Bagian 2

1372 Words
Nesya melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanan. Sudah pukul 19.00. Gadis itu mengembuskan napas kasar, lalu memandang sebuah rumah berlantai dua yang didominasi putih dan cokelat. Di samping rumah tersebut ada garasi yang bisa memuat dua mobil sekaligus. Sementara bagian depan terdapat taman yang cukup luas. Di sudut taman tersebut terdapat gazebo, bersisian dengan kolam air mancur. Irama air yang mengucur dari atas dan memercik air di bawahnya membuat hati siapa pun yang mendengar akan merasa tenang. Begitu pun dengan gadis berseragam putih abu-abu itu. Melihat gazebo dan air mancur itu, mengingatkannya pada seseorang. Setelah bergelut dengan pikirannya, Nesya masuk rumah. Untung saja, pintu rumah terbuka lebar sehingga dia tidak perlu membukanya dan menimbulkan suara bising yang berlebih. Dia hanya ingin langsung pergi ke kamar tanpa berpapasan atau bertemu dengan siapa pun. Namun, ekspektasi tak sesuai realita. "Kamu sudah pulang, Nes?" Seorang wanita berumur empat puluhan tengah sibuk menata makanan di atas meja makan. Menatap sekilas seorang gadis berseragam putih abu-abu yang akan naik menginjak anak tangga pertama, seolah-olah tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Pertanyaan wanita itu menghentikan langkah Nesya. Dia lupa jika sebelum naik ke lantai atas harus melewati ruang makan terlebih dahulu dan saat ini ruang tersebut sudah dihuni oleh tiga orang. Mereka langsung memusatkan atensi ke arahnya. "Kita makan malam bareng, yuk!" ajak Aliyah—mama tirinya—dengan senyum manis yang terpatri di bibir merahnya. Alih-alih menurut, Nesya malah melayangkan tatapan tajam ke arah Aliyah. Hatinya mengkal setiap kali melihat wanita itu dan perlakuannya yang sok baik. Dia hanya memutar bola mata malas ketika mengingatnya. "Dari mana saja kamu? Apa kamu tidak tahu sekarang jam berapa?" Seorang pria paruh baya yang duduk di kursi ujung meja menginterupsi tatapan Nesya. Suaranya yang berat dan tegas itu seakan-akan mengintimidasi sang putri. "Pa, Nesya, 'kan, baru pulang. Dia pasti capek. Tanyanya nanti saja, ya. Biarkan dia makan malam dulu. Kasihan dia, pasti lapar.” Aliyah menatap hangat gadis yang sudah dia anggap sebagai putri sendiri itu. “Ya, ‘kan, Sayang?" Nesya berdecih pelan. Tatapannya begitu nyalang, sarat akan kemarahan. "Enggak usah sok perhatian. Juga, jangan panggil aku dengan sebutan sayang karena itu membuat aku semakin jijik sama kamu.” Dengan tangan yang terkepal kuat, Adnan bangkit dari kursi, menghampiri putri sulungnya, kemudian melayangkan tamparan tepat di pipi kanan Nesya hingga hampir saja membuat gadis itu terjungkal. "Jaga bicaramu! Biar bagaimanapun, Aliyah adalah mama kamu. Istri papa!" Kedua tangan Nesya terkepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Perlahan, dia menyentuh pipi kanannya yang mulai memerah. Alih-alih menangis karena rasa nyeri yang mulai menjalar ke seluruh wajahnya, gadis itu justru menatap sang papa dengan tajam. "Dia bukan mama aku, Pa! Mama sudah pergi meninggalkan aku dua belas tahun yang lalu karena w************n ini," ucap Nesya lantang dengan menunjuk Aliyah yang berada tak jauh darinya. "Jaga mulut kamu!" Adnan akan kembali melayangkan tangannya ke pipi Nesya. Namun, pergerakan pria itu terhenti karena Aliyah menahan tangannya dengan sigap. "Aku mohon jangan sakiti Nesya lagi, Pa!" Nesya melirik Aliyah dari ekor matanya. Hatinya semakin kesal melihat wanita itu mendramatisasi keadaan. Dia pikir, dengan melakukan itu akan membuat hati Nesya luluh? Tidak akan! Nesya menyunggingkan senyum sinis, lantas kembali memusatkan atensinya pada sang papa. "Kenapa, Pa? Ayo tampar aku! Tampar aku, Pa! Jika itu membuat Papa merasa lebih baik. Kalau bisa sekalian bunuh aku, seperti Papa membunuh mama!" tantangnya dengan suara bergetar, seolah-olah tengah menahan tangis. Aliyah memandang Nesya dengan iba. Hatinya terasa dirajam ribuan belati ketika mendengar perkataan Nesya barusan. Perasaan bersalah perlahan-lahan merayap, menjalar ke seluruh hatinya. Bagaimanapun, dia ikut andil atas penderitaan yang dirasakan oleh putri tirinya itu. Seorang gadis yang lebih muda dari Nesya menatap nanar pertengkaran antara papa dan kakak tirinya. Dia hanya terdiam, duduk tenang di kursi tanpa bisa melakukan apa pun. Untuk saat ini, dia tidak ingin ikut campur dengan masalah mereka. Nesya berlari ke kamarnya dengan membawa luka yang kembali menganga. Dia ingin segera menenggelamkan diri di balik selimut, menuntaskan amarah yang bergelegak di dalam d**a dengan cara menangis. Adnan kembali duduk di kursi. d**a bidangnya naik turun karena amarah yang belum juga reda. Dia memicingkan mata. Menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan. Dirasa cukup, pria setengah baya itu membuka mata, lantas berkata, "Sudahlah. Tidak usah dipikirkan lagi. Lebih baik kita makan sekarang keburu nanti makanannya dingin." Aliyah menyeka bulir bening yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi putihnya. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di samping Adeeva. Mulai makan dalam diam dan mengakhirinya dengan tenang. Setelah makan malam, Aliyah menyiapkan sepiring nasi beserta lauk dan segelas air putih yang ditaruh di atas nampan. Adnan memperhatikan sang istri yang tengah sibuk menata makanan di atas nampan. "Itu untuk siapa, Ma?" tanyanya setelah sekian lama terdiam. "Siapa lagi kalau bukan untuk Nesya? Dia juga butuh makan. Aku enggak mau kalau sampai dia sakit. " "Kamu jangan terlalu memanjakan dia, Ma. Nanti yang ada dia malah ngelunjak sama kamu. Kalau lapar, dia bisa jalan ke sini sendiri. " Wanita paruh baya itu mendengkus kesal. "Kamu egois banget, sih, Pa. Biar bagaimanapun, Nesya adalah anak kamu, anak kita!” Suara Aliyah meninggi, membuat Adnan berjengit. Pasalnya, selama hidup bersama, sang istri tak pernah sekali pun berbicara padanya dengan nada tinggi seperti tadi. Pada akhirnya, Adnan mengalah pada Aliyah, membiarkan sang istri melakukan apa pun yang diinginkannya. Aliyah akan mengangkat nampan berisi makanan untuk Nesya. Namun, sang putri langsung mengambil alih tugasnya. "Biar Adeeva aja yang mengantarkan makanan ini untuk Kak Nesya, Ma,” ujarnya seraya mengulum senyum tipis. Gadis berusia delapan belas tahun itu langsung pergi ke lantai atas setelah mendapat persetujuan dari sang mama. Adeeva mengetuk pintu kamar Nesya. Menunggu beberapa saat, tetapi tak kunjung ada respons dari sang pemilik kamar. Karena kesal, dia pun mengetuk daun pintu berkali-kali dengan tak sabaran. Nesya menutup telinga memakai bantal karena merasa terganggu dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Sial! Siapa, sih, yang berani ganggu macan lagi galau?" teriaknya frustrasi. Dengan emosi yang sudah memuncak, dia bergegas berjalan menuju pintu dan membuka kuncinya dengan kasar. Setelah melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya seperti orang kesetanan, Nesya hanya menggulirkan bola mata, seolah-olah enggan melihat kedatangan adik tirinya itu. Adeeva tersenyum manis kepada Nesya sambil menyodorkan nampan yang dibawanya. Namun, hal itu justru membuat Nesya muak. "Apa lo mau mati? " tanyanya sarkastis. "Enggak. Aku ke sini cuma mau mengantarkan makan malam untuk Kakak. Mama udah siapin ini semua. Kakak makan, ya.” Nesya menepis nampan tersebut, tetapi tidak sampai terjatuh. Namun, cukup membuat Adeeva terkejut hingga matanya terbelalak. "Bawa makanan itu balik. Gue enggak laper. " Nesya membalikkan badan, berniat masuk kamar kembali. Namun, baru selangkah, ia membalikkan tubuh kembali, menatap Adeeva dengan nyalang. "Dan juga jangan pura-pura perhatian sama gue. Gue tahu lo itu cuma cari perhatian sama papa, ‘kan? Anak sama nyokap sama aja. Dasar caper!” "Kenapa, sih, Kakak benci banget sama aku? Memangnya, apa salahku, hah?!" Adeeva memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan yang sedari dulu ingin dia tanyakan pada sang kakak. Pasalnya, dia tidak tahu di mana letak kesalahannya hingga membuat Nesya menyimpan dendam kesumat. Sudut bibir Nesya terangkat, membentuk seulas senyum sinis. Matanya menatap Adeeva dengan nyalang. Ada amarah yang terpancar jelas dari tatapan itu. "Gue benci lo karena lo adalah anak dari wanita yang sudah membunuh nyokap gue. " "Mama enggak pernah bunuh mama Kakak. Mama Kakak yang membunuh dirinya sendiri. Mama kakak yang mengalami gangguan jiwa!” Perkataan Adeeva seperti bahan bakar, menyulut api amarah yang sedari tadi bergelora di dalam d**a Nesya. Tak tanggung-tanggung, gadis itu langsung menjambak rambut panjang Adeeva yang dikucir kuda hingga membuatnya terdengak. Nampan yang sedari tadi dia pegang pun jatuh sehingga seluruh isinya berserakan di lantai dan menimbulkan kegaduhan. "Ahhh. Sakit, Kak!” Adeeva menjerit kesakitan sambil memegang rambutnya yang ditarik Nesya dengan kuat. Saking kuatnya, tanpa sadar bulir bening menggenang di pelupuknya dan siap tumpah jika Nesya tak melepaskan jenggutannya. "Apa yang lo bilang barusan, hah?! Coba ulangi sekali lagi!" Nesya semakin kuat menjambak rambut Adeeva. Adnan dan Aliyah tergopoh-gopoh menaiki anak tangga setelah mendengar keributan dari lantai atas, tepatnya di kamar Nesya. Seketika, mata Aliyah dan Adnan terbeliak melihat pemandangan mengerikan di hadapan mereka. Aliyah hanya bergeming saking terkejutnya, sedangkan Adnan sudah mengeratkan rahang hingga urat di sekitar lehernya terlihat sangat menonjol. "Nesyaaa! Hentikan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD