Suara wanita itu membuat mereka berlima menengok ke arahnya. Yura yang merasa dirinya
di panggil menatap lekat – lekat wajah wanita tersebut, berusaha untuk mengingat – ingat
dimana dia melihat wajah wanita ini. Ke empat temannya menatap Yura bingung karena
hanya Yura lah yang wanita itu panggil, berarti wanita ini mengenal Yura.
Dimana gue lihat ni cewe, batin Yura.
“Sst, Yur. Siapa tu cewe?” tanya Nara yang duduk di sebelah Yura dengan cara berbisik dan menyenggol lengan Yura. Yura membalas pertanyaan Nara dengan cara mengangkat bahunya
menandakan dia saja tidak yakin apakah dia mengenal wanita ini atau tidak.
“Kamu Yura kan? Calon istrinya Minho?” tanya wanita itu lagi.
“I-iya, maaf kamu siapa ya?” tanya Yura pada wanita itu.
“Ini aku Stella, temennya Minho. Kita ketemu di bandara waktu itu,” jelas Stella pada Yura.
Yura kembali dengan pikirannya, berusaha untuk mengingat – ingat lagi.
Ohhh, namanya Stella. Baru inget gue, gara – gara ni cewe gue dikira ngambek sama Minho,
batin Yura lagi.
“Ya benar, aku mengingat mu sekarang. Tidak ku sangka kita bisa bertemu lagi Stella,” ucap
Yura.
“Ya ini suatu kebetulan. Padahal baru minggu lalu aku memiliki pertemuan dengan ayahmu,
ku harap aku bisa bertemu denganmu tapi ternyata tidak,” ucap Stella.
“Kau? Bertemu dengan ayahku? Untuk apa?” tanya Yura pada Stella dengan wajah selidik.
“Bukan apa – apa, hanya urusan pekerjaan saja,” jelas Stella.
“Ohhhh,” balas Yura dengan singkat.
“Kalau begitu aku permisi dulu, aku harus segera menemui klien ku. Sampai jumpa lagi
Yura,” ucap Stella sambil lalu.
Setelah Stella pergi ke empat temannya menatap Yura dengan pandangan mata meminta
penjelasan. Yura yang mengetahui maksud semua temannya pun hanya menghela napas, mau
tidak mau dia harus bercerita pada temannya secara singkat.
“Siapa tu cewe Yur?” tanya Nara.
“Temen masa kecilnya Minho, kalo nggak salah,” jawab Yura.
“Sok akrab banget sama lo,” tambah Jinju.
“Tauu,” jawab Yura secara singkat.
“Yur, lo nggak takut kalo Minho bakalan suka sama tu cewe?” tanya Jinyoung yang berusaha
menggoda Yura.
“Nggak si, Minho nya udah jatuh cinta banget ke gue. Jadi ya gue biasa aja,” jawab Yura
dengan senyum puas di wajahnya karena melihat wajah Jinyoung yang sedikit kesal karena
gagal menggodanya.
“Tapi tadi dia bilang mau ketemu klien? Emang dia kerja apaan?” tanya Nara.
“Seinget gue dulu si waktu di mobil, appa bilang kalo di kartu namanya ditulis kalo dia
pengacara,” jawab Yura sambil berpikir.
“Wahh gila, udah cantik, tampilannya dewasa, pengacara lagi,” ucap Jinyoung dengan
kalimat kagumnya.
“Yur, tadi gue nggak salah denger dia bilang apa tadi?” tanya Beomjin.
“Bilang apa emang?” jawab Yura dengan balas bertanya pada Beomjin.
“Calon istri katanya,” jawab Beomjin.
“Hah? Lo mau nikah sama Minho Yur?” tanya Jinju dengan nada bicara yang sedikit terkejut.
“Kok lo nggak bilang – bilang si kalo lo mau nikah,” tambah Nara.
“Apa – apaan si lo pada. Dia bilang kaya gitu gara – gara appa gue ngenalin gue ke dia waktu
itu sebagai calon istrinya Minho,” jelas Yura dengan wajah datarnya.
“Ekhem, yang udah direstuin sampai nikah sama orang tua nih,” ucap Beomjin sambil
meledek.
“Gue tunggu undangan lo Yur. Gue juga bakalan siap kok kalo disuruh buat habisin makanan
di acara nikahan lo hahaha,” ucap Jinyoung sambil tertawa puas.
“Urusan makanan aja lo cepet,” jawab Yura.
Setelah menunggu lama akhirnya pesanan mereka datang. Mereka memakan pesanan mereka
sambil berbincang. Hal apa pun akan mereka bicarakan, bisa dibilang pembicaraan mereka
selalu random. Kadang mereka membicarakan kuliah, membicarakan dosen, membicarakan
politik dan hukum padahal mereka bukanlah mahasiswa di jurusan tersebut. Selesai makan
mereka berlima pun kembali ke kampus untuk melihat apakah acara ulang tahun kampus
sudah berakhir atau belum.
Ternyata acara belum selesai, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di ruangan
mereka. Baru lima menit mereka duduk di ruangan itu tiba – tiba saja pintu ruangan terbuka,
otomatis mereka berlima melihat ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang membuka
ruangan mereka.
“Kalian disini rupanya?” ucap seorang dosen pria paruh baya itu.
“Annyeonghaseyeo profesor Choi,” ucap mereka berlima secara bersamaan sambil berdiri dan membungkukkan badan.
“Apakah kalian berlima di sini dari tadi?” tanya profesor Choi.
“Ya profesor, kita berlima ada di ruangan ini dari tadi. Apakah ada masalah profesor Choi?” jawab Yura dengan cepat agar profesor Choi tidak curiga bahwa mereka absen selama beberapa jam.
“Oh tidak ada apa – apa, hanya saja tadi aku meminta salah satu mahasiswa untuk mencari kalian katanya kalian tidak ada disini,” jelas profesor Choi.
“Mungkin karena tadi lampu ruangan ini kita matikan jadi dia tidak melihat kita. Lampu ruangan ini baru saja kami nyalakan profesor,” jawab Beomjin.
“Hmmm mungkin saja seperti itu,” ucap profesor Choi dengan tangan kanannya sambil mengelus dagunya.
“Kalau begitu apakah kalian akan tetap disini? Kalian tidak mau melihat acara utama ulang tahun kampus kita?” tambah profesor Choi.
“Ya, tentu saja kami akan melihatnya profesor. Sebentar lagi kami akan keluar,” ucap Yura dengan senyum di wajahnya.
“Baguslah, kalau begitu aku pergi dulu. Cepat lah keluar dari ruangan ini,” ucap profesor Choi sambil menutup pintu ruangan mereka. Setelah profesor Choi pergi, mereka semua menghela napas dan langsung menjatuhkan badan mereka di sofa.
“Wahhh gue kira kita bakal ketahuan absen tadi,” ucap Nara sambil mengelus dadanya karena merasa lega.
“Bener banget Nar, gue juga udah deg – degan banget tadi,” ucap Jinju mengiyakan perkataan Nara.
“Yura dan Beomjin, dua mahasiswa dengan nilai tertinggi ternyata bisa berbohong juga ya
hahaha,” ucap Jinyoung dengan tawanya.
“Diem lo Young, kalo tadi gue nggak buru – buru jawab pertanyaan profesor gue yakin lo
bakalan keceplosan kan? Iya kan? Ngaku nggak lo?” ucap Yura dengan cepat.
“Hehe iya si,” jawab Jinyoung dengan cengiran dan tangannya sambil menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
“Untung ada gue sama Yura, kalo nggak habis riwayat kita di tangan ni orang,” ucap
Beomjin sambil menunjuk Jinyoung.
Diantara mereka berlima, memang Jinyoung lah yang paling mudah keceplosan. Entah dia
polos atau bodoh, terkadang dia sangat mudah jujur jika dipancing apalagi jika dia sedang
dalam keadaan terdesak, maka dia hanya mengucapkan kalimat yang ada di pikirannya saat
itu juga.
***
Saat ini Yura sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya setelah mengantarkan Nara.
Jarak rumah merek berdua hanya selisih beberapa lima rumah antara rumah Yura dan Nara.
Dia tidak menyangka jika acara ulang tahun kampusnya kali ini akan sampai tengah malam.
Dia segera memasukkan mobilnya ke garasi dan memarkirnya dengan benar. Setelah itu dia
segera masuk untuk cepat – cepat beristirahat karena hari ini dia benar – benar lelah.
“Yura,” suara yang sangat familier dan sangat menenangkan memanggil Yura. Ternyata ibunya masih belum tidur juga. Yura segera menghampiri ibunya dan memeluk ibunya dengan manja.
“Eomma,” panggil Yura sambil meletakkan kepalanya di pundak ibunya.
“Yura kenapa kamu pulang selarut ini nak?” tanya Sara ibunya.
“Hari ini kampus merayakan hari jadi eomma, tidak kusangka akan sampai selarut ini,” jawab
Yura.
“Seharusnya kamu menelepon salah satu oppa mu untuk menjemputmu nak. Kenapa kamu
memilih pulang sendiri? Dimana Minho?” tanya Sara lagi.
“Eomma, Yura sudah besar. Yura bisa pulang sendiri, lagi pula oppa tidak ada yang tinggal disini sekarang. Lalu Minho, aku tidak ingin merepotkannya, dia sudah sangat sibuk dengan tugas akhirnya,” jelas Yura.
"Aigoo, anak eomma sudah dewasa ternyata. Apakah kamu sudah makan?”
“Belum, aku belum makan malam. Hanya makan siang saja tadi,”
“Apa kamu lapar? Mau eomma buatkan sesuatu untuk kamu makan?”
“Tentu eomma, aku sangat lapar. Tapi aku juga harus mandi,”
“Makan saja dulu, kamu bisa mandi nanti. Duduk di meja makan, eomma akan segera
membuatkanmu makanan yang enak,”
“Nde eomma,” Yura meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga dan segera mengikuti Sara ke dapur. Yura
merasa bahwa dirinya sangat lah beruntung karena lahir di tengah – tengah keluarga dan teman yang menyayanginya. Entah apa jadinya jika mereka tidak ada untuk Yura, sementara Yura terkadang masih bersifat manja jika pada orang tuanya.
“Eomma, dimana appa?”
“Appa sedang ada di ruang kerjanya,” jawab Sara yang masih fokus dengan memasak.
“Ahh nde. Ah eomma, apakah eomma masih ingat Stella yang saat itu kita bertemu
dengannya di bandara?”
“Stella? Bandara? Ya, tentu saja eomma ingat, teman masa kecilnya Minho kan? Wae? Apa
ada masalah?”
“Ani, hanya saja tadi aku tidak sengaja bertemu dengannya saat makan siang,”
“Lalu?”
“Dia bilang padaku bahwa minggu lalu dia bertemu dengan appa. Apa itu benar?”
“Benar Yura, minggu lalu ayahmu memiliki janji temu dengannya,”
“Untuk apa mereka bertemu?”
“Caaa, ini makananmu. Ah soal itu, ayahmu ingin merekrut dia sebagai salah satu pengacara
di perusahaan,” jelas Sara sambil meletakkan piring di atas meja. Piring itu berisi nasi goreng
kimchi kesukaan Yura.
“Wah, nasi goreng kimchi. Ahh tapi ini sudah tengah malam,” ucap Yura sambil sedikit
memanyunkan bibirnya. “Oh ya, apakah dia menerima tawaran ayah?” tambah Yura.
“Makan saja, tidak apa – apa walaupun sudah tengah malam kamu tetap harus makan Yura.
Entahlah ayahmu belum menceritakannya lagi,” jelas Sara.
“Jinjja gwaenchana eomma jika aku makan ini tengah malam?” tanya Yura.
“Tidak apa – apa, kamu tetap terlihat cantik. Makan tengah malam sekali waktu tidak akan
membuatmu gemuk nak,” jelas Sara meyakinkan Yura agar mau makan.
Yura mengangguk dengan penuh semangat, di depannya ada nasi goreng kimchi kesukaannya. Lagi pula dia juga tidak akan bisa menolak nasi goreng kimchi buatan Sara, karena menurut Yura masakan seorang ibu adalah masakan yang paling enak. Walaupun dia sering makan di restoran dengan chef yang ahli, tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan rasa masakan seorang ibu.