. Jangan terbawa emosi." Aliyah yang berada di dekat Adnan langsung menggenggam tangan suaminya yang bergetar hebat. Dia tahu, Adnan pasti merasa sedih karena harus memperlakukan putri sulungnya seperti tadi. Adnan menarik napas kuat-kuat untuk mengontrol emosi yang bergelegak di dalam d**a. Dia tidak ingin lepas kendali sehingga harus main tangan. Setidaknya, pria itu tidak akan menyakiti sang putri untuk kedua kalinya pada hari ini. "Kamu yang memulai semua ini. Kamu juga yang telah menyakiti adikmu," katanya dengan suara yang melembut, tidak seperti tadi. "Sekarang, jelaskan apa yang terjadi sebenarnya," lanjutnya. "Aku enggak terima jika dia mengatai mamaku, Pa. Dia tidak berhak berbicara buruk tentang mama!" Wajah ayu gadis delapan belas tahun itu memerah. Kentara sekali kalau dia sedang menahan emosi. Pandangan Adnan bergulir ke arah Adeeva yang masih memeluk tubuh sang mama. Lantas, tatapannya teralih kepada Aliyah, seolah-olah tengah memberikan kode pada sang istri. Mengerti akan kode tersebut, Aliyah pun mengusap lembut punggung Adeeva yang masih bergetar, lalu bertanya, "Deeva, apa yang kamu katakan tentang Mama Dina? Kamu menjelek-jelekannya?" tanya Aliyah lembut kepada putrinya. Adeeva mengangkat kepala, memandang sang mama dengan mata berkaca-kaca. "Enggak, Ma. Adeeva hanya ingin membela Mama. Kak Nesya bilang kalau Mama penyebab Mama Dina meninggal, padahal Mama Dina meninggal karena bunuh diri. Kak Nesya saja yang tidak bisa melihat kebenaran," jelasnya, kemudian melirik Nesya sekilas. Sontak, Nesya langsung berdiri dan melayangkan tatapan tajam untuk sang adik. Cih, bahkan dia enggan menyebut gadis caper itu sebagai adiknya. "Tutup mulut kamu! Memangnya, kamu tahu apa, hah?!" Suaranya menggelegar di penjuru ruang kerja Adnan, mengabaikan pria paruh baya yang kini tengah memandangnya dengan geram. "Nesya! Bukankah yang dikatakan Deeva itu benar? Mama kamu—" Pandangan Nesya beralih, menatap sang papa dengan nyalang. "Papa yang membuat mama bunuh diri. Papa yang membuat aku hidup sendirian tanpa seorang ibu. Papa yang udah buat aku kesepian selama ini!" Pertahanannya akhirnya runtuh. Air mata yang sedari tadi dia bendung, kini luruh membasahi pipi. Dia menangis untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun pantang untuk mengeluarkan air mata dari pelupuknya. "Andai saja ... dua belas tahun yang lalu Papa tidak membawa wanita ini ke rumah kita, mama tidak akan sedepresi itu. Ini semua gara-gara keegoisan Papa yang menikahi wanita ini tanpa persetujuan mama!" Gadis berambut kucir kuda itu menyeka air mata yang tak kunjung berhenti, lalu berlari ke luar ruang kerja Adnan. Untuk saat ini, dia ingin menenangkan diri. Meredam sesak yang saat ini membumbung tinggi di dalam hatinya. Kakinya melangkah menuju gazebo yang berada di halaman depan rumah. Dia duduk di pinggir gazebo, melipat kaki dan memeluknya. Memandang air kolam yang tak jauh dari tempatnya duduk. Dulu, sang mama sering sekali memberikan makan untuk ikan-ikan yang berada di dalam kolam. Mamanya juga sering menanam bunga di taman depan sehingga tempat itu penuh dengan bunga berbagai jenis. Namun, sekarang teman itu tampak hampa, sehampa hatinya. "Ma, Nesya kangen. Nesya ingin ikut mama. Nesya enggak bisa terus-terusan hidup di dunia ini. Enggak ada lagi yang menyayangi Nesya seperti mama dulu. Sekarang ... papa sudah tidak peduli lagi dengan Nesya. Dia sibuk dengan istri baru dan anaknya. Papa tidak lagi menganggap Nesya sebagai putrinya, Ma," ungkapnya di sela isak tangis. Lagi-lagi, bulir bening itu lolos dari pelupuknya. Nesya membekap mulut, berusaha menahan isakan yang meronta-ronta ingin diloloskan. "Aku ingin ikut Mama." Tangis Nesya semakin kencang, mengoyak kesunyian malam itu. Masih teringat jelas di dalam benaknya bahwa tempat ini adalah tempat terakhir dia bermain bersama sang mama. *** Gadis kecil berkucir dua itu terlihat semringah. Sedari tadi, bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum lebar. Dia berhasil mengalahkan sang mama dalam permainan congklak. Nesya memang terkenal jago memainkan permainan tradisional itu. "Ma, papa, kok, belum pulang juga, sih?" Raut gadis itu berubah suram. Gerakan tangannya yang mengisi lubang dakon dengan biji congklak semakin memelan. "Papa, ‘kan, cari uang untuk kita, Sayang," jawab Dina lembut sembari mengusap rambut hitam legam milik putri kecilnya, berusaha menenangkan Nesya. Namun, tanpa orang ketahui, jauh di lubuk hatinya, dia juga merasa cemas karena sang suami tak kunjung pulang selama sebulan terakhir. Kali terakhir bertemu, Adnan berpamitan pergi ke luar kota untuk perjalanan dinas. Dina memaklumi hal itu. Sejak suaminya naik jabatan menjadi manajer, lelaki itu selalu sibuk sehingga tak memiliki waktu untuknya dan putri mereka. "Tapi, ini sudah lama banget, Ma.” Gadis kecil itu mengerucutkan bibir, membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Dina tersenyum tipis mendengar rengekan putrinya. "Sabar, ya, Sayang. Nanti, pasti papa bawa dakon baru untuk kamu." Dia menatap lekat wajah Nesya. Gadis kecil itu adalah sumber kekuatannya kala dia ingin menyerah. Menyerah hidup dan menyerah mendapatkan cinta sang suami. “Sayang? Kamu tahu enggak, filosofi atau makna di balik permainan congklak?” Wanita berusia dua puluhan akhir itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar sang putri tak bersedih hati. Akhirnya, usahanya tak sia-sia melihat binar yang terpancar dari netra Nesya. “Mau, Ma!” Nesya menyahut dengan antusias. Air mukanya kembali semringah seperti sedia kala. Dina menyentuh tujuh lubang dakon yang ada di depannya secara bergantian. “Kamu tahu enggak, kenapa lubang di dakon ini ada tujuh?” tanyanya retoris sembari menatap Nesya, menunggu respons gadis kecil itu. Namun, Nesya hanya menggeleng, tanda tak tahu. “Nesya tahu, ‘kan, kalau dalam seminggu itu ada tujuh hari? Nah, tujuh lubang ini menandakan jumlah hari dalam seminggu. Artinya, setiap orang memiliki waktu yang sama dalam seminggu. Lalu, cara main congklak—mengambil biji-biji dari salah satu lubang, kemudian mengisi lubang lain, termasuk lubang besar—maknanya bahwa setiap hari yang dijalani akan menentukan hari berikutnya. Pun, berpengaruh pada orang lain. Apa yang dilakukan saat ini dapat berpengaruh pada masa depan diri sendiri juga orang lain. Setiap hal yang dilakukan dapat bermakna atau memperburuk hari orang lain. “Ketika biji congklak diambil, lalu diletakkan ke lubang lain itu mengartikan bahwa sebagai makhluk sosial, kita tidak harus selalu memberi, tetapi ada kalanya juga menerima. Biji yang diletakkan di dalam lubang harus satu per satu, tidak boleh mengisi sekaligus ataupun melewati lubang lain. Itu bermakna bahwa kita harus selalu mengutamakan kejujuran dalam menjalani hidup ini,” jelasnya sambil mengambil beberapa biji di dalam sebuah lubang, kemudian mengisi lubang-lubang lain dengan biji-biji tersebut. “Biji ini juga diletakkan di lubang besar yang memiliki arti bahwa kita harus menabung kebaikan setiap harinya.” Nesya mendengarkan dengan saksama. Mulut kecilnya sedikit terbuka, tercengang bengang. Tak menyangka jika permainan yang sangat digemarinya selama ini memiliki makna terdalam. Tak lama kemudian, sebuah sedan putih memasuki gerbang yang memang sudah terbuka, kemudian berhenti di depan garasi. Mata Nesya membeliak penuh binar ketika melihat mobil sang papa. Bergegas dia turun dari gazebo dan berlari menuju papanya yang sudah turun dari mobil. Saking senangnya, dia bahkan lupa memakai sendal. Dina tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah lucu putrinya. "Papa!" Nesya merentangkan tangan lebar-lebar untuk menghambur ke dalam pelukan sang papa. Namun, Adnan justru hanya diam, tak kunjung menyambut pelukannya. Hal itu membuatnya kecewa. Dina mengernyitkan alis, merasa ada yang aneh dengan sikap sang suami. Netranya kemudian beralih ke pintu penumpang yang menampakkan seorang wanita muda bersama gadis kecil yang ia perkirakan usianya lebih muda dari Nesya. Gegas, dia langsung menghampiri Nesya dan menggenggam erat tangannya. Dia menatap gamang ke arah wanita yang saat ini tengah menggendong gadis kecil yang dibawanya tadi. Entah kenapa, perasaannya menjadi tidak enak. "Di-dia siapa, Mas?" Adnan meneguk saliva dengan susah payah. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Dina. "Dia ... wanita dan anak yang kusayangi. Maafkan aku, Din. Aku sudah menikahiniya secara siri lima tahun lalu." "Mas ...." Bibir Dina bergetar saat mengucapkan kata tersebut. Dia berusaha menahan air mata yang berusaha menjebol pertahanannya. Bagaimana mungkin ... bagaimana mungkin Adnan membohongi dan mengkhianatinya selama lima tahun ini? Bodohnya, dia tidak mengetahui apa pun tentang hal itu. Perlahan-lahan, wanita melepaskan genggamannya pada tangan sang putri, membuat Nesya mendongak seraya mengernyitkan dahi. "Mama kenapa?" Dina menyeka air mata yang menggantung di pelupuk dengan cekat, kemudian berlari masuk rumah, mengabaikan Nesya yang terus meneriakkan namanya. "Mamaaa!" *** "Nesya?" Lamunan Nesya seketika buyar karena suara lembut milik Aliyah tiba-tiba merangsek masuk ke indra pendengarnya. Dia melayangkan tatapan sinis ke arah wanita itu. Dengan cekat, dia mengusap air mata, lantas masuk rumah, meninggalkan ibu tirinya yang masih bergeming di tempat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD