bc

Sebatas Teman Ranjang

book_age18+
339
FOLLOW
7.7K
READ
one-night stand
HE
age gap
drama
mystery
city
like
intro-logo
Blurb

Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK. Spin-off DKK.

chap-preview
Free preview
Menjadi Pengganti
“Duh, gimana, dong? Mana Hasan udah OTW mau ke sini. Gue gak bisa ke mana-mana.” Kalina terlihat gusar ketika menghubungi temannya. “Masa lo gak bisa paksain? Bantuin gue kali ini, kek.” “Masalahnya itu satu minggu, Lin. Kalo cuma semalem gue bisa.” Dona terdengar keberatan. “Ck! Duh ....” Kalina berdecak serba salah. “Lo cancel aja, sih.” Dona memberi saran. “Mana bisa! Lo tau sendiri si botak bakal maki gue habis-habisan!” Kalina berteriak frustasi. “Ya abis gimana? Lagian rencananya mendadak banget. Job gue udah full, Lin.” Dona tetap tak bisa membantu apa-apa. “Kenapa juga si Hasan datang tiba-tiba gitu? Cowok lo aneh! Gak tau jadwal!” “Gue lagi berantem sama dia, terus dia mau ke sini.” Kalina lanjut menceritakan masalahnya. Fazia Azara, gadis berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA itu tak sengaja menguping obrolan sang majikan. Kalina memang seorang janda anak satu yang dikenal sebagai seorang PSK, tapi Fazia tidak peduli karena pekerjaannya hanya sebatas antar jemput anaknya ke sekolah setiap hari. Sepertinya Fazia tahu Kalina dilema karena apa. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja sebuah ide konyol yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya terlintas begitu saja. Hanya satu yang dia inginkan saat ini, yaitu mencari uang untuk melarikan diri dari rumah dan keluarganya yang berantakan. “Butuh bantuan, Mbak? Mungkin saya bisa bantu.” Fazia menawarkan tanpa pikir panjang. “Emang lo ngerti yang gue bahas barusan?” Kalina menatapnya curiga bercampur was-was. Fazia mengangguk pelan, padahal hati kecilnya merasa tak yakin. Kalina yang menganggap gadis itu bersungguh-sungguh segera mengatur rencana. Saat itu juga, Fazia diberikan banyak arahan dan nasehat untuk menggantikan dirinya sebagai teman ranjang seorang pria selama tujuh hari penuh. Beberapa jam yang lalu Kalina sudah menerima bayaran untuk pergi ke sebuah villa dan menemani seorang pria di sana, tapi hari ini kekasihnya akan datang secara mendadak hingga dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Tak bisa membatalkan begitu saja, satu-satunya cara harus ada seorang pengganti. Bodoh! Mungkin semua orang akan mengatai Fazia dengan kalimat itu atas keputusannya yang gegabah dan tergesa-gesa. Namun, dia benar-benar tidak ingin pulang ke rumah. Untuk apa? Hanya akan mendengar bujukan sang ibu dan mendapat makian atau bahkan pukulan dari sang ayah. *** Fazia tiba di tempat tujuan menggunakan taksi, sebuah villa mewah yang terletak di pesisian pantai pedalaman Kota Cilegon. Entah mengapa dia jadi merasa gugup, niat yang tadi sudah bulat kini terasa ambruk. Bisakah waktu diputar kembali? Dia tidak ingin berada di tempat yang sangat asing itu. Penampilan Fazia kini sudah persis seorang PSK. Tak hanya pakaiannya yang sangat terbuka, tapi wajahnya pun dirias sedemikian rupa. Belum apa-apa, dia sudah merasa menjadi wanita paling hina. Namun ketika mengingat keluarganya yang tidak harmonis, tekadnya kembali sekuat baja. Tidak seperti dugaannya, ternyata pria yang menyewa Kalina masih sangatlah muda, bukan pria tua bangka dengan perut buncit dan mata jelalatan. Pertama kali bertemu, wajah pria itu terlihat seperti pria baik-baik, sopan, ramah, tidak ada gelagat b******n sama sekali. Juga, dia sangat tampan! “Mirza.” Pria itu mengulurkan tangannya. “Gaby.” Fazia turut memperkenalkan diri memakai nama samaran yang sudah dibuatnya. “Berapa usia kamu?” Mirza menelisik Fazia dari atas sampai bawah dengan tatapan biasa saja. “18, Pak.” Fazia memaksakan senyumnya. “18?” Mirza tampak tak percaya, penampilan gadis itu terlihat seperti sudah sangat dewasa. “Kenapa, Pak?” Fazia ikut memperhatikan penampilannya dengan perasaan tak nyaman. “Kayaknya kamu masih amatir.” Mirza menatap remeh, padahal dia tak tega. “Saya mau ganti.” “Saya gak amatir, kok.” Fazia menyangkal. “Saya tetap mau ganti.” Mirza tak peduli. “Saya lagi butuh uang, Pak.” Fazia berkata lirih, tak malu menampilkan wajah yang memelas. “Jangan panggil ‘pak’, saya bukan atasan kamu dan saya masih muda.” Mirza akhirnya mengiyakan setelah beberapa detik memikirkan jawaban. “Om?” Fazia menawarkan panggilan lain. “Emang saya kelihatan udah om-om?” Mirza mengernyit, tentu tak terima atas panggilan itu. “Nggak, sih.” Fazia menggeleng dengan cepat, khawatir Mirza tersinggung. “Daddy, gimana?” “Daddy?” Mirza terbahak-bahak seketika. “Apa yang lucu? Kalo manggil mas, 'kan, malah kayak orang pacaran.” Fazia membatin tak mengerti. “Terus panggil apa? Tuan? Mister?” tawarnya. “Ehem.” Mirza segera menetralkan ekspresinya. “Panggil kakak aja biar lebih enak didengar.” “Oke.” Fazia mengangguk tanda mengerti. “Saya lapar.” Mirza berlalu menuju dapur. “Mau makan apa aja?” Fazia sigap membalikan piring yang sudah tertata rapi di meja makan. “Siapa yang minta kamu layani saya di meja makan?” Mirza menatap bingung, baru tahu tugas seorang PSK melayani makannya juga. “Duduk dan ikut makan. Jangan sampai kamu sakit di sini.” Fazia jadi merasa konyol sendiri, Kalina yang menasehati 'layani pria itu seperti raja', tak heran dia bersikap aneh dan berlebihan. Ia pun duduk di samping Mirza untuk ikut makan. Suasana sangat sepi, sepertinya tidak ada siapa-siapa lagi, hanya ada dia dan seorang pria yang sangat tampan. Mirza sebenarnya risih atas kehadiran Fazia. Sudah satu bulan dia mengasingkan diri di tempat itu, merenungkan banyak hal terutama cintanya yang berakhir menyakitkan. Jangankan bermain wanita, mengenal minuman keras saja baru kali ini, itu pun karena dia sedang patah hati dan galau. Tanpa persetujuan, temannya mengirimkan seorang wanita untuk menemani kesendiriannya. Mirza pikir tak apa, sepertinya melakukan hal baru dan bersenang-senang bisa sedikit mengobati luka hatinya. Namun, jujur dia ragu mengetahui usia Fazia yang belum dewasa, seumuran adiknya. Mirza Kalandra Rajasa, pengusaha mana yang tidak mengenal pria berusia 26 tahun itu? Tak hanya terkenal karena bisnis keluarga, dia juga terkenal akan ketampanan dan kebaikannya. Tidak sedikit wanita yang menginginkannya, tapi sejak dulu dia memang sulit membangun hubungan asmara. “Orang tua kamu tau kamu kerja kayak gini?” Mirza berusaha mencari topik pembicaraan. “Gak tau, Kak.” Fazia menggeleng malas. “Selain buat kebutuhan sehari-hari, ada lagi alasan kamu kerja gini?” Mirza ingin tahu alasan seorang wanita menjadi PSK. “Misalnya buat beli tas branded, HP, mobil, atau bahkan apartemen?” “Saya punya alasan sendiri yang gak bisa saya ceritain ke orang lain.” Fazia menolak menjelaskan. Terlalu rumit, tak yakin Mirza akan mengerti. “Sejak kapan kamu terjerumus ke dunia hitam? Juga, mau sampai kapan? Gak mungkin kamu terus kerja gini, 'kan?” Mirza menyayangkan 'pekerjaan' Fazia. “Masa depan kamu masih panjang, jadi harus ada kemauan buat jadi lebih baik kedepannya.” “Saya mau kuliah, cari kerjaan yang halal, dan mungkin juga cari calon suami.” Fazia hanya asal menjawab, tak tertarik untuk membahasnya. “Jangan buru-buru nikah, apalagi usia kamu masih belasan tahun.” Mirza memberi saran sebagai orang dewasa, tepatnya kakak. “Punya pacar?” “Enggak ada, Kak.” Fazia menjawab jujur. “Bagus.” Mirza mengangguk senang. “Fokus sama pendidikan, kejar cita-cita selagi bisa.” “Kakak sendiri punya pacar?” Fazia memutar pertanyaan, sekadar basa-basi tidak penting. “Kalo saya punya pacar, gak mungkin saya biarin cewek lain deket-deket saya kayak sekarang ini.” Mirza tersenyum tipis sembari menggeleng. Fazia semakin terpesona dan terkagum-kagum. Tak hanya tampan dari segi rupa, sikap Mirza juga sangat dewasa. Tubuh tingginya yang dihiasi banyak otot kekar tak kalah menyita perhatian, apalagi senyum manisnya mampu menghipnotis siapa pun. Wanita bodoh mana yang tidak akan tertarik? Tunggu, hentikan! Fazia langsung teringat pada alasannya berada di sana, yaitu menjadi seorang pemuas nafsu! Artinya dia sudah sering memanggil seorang PSK, tidak seperti wajahnya yang terlihat pria baik-baik dan santun. Ah, semua pria sama saja, Fazia jadi sulit membedakan golongan mereka! Usai makan malam, Mirza membawa Fazia ke ruang TV. Meski terasa aneh karena pria itu tidak membawanya ke kamar, Fazia tetap diserang rasa panik ketika lampu dimatikan. Gelapnya ruangan itu sedikit memudar saat TV dinyalakan. Mungkin Mirza ingin menonton sebuah film sebelum 'ritual'? Ternyata Mirza duduk di lantai beralas karpet setelah menyalakan PlayStation 5, lalu tak lama dari itu tulisan Call Of Duty pun menghiasi layar TV. Hey, apa maksudnya ini? Fazia duduk di sofa sendirian dengan jarak yang cukup jauh. Dia merasa menjadi orang linglung yang tersesat di suatu tempat. Tidak ada yang Fazia lakukan selain menonton gameplay yang dimainkan Mirza. Pria itu tampak asyik sendiri, tak mempedulikan gadis yang duduk di belakangnya. Sebenarnya suasana sangat sunyi, justru berisik oleh suara tembakan-tembakan dan interaksi dari dalam game bergenre perang itu. “Kamu ngantuk?” Mirza menoleh sebentar. “Enggak, Kak.” Fazia pura-pura tidak jenuh. “Kalo ngantuk tidur aja di kamar. Saya gak minta kamu begadang buat temenin main game.” Mirza terkesan khawatir dan perhatian. Manis! “Itunya kapan?” Fazia bertanya-tanya dalam hatinya. Bukan tak sabar, dia hanya penasaran. “Mau minum?” Mirza hanya menawarkan. “Saya gak haus.” Fazia menggeleng cepat. “Maksudnya minuman mabuk.” Mirza terkekeh geli, Fazia salah mengartikan pertanyaannya. “Oh ....” Fazia baru ingat istilah minum, yaitu mabuk-mabukan. “Nanti aja, Kak. Santai aja.” “Ganti baju kamu sama yang lebih sopan,” pinta Mirza tanpa menoleh, fokus pada game. “Saya gak bawa baju banyak, udah gitu yang dibawa ya yang gini-gini.” Fazia jadi bingung. “Pake pakaian saya aja. Bebas mau pilih yang mana.” Mirza pikir itu lebih baik dibanding setelan kurang bahan yang dipakai Fazia sekarang ini. “Oke.” Fazia mengangguk tanpa bantahan. “Satu lagi.” Mirza berhasil menghentikan pergerakan gadis itu. “Hapus make up kamu.” “Iya, Kak.” Fazia berlalu dari pandangan. Villa itu tidak terlalu luas, Fazia yakin kamar utama ada di bagian depan sekalipun Mirza belum memberitahunya. Walau ragu, ia tetap memasuki kamar tersebut sambil menarik kopernya. Parfum maskulin yang terasa mewah dan khas langsung menyapa penciuman, harum dan memabukkan. Entah apa yang salah dari penampilan Fazia, kelihatannya Mirza tidak tertarik sedikit pun. Tidak masalah, Fazia justru merasa senang bisa terlepas dari penampilan yang bukan style-nya sama sekali. Semua pakaian yang dibawanya milik Kalina, tidak ada satu pun pakaian yang tertutup dan sopan. Selesai menghapus make up hingga tak bersisa, Fazia kembali ke ruang TV dengan penampilan baru, yaitu kemeja putih kebesaran tanpa celana terusan. Kalina bilang dia harus terlihat menarik, terpaksa dia tetap mempertontonkan pahanya. Namun, hal itu tidak mengganggu fokus Mirza pada game! Jujur saja Fazia semakin bingung, apa yang harus dia lakukan? Jangankan memulai lebih dulu, dia bahkan belum pernah berpacaran. Bodohnya lagi, dia tidak mengatakan hal itu pada Kalina. Lama menonton gameplay yang dimainkan Mirza, tanpa sadar Fazia ketiduran dengan posisi duduk asal.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Lone Alpha

read
33.6K
bc

My Crush Is My Best Friend's Dad

read
11.1K
bc

The Luna He Rejected

read
131.7K
bc

Just Got Lucky

read
142.0K
bc

The Vampire King's Human Mate

read
93.7K
bc

Sold to the Ruthless Alpha

read
5.2K
bc

Cruel Love

read
774.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook