Chapter 24

1620 Words
Pada hari berikutnya, Lia kecil bertamu ke rumah Farikin. Keponakan laki-laki dari nenek buyutnya menyambut kedatangannya seperti seorang pimpinan negara yang datang berkunjung ke negara sahabat. "Ah Lia!" Davin terlihat sangat senang. Dia berdiri memakai satu tongkat di tangan dibantu oleh seorang pelayan laki-laki. Lia kecil berjalan memasuki rumah itu. "Duduk dulu! buatkan teh untuk Lia kecil!" perintah Davin. Pelayan buru-buru membuatkan teh dan menyiapkan cemilan untuk Lia. Sementara itu Davin ikut duduk dan bercakap dengan Lia kecil. "Lia, sudah lama tidak datang ke sini, apakah kamu ingin melihat kamar gadis Bibi Lia?" tanya Davin. Lia kecil mengangguk. "Kamar itu tidak kau berikan untuk orang lain tempati, kan?" tanya Lia kecil. Davin menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak, setelah kedatangan kamu dan Bibi Lia pertama kalinya, Kakek Davin tidak mengizinkan satu orangpun tidur di kamar itu, Ojan sudah pindah ke kamar yang lain," jawab Davin. Lia kecil mengangguk puas. Dia mengambil gelas teh dengan gerakan elegan lalu meneguk teh itu. "Di mana Abang Ojan?" tanya Lia kecil. "Dia sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota," jawab Davin. Tatapan mata Lia kecil berubah agak kecewa, namun dengan cepat dia menyembunyikan tatapan itu. "Apakah kamu ingin bertemu dengan Ojan?" tanya Davin. Lia kecil diam selama beberapa detik, kemudian dia mengangguk pelan. "Ya," jawab Lia kecil. "Kakek Davin bisa memerintahkan Ojan untuk pulang ke sini," ujar Davin. "Tidak perlu," balas Lia kecil. "Kenapa? bukankah kamu ingin bertemu dengan Ojan?" tanya Davin. "Tidak punya waktu untuk menunggunya pulang," jawab Lia kecil. Davin kurang mengerti dengan ucapan Lia kecil, namun dia hanya mengangguk saja. "Telepon Abang Ojan!" pinta Lia kecil. "Baik," sahut Davin. Davin menerima ponsel dari seorang pelayan, dia menelepon sang cucu laki-laki. Beberapa saat kemudian panggilan tersambung. "Halo, Kakek." Suara bass seorang pria terdengar, dia adalah Fauzan, cucu laki-laki dari Davin. "Ojan, bicaralah dengan Lia kecil!" perintah Davin. Davin memberikan ponsel pada Lia kecil. "Halo, Abang Ojan," sapa Lia kecil. Suara Lia kecil tidak dingin seperti biasanya, ini terdengar agak hangat. "Oh Lia," balas Fauzan. "Kakek Davin berkata Abang Ojan ke luar kota," ujar Lia kecil. "Ya, benar," sahut Fauzan. "Kapan kau akan kembali?" tanya Lia kecil. "Tiga hari lagi," jawab Fauzan. Saat bibir Lia kecil terbuka dan hendak berkata sesuatu, suara seorang wanita terdengar. "Apakah malam ini kamu akan ke kamarku?" tanya wanita itu. Seketika tatapan mata Lia kecil berubah dingin. Ekspresi wajahnya datar dan terlihat tidak bersahabat. Davin mengerutkan keningnya saat melihat wajah dingin Lia kecil. Apakah sang cucu berkata sesuatu yang tidak menyenangkan pada Lia kecil? batin Davin berpikir seperti itu. "Lia-" Klik! Panggilan dengan sendirinya dimatikan oleh Lia kecil, suara Fauzan yang tadinya hendak berkata pada Lia kecil melalui telepon terputus. Lia kecil mengembalikan handphone ke arah Davin dan dia berkata dengan dingin. "Aku ingin melihat kamar gadis Nenek Lia untuk terakhir kalinya." Davin terperangah. "Untuk terakhir kalinya?" tanya Davin. Lia kecil mengangguk. "Kakek Davin tidak perlu naik menemaniku ke atas, aku akan pergi sendiri." Davin mengangguk. "Baiklah." Lia kecil berdiri, dia melangkah meninggalkan ruang tamu di mana ada Davin di situ. Setelah melihat Lia tidak lagi di ruang tamu, Davin dengan cepat menelpon kembali cucu laki-lakinya. "Halo, Kakek-" "Apa yang tadi kamu katakan pada Lia kecil?" sang Kakek langsung bertanya tanpa mempedulikan sapaan sang cucu. "Hanya menjawab tiga hari lagi aku akan pulang dari luar kota," jawab Fauzan. "Benar begitu? kau tidak berkata hal lain yang membuatnya kesal?" tanya Davin seperti menuduh sang cucu. "Benar, Kek. Aku tidak merasa berkata hal yang tidak menyenangkan terhadap Lia kecil," jawab Fauzan. "Ya sudahlah, Kakek tutup teleponnya," ujar Davin. "Baik, Kek," sahut Fauzan. "Kau cepat pulang ke rumah, urusan perusahaan cepat kau selesaikan, jangan lelet. Lihat Papamu, tidak pernah lelet mengurus urusan perusahaan," ujar Davin. "Baik, Kek." Fauzan hanya bisa menyahut patuh omongan sang kakek. "Hum, Kakek tutup teleponnya," ujar Davin. Panggilan diakhiri oleh Davin. Di dalam kamar, Lia kecil melihat tata letak properti yang ditata di kamar gadis milik sang nenek buyut. Letak kamar itu masih sama seperti sebelumnya, tidak berubah. Hanya saja kamar itu tidak berdebu atau berjamur. Pelayan setiap beberapa hari secara berkala membersihkan kamar itu. Lia kecil mendekat ke arah ranjang dan berbaring terlentang menatap plafon kamar. Dia menutup matanya sambil berkata, "Abang Ojan pernah tidur di tempat tidur ini." Setelah itu dia menghirup udara namun dia membuka matanya lalu mengembuskan kasar udara itu. "Mengunjungi kamar wanita lain?" Lia kecil tertawa sinis. Dia bangun dari ranjang dan melihat pantulan dirinya di cermin. Penampilannya ketika dikuasai oleh kepribadian ini sangatlah tidak feminim. Di mana rambut sebahunya diikat lalu dia memakai kaos dan celana tactical dan sepatu boot wanita. Dengan penampilan seperti ini, pria juga tidak akan tergoda, apalagi dia adalah seorang atlet menembak dan beladiri, bahkan dia bisa sparing dengan beberapa gaya beladiri, diantaranya Taekwondo, Karate, Muay Thai, dan bahkan bisa tinju bebas. Pria mana yang akan tergoda oleh gadis keras seperti dia? jawabannya adalah tidak ada. Ditambah lagi sifatnya yang cuek dan dingin, dia selalu datar dan berwajah serius. Orang-orang takut padanya. Lia kecil tersenyum sinis. "Aku bisa mendapatkan semua medali beladiri, aku bisa mendapatkan medali memanah, menembak, bahkan bisa meraih medali sains teknologi persenjataan, namun tidak bisa meraih dua hati yang aku sukai." Tatapan matanya terlihat dingin, namun juga penuh akan kekecewaan. Lia kecil membuka lemari pakaian dari nenek buyutnya, dia melihat masih ada pakaian gadis sang nenek buyut meskipun usia pakaian itu telah melewati beberapa dekade. Sangat manis. Dia meraih sebuah daster dengan gambar doraemon dan menempelkan daster itu di badannya sambil melihat ke arah cermin lemari. Matanya terlihat hangat. Dia berbalik dan melihat seluruh sudut dari ruangan itu. Kemudian dia keluar kamar dan turun ke lantai dasar. Dia menemui Davin yang sedang duduk menunggu dirinya. "Aku ingin baju ini." Davin tersenyum, dia mengangguk. "Ambillah. Baju itu memang cocok untukmu. Itu adalah baju kesukaan Bibi Lia ketika masih gadis. Jika Paman Arya dan Paman Arsyad membawa Bibi Lia ke rumah ini untuk menginap sembunyi-sembunyi dari Om Agri, Bibiku Lia akan memilih baju itu untuk dikenakan." Lia kecil diam selama beberapa detik. "Kakek Davin," panggil Lia kecil. "Ya?" sahut Davin. "Kau boleh mengizinkan kamar gadis Nenek Lia untuk ditempati oleh siapapun," ujar Lia kecil. Davin menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa aku izinkan selain kamu. Bagaimana jika kamu berkunjung ke sini dan ingin menginap? bukankah kamu menyukai kamar itu?" tanya Davin. "Aku tidak akan datang lagi berkunjung di rumah ini maupun menginap," jawab Lia kecil. "Mengapa?!" Davin terbelalak. Lia kecil tidak menjawab selama beberapa detik. "Apakah karena Bibiku Lia telah meninggal, itu sebabnya kamu tidak ingin datang lagi ke sini?" tanya Davin. Wajahnya terlihat sendu. "Bukan seperti itu," jawab Lia kecil. "Lalu ada apa? katakan pada Kakek Davin," ujar Davin. "Mulai sekarang aku tidak akan menginap lagi di rumah ini," jawab Lia kecil. "Lia, apakah Kakek Davin berbuat salah ataukah menyinggung kamu?" tanya Davin. "Tidak ada," jawab Lia kecil. "Lalu kenapa kamu berkata demikian?" tanya Davin. "Karena di masa depan, aku akan jarang pulang ke rumahku sendiri, apalagi datang ke sini, itu tidak mungkin," jawab Lia kecil. Wajah Davin terlihat sedih. "Lia …," ucapnya. "Kakek Davin, jika selama ini aku pernah menyinggungmu, baik itu perkataan atau tindakan, maafkan." Lia kecil memandang ke arah lain saat mengatakan ini. Egonya mengatakan tidak ingin minta maaf atas apa yang telah dia lakukan sebelumnya, namun hati nuraninya melawan. Alhasil, untuk kali ini hati nuraninya mengambil alih. Davin tersenyum kecil. "Kamu sama sekali tidak menyinggung Kakek Davin, justru menghiburku." Tatapan mata Lia kecil hanya datar, namun dia menunduk selama beberapa detik. "Sampaikan salamku pada Abang Ojan," ujarnya. Davin mengangguk. "Baiklah, akan Kakek Davin sampaikan." Setelah percakapan ini, Lia kecil diantarkan oleh Davin hingga depan pintu rumah Farikin. Seorang pelayan laki-laki membantu Davin berdiri. Davin melihat kepergian mobil yang ditumpangi oleh Lia kecil. Kedatangan Lia kali ini adalah terakhir kalinya di rumah Farikin. Kedepannya, Lia kecil tidak akan lagi berkunjung ke rumah itu hingga akhir hayat Davin. * Pagi hari berikutnya, seorang pelayan laki-laki menyeret koper sedang milik Lia kecil. Koper itu dimasukan ke dalam bagasi mobil. Di punggung Lia kecil, dia mengenakan ransel coklat. Di belakangnya, Busran mengekori sang cucu perempuan dengan deraian air mata. "Cucuku, kamu benar-benar akan pergi?" "Aku tidak pergi untuk mati, apakah kau menyumpahiku?" tanya Lia kecil. Busran menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak! mana mungkin Kakek Busran menyumpahi kamu, itu tidak benar!" bantah Busran. "Kalau begitu, diam!" perintah Lia kecil. Busran menahan suara tangisan, namun air matanya tetap menetes. "Ada izin menginap dan berlibur ke keluarga, seringlah pulang ke rumah Kakek Busran. Nenek Gea akan memasak sup ayam yang enak untukmu," ujar Busran. Wajah datar Lia kecil melirik ke arah wajah kakeknya. "Tidak ada waktu libur." "Huhuhuhu cucuku!" Busran menangis. Gea mendekati sang suami dan mengusap punggung suaminya. Ada sebuah kantong kain hijau di tangan Gea. Dia memberikan kantong itu pada Lia kecil. "Ada beberapa cemilan di sini. Makanlah ketika kamu sedang belajar atau dalam waktu luang. Nenek Gea yang menyiapkan ini untukmu," ujar Gea. Lia kecil menerima kantong itu. Mulutnya sangat berat mengucapkan kata terima kasih, namun dari tatapan wajahnya, Gea tahu bahwa sang cucu ingin berkata terima kasih. "Bolehkah Nenek Gea menelponmu ketika sudah berada di akademi nanti?" "Satu bulan sekali," jawab Lia kecil. "Huhuhuhu! Cucuku! terlalu lama, bagaimana jika setiap hari?" tawar Busran sambil berderai air mata. Tawaran Busran juga terlalu tidak tahu malu. Lia kecil ingin sekali memutar bola matanya. Kakek dari tubuh ini benar-benar terlalu mendrama. "Dua minggu sekali atau tidak sama sekali." "Baiklah!" Busran buru-buru mengangguk. "Aku pergi," pamit Lia kecil. Semua orang yang berada di luar rumah utama Nabhan mengangguk. Lia kecil memasuki mobil, mobil itu perlahan meninggalkan kediaman utama Nabhan. Busran melambaikan tangannya, deraian air mata terus menetes turun. Cucu perempuannya sudah pergi menuju Akademi Militer, Busran tak tahu bahwa pertemuan kali ini adalah pertemuan terakhir kali setelah beberapa tahun kemudian. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD