Chapter 20

1612 Words
Alan bagaikan orang yang sedang kebakaran jenggot saat mengetahui bahwa Aini tak ditemukan. Dia mondar-mandir tidak jelas sambil menunggu kabar terbaru dari pihak hotel. Pihak hotel dengan cepat melacak keberadaan Aini. Lima belas menit kemudian setelah Alan melapor pada pihak hotel, manager hotel buru-buru bertemu dengan Alan. "Tuan Alan, apakah Anda mengenal dua orang pria ini?" (dialog dianggap dalam bahasa Inggris.) Menager hotel memperlihatkan isi rekaman ketika Naufal dan Adelio dengan santainya membawa Aini. Apalagi ketika Naufal menggendong sang adik di bahu kirinya dan memandang penuh senyum manis ke arah cctv berada. Mata Alan memerah mendidih apalagi saat melihat Naufal, musuh bebuyutannya. "Opal k*****t! anak perempuanku kau bawa lari! dua kakak beradik kampret! kembalikan anak perempuanku!" Alan mengamuk. Finisa menatap cengo ke arah sang suami. Entah dia harus tertawa ataukah menangis saat mengetahui bahwa Aini telah dibawa oleh dua kakak laki-lakinya. Suaminya terlalu fanatik terhadap anak perempuan. "Jadi, apakah Anda mengenal mereka?" tanya Manager hotel. Mata Alan terlihat penuh kebencian yang mendalam. "Tentu saja aku mengenali dua bocah ini." "Siapa mereka?" tanya manager hotel. "Mereka berdua adalah musuh bebuyutanku," jawab Alan. Manager hotel mengangguk mengerti. "Kami mengerti, ini adalah penculikan yang dilakukan oleh saingan bisnis Anda. Kami akan segera menghubungi pihak yang berwajib untuk menangani penculikan terhadap anak perempuan Anda." "Tuan White, tidak perlu dilaporkan," ujar Finisa menahan manager hotel. Manager hotel mengerutkan keningnya. "Saya butuh alasan yang kuat. Ini adalah negara hukum, kami melindungi warga negara kami termasuk warga asing yang melakukan perjalanan di negara ini, apalagi tempat penculikan anak perempuan Anda terjadi di hotel ini," ujar manager hotel. Finisa tersenyum kecil. "Dua pria yang membawa anak perempuan kami adalah kakak laki-laki dari anak perempuan kami," ujar Finisa. Kerutan di kening manager hotel menghilang. "Saudara laki-laki dari anak perempuan Anda?" manager hotel merasa agak bingung dan kurang mengerti. "Ya, benar." Finisa mengangguk. "Ah, jadi dua orang pria itu adalah anak Tuan Basri dan Nyonya?" tanya manager hotel. Finisa agak kesusahan untuk menjawab pertanyaan ini. "Bukan anak kami," jawab Alan. Kening manager hotel berkerut lagi. "Maaf, saya tidak mengerti." "Dua orang b*****h itu adalah keponakan saya, mereka musuh bebuyutan saya," ujar Alan. Manager hotel dan staf, "...." mereka tidak dapat berkata-kata untuk saat ini. Kepala mereka muncul beberapa pertanyaan. Anak perempuan mereka diambil oleh saudara laki-laki dari anak perempuan mereka, tapi dua laki-laki itu bukanlah anak mereka, hal ini cukup rumit. Finisa terkekeh canggung. "Um, ada beberapa masalah keluarga yang agak rumit untuk dijelaskan, maaf telah membuat repot pihak hotel. Masalah hilangnya anak perempuan kami, biarkan kami yang menangani." "Baik." Manager hotel mengangguk mengerti. Alan menatap tajam ke arah empat orang bodyguard Basri. "Percuma aku bawa kalian jauh-jauh dari Bandung ke sini kalau tidak bisa mencegah Opal dan Adel membawa anak perempuanku." Empat orang bodyguard hanya bisa menunduk sambil menelan susah air ludah mereka. Apa daya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, yang memerintahkan mereka masing-masing memiliki kekuatan yang besar, di mana Alan telah menjadi penerus Basri, sementara Naufal adalah cucu kesayangan Tuan Randra Basri, sementara Adelio adalah Tuan Ruiz yang kejam. Jika dua orang ini bergabung membentuk satu kekuatan, maka mereka akan dibakar hidup-hidup lalu menjadi abu jika menghalangi. Apalagi posisi Aini adalah adik kandung mereka, bisa habis kulit mereka, mereka akan dikuliti hidup-hidup oleh Adelio Ruiz. Maju kena, mundur kena. Di depan jurang, di belakang lembah. * Keluarga itu menikmati pertemuan dengan pihak panti asuhan. Aini terlihat senang ketika berjabat tangan dengan anak-anak panti. Adelio menatap sekeliling panti asuhan itu. Ini adalah panti asuhan yang dikelola oleh pihak kementerian sosial pemerintah Australia. Dia cukup senang melihat sang adik perempuan terlihat begitu cepat diterima oleh anak-anak yatim. Sang adik tak pernah membedakan orang dari keyakinan yang dianut, adiknya selalu mengutamakan hati nurani dan kemanusiaan. Dua buah mobil berhenti di panti asuhan itu. Keluarlah Alan yang buru-buru berjalan mendekat ke arah Ben. "Ben, kamu sungguh tega, tidak punya hati nurani! bagaimana bisa kamu merebut satu-satunya sumber hiburan dan kebahagiaanku!?" Finisa dan empat bodyguard, "...." bingung dengan Alan. Siapa yang pelaku utama, siapa yang dicecar. Adelio menatap ke arah sang paman, dia menaikkan sebelah alisnya. Sang paman tak berani menyinggung dia. Naufal melirik ke arah Alan. Ben malah terlihat melongo karena ucapan Alan. "Ainiku kamu rebut!" Alan menangis tanpa air mata. Finisa memutar bola matanya, dia mendekat ke arah Popy. "Kalian sudah berencana berlibur keluarga di sini?" Popy menggelengkan kepalanya. "Awalnya tidak. Aku dan Ben cukup kaget karena Adel dan Opal sudah berjanji untuk bertemu di sini. Ayah Ran mengizinkan kami untuk liburan di sini bersama anak-anak," jawab Popy. Finisa melirik ke arah Alan. "Ayah Ran sudah mengizinkan, jangan mengamuk pada orang yang bukan pelaku dan tak tahu apa-apa," ujar Finisa. Alan cemberut. "Ayah Ran ini, selalu saja berada di kubu anak perempuan." Finisa memutar bola matanya. "Lalu kamu ini turunan siapa? tidakkah kamu sadar bahwa semenjak ada Aini, kamu sudah memutar haluan ke anak perempuan." "Pfthahahah!" Naufal terbahak. Popy ikut terbahak hingga air matanya keluar. Sementara itu Adelio dan Ben hanya geleng-geleng kepala. "Sudah terlanjur di sini, mari kita liburan keluarga," ujar Alan. "Siapa yang ingin liburan keluarga dengan Om Alan?" tanya Adelio. "Kalian semua," jawab Alan percaya diri. "Liburan keluarga hanya Aini, aku, Bro Opal, Mama Poko, Papa Ben," ujar Adelio bagaikan tak punya hati jika kalimat ini Alan yang dengar. Alan menangis tanpa air mata, dia buru-buru berlari ke arah Aini untuk mengadu. "Aini sayang, Papa Alan boleh ikut bakti sosial di sini bersama kamu?" oh, ini adalah bujukan andalan. "Tentu saja boleh, Papa Alan. Kemarilah! Aini perkenalkan pada teman-teman baru," jawab Aini. Alan tersenyum senang. Adelio memandangi Alan dengan tatapan menusuk hingga membuat punggung Alan hampir bolong tak kasat mata. Alan menggigil saat dia melirik sekilas mata dingin Adelio. "Adel, janganlah mau menguasai Aini sendirian, tidak kasihan dengan Om yang kesepian tanpa anak perempuan di rumah?" Alan memperlihatkan wajah sedih. "Anak laki-lakimu sudah menikah tahun lalu, dan kau sudah punya anak menantu perempuan di rumah, ditambah lagi sedang mengandung cucumu, lalu apa yang harus Om Alan mengeluh?" kata-kata Adelio malah membuat Alan hampir jatuh stroke. Pedas sekali ucapan anak Ben yang ini. "Sudahlah, jangan dibahas. Mari kita liburan keluarga." Alan memilih pura-pura mati saja, eh pura-pura lupa. * Kediaman Tua Nabhan. Mentari mengikuti kopernya yang sedang dibawa oleh pelayan laki-laki ke arah mobil. Bagasi mobil itu telah dibuka oleh supir, mesin mobil juga sudah dipanaskan dan siap dioperasikan. "Terima kasih untuk dua hari ini. Maaf keluarga Om merepotkan kamu," ujar Busran. "Tidak masalah, Om. Kami terikat hubungan keluarga. Om memanggil Ayah mertuaku dengan sebutan kakak ipar, lalu apakah kami bukan keluarga?" balas Mentari. Busran tersenyum. "Terima kasih." "Om, satu kali saja ucapan terima kasih itu," balas Mentari. Gea memeluk Mentari. "Hati-hati dalam perjalanan. Sampaikan salam Tante pada Ariansyah." "Baik," sahut Mentari. Setelah Gea memeluk Mentari, Bushra, Atika dan Fathiyah bergantian memeluk Mentari. "Tari pergi yah, Assalamualaikum," pamit Mentari sebelum masuk ke dalam mobil. "Waalaikumusalam!" balas semua orang. Mobil yang membawa Mentari menjauh meninggalkan rumah tua Nabhan. Keluarga Nabhan yang mengantarkan Mentari di luar rumah, kini masuk ke rumah. * Beberapa hari kemudian adalah hari ketujuh Agri dan Lia. Rumah tua Nabhan kembali disibukkan dengan segala persiapan. Di mana sanak-saudara yang lain yang telah pulang ke tempat tinggal mereka atau cucu cicit yang bekerja di luar kota Semarang kini kembali lagi ke rumah tua Nabhan. "Di mana Lia?" tanya Farel. "Masih di dalam kamar tua," jawab Bushra. Farel mengembuskan napas. "Panggilkan dia ke sini, yasinan Ayah dan Ibu sudah mau mulai, biarkan dia duduk di sini." Bushra mengangguk. Dia berdiri, Atika juga berdiri. "Aku temani," ujar Atika. Bushra mengangguk. * "Lia, ayo keluar Nak, kita ke depan, yasinan tujuh hari Kakek Agri dan Nenek Lia hendak dimulai sebentar lagi. Mari duduk di depan, pakailah gamis yang Mama siapkan untukmu di tempat tidur," ujar Bushra. Beberapa detik kemudian pintu kamar terbuka. Lia kecil muncul dengan mengenakan gamis putih dan kerudung putih. Dia berjalan ke arah tempat yasinan tanpa berkata apapun pada Atika dan Bushra. Bushra menarik dan menghembuskan napas agak susah. "Kemarin aku melihat meskipun dia tidak mengucapkan kata apapun, tetapi dia tetap makan sup ayam yang aku masak selama beberapa malam ini," ujar Bushra. Atika menggenggam pergelangan tangan kiri Bushra. "Semua akan baik-baik saja." "Sampai sekarang Aril belum muncul juga," ujar Bushra. "Kita akan cari cara agar Aril muncul. Didi akan datang untuk menjenguk temannya yang sedang bersedih," bujuk Atika. Bahu Bushra bergetar. "Aku belum bertemu dengan Aril. Aku rindu dia." Bushra menahan tangis. Suara halus Chana terdengar. "Ibu, Tante Sira, yasinan sudah dimulai. Mari ke depan." "Ah, ya." Atika mengangguk. Bushra mengusap air matanya dan melangkah ke tempat yasinan. * Hari berikutnya masa cuti Eric telah berakhir. Dia mengambil cuti tambahan untuk waktu kepulangan ke Kanada. Namun, sampai detik ini Eric dan Bushra belum juga bertemu dengan Ariella. "Aku belum ingin kembali ke Kanada, kamu kembali lebih dulu," ujar Bushra. Eric terperangah, dia melirik ke arah sang istri. "Tidak. Aku tidak ingin kembali ke Kanada sendiri, kami harus kembali bersama." "Aku belum bertemu Aril. Hatiku belum tenang jika Aril belum muncul," balas Bushra. "Kita percayakan pada Mentari," ujar Eric. Bushra menatap mata suaminya. "Ya, kita memang sudah sepakat untuk percayakan pengobatan Aril pada Mentari, tapi hatiku belum tenang sebelum bertemu Aril." Wajah Bushra terlihat sedih "Kamu kembali ke Kanada, lakukan tugasmu sebagai duta besar Perancis untuk Kanada, biarkan aku di sini dulu mengikuti Papa dan Mama ke Jakarta." "Sampai kapan?" tanya Eric. "Sampai Aril muncul," jawab Bushra. Eric menutup sejenak matanya. "Tidak menentu," ujar Eric. "Aku tidak mau balik ke Kanada. Eric, biarkan aku menghabiskan waktu beberapa hari bersama Papa dan Mama," ujar Bushra. "Baik, kita akan ke Jakarta, aku akan mengambil cuti lebih." Eric mengalah. Di saat-saat seperti ini, istrinya khawatir dengan anak perempuan mereka, biarlah dia mengalah. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD